Undang-undang Pokok Agraria untuk DIY

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Fakta lapangan yang ditemukan oleh Komite Aksi untuk Reforma Agraria (Kara) bahwa sekitar 100 sertifikat hak milik tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi hak pakai menjadi salah satu latar belakang dilaksanakannya Aksi Memperingati Hari Tani Nasional 2015 pada Senin 28 September 2015 lalu. Seperti yang dijelaskan oleh Kus Sri Antoro selaku Humas Kara bahwa hal tersebut disebabkan adanya Undang Undang Keistimewaan (UUK). Dengan adanya UUK maka tanah tertentu yang awalnya milik negara yang berarti sertifikat hak milik pemegang sertifikat, menjadi tanah milik Sultan yang imbasnya, hak milik berubah menjadi hak pakai. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sultan Hamengku Buwono X bahwa semua tanah di DIY milik Keraton Yogyakarta, tidak ada tanah negara.

Dalam kesempatan aksi yang dimulai di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Kus Sri Antoro mengatakan bahwa aksi masyarakat dan sejumlah gerakan mahasiswa ini ingin mengingatkan kembali kepada masyarakat dan pemerintah selaku wakil rakyat untuk mengedepankan konstitusi dan undang-undang yang berlaku di Indonesia termasuk Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). “Hamengku Buwono X mengatakan bahwa tidak ada tanah negara di DIY. Apa maksud dari pernyataan ini? Karena menurut UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dimana bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai negara untuk digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat,” papar Sri Antoro. Lebih lanjut Sri Antoro mejelaskan bahwa UUPA juga mengatur bahwa negara merupakan subjek yang mempunyai wewenang untuk mengatur atas tanah yang belum diketahui kepemilikan atau pemanfaatannya seperti tanah tanpa hak guna bangunan hingga tanah tanpa hak milik.

Menurut selebaran yang dibagikan oleh Kara saat aksi dilaksanakan, mereka menuntut:

  1. Hentikan perampasan tanah rakyat, penggusuran, dan penghilangan hak untuk kepentingan pemodal.
  2. Hentikan alih fungsi lahan.
  3. Hentikan diskriminasi dalam kebijakan pertanahan.
  4. Cabut semua semua produk udang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan UUPA.
  5. Hentikan kekerasan dan campur tangan aparat dalam kasus pertanahan.
  6. Laksanakan redistribusi tanah untuk penggarap secara komunial.
  7. Industrialisasi dibawah kontrol rakyat.
  8. Wujudkan kedaulatan pangan.

Tak hanya tentang UUPA, beberapa orator dalam aksi yang dilanjutkan dari Gedung DPRD, Kantor Gubernur DIY, dan berakhir di nol kilometer kali ini juga menyinggung mengenai beberapa kasus tanah seperti pembangunan bandara Kulon Progo, pembangunan pabrik semen di Rembang, kasus tanah di Urut Sewu, penggusuran di pinggiran Kali Code, hingga pembebasan hutan yang terjadi di Papua mengingat Aliansi Mahasiswa Papua juga berpartisipasi dalam aksi ini. Menurut Langit Moti, yang merupakan perwakilan dari Sekber (Forum Sekolah Bersama DIY) dalam orasinya menolak pembangunan bandara di Kulon Progo, menolak penambangan pasir besi di Kulon Progo, tolak pembangunan resort di Watu Kodok, tolak pembangunan hotel di DIY, dan berikan hak atas tanah kepada rakyat Kali Code dan Kaliwungu. Masyarakat Kali Code dan Kaliwungu terancam tidak diberikan hak atas tanah oleh pemerintah DIY. (Siti N. Qoyimah)

Skip to content