Himmah Online – Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) berpotensi menghambat kerja jurnalistik dan akses publik terhadap informasi. Hal itu dikarenakan, UU PDP hanya mengecualikan untuk kepentingan pertahanan, proses penegakan hukum, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara, kepentingan pengawasan sektor keuangan, dan kepentingan statistik serta penelitian ilmiah.
Pada Kamis (26/6), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menghadirkan diskusi publik dengan tajuk “Pentingnya Pengecualian Jurnalistik dalam UU PDP” melalui Zoom Meeting.
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber. Abdul Manan, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Mawa Kresna, Editor Project Multatuli, Parasurama Pamungkas, peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, dan Ifa sebagai moderator dari AJI Indonesia.
Parasurama menjelaskan bahwa data pribadi merupakan komponen utama dalam kerja jurnalistik. Seperti nama, alamat, hingga nomor telepon narasumber. Namun, ketentuan dalam UU PDP tidak memberikan pengecualian khusus bagi jurnalistik. Sehingga berpotensi mempersulit jurnalis secara hukum saat menggunakan data pribadi dalam liputan.
“Jika tidak ada pengecualian, kerja-kerja jurnalistik akan terhambat karena setiap pemrosesan data pribadi dapat berujung pidana, padahal itu penting untuk kepentingan publik,” ujar Parasurama.
Sebagai contoh, Data Privacy Act of 2012 , UU PDP Filipina membuat pengecualian terhadap kerja jurnalistik. Tujuan dari pengecualian tersebut adalah untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan data pribadi dan kebebasan pers.
Kresna menegaskan, dampak UU PDP telah dirasakan jurnalis di lapangan. Ia mengungkapkan, beberapa Kementerian menolak memberikan dokumen publik seperti kontrak tender dengan alasan perlindungan data pribadi. Padahal, dokumen tersebut penting untuk liputan investigasi.
“Ini bukan lagi potensi ancaman, tapi sudah nyata menjadi alat sensor informasi publik,” jelas Kresna.
Kresna juga menekankan, kondisi ini membuat jurnalis ragu untuk memuat data-data personal yang penting bagi publik. Hal ini kemudian memunculkan self-censorship pada jurnalis maupun media untuk melakukan liputan investigatif karena ketakutan terhadap UU PDP yang tidak mengecualikan jurnalis dalam memperoleh data pribadi.
“Pada akhirnya, dalam liputan investigasi, jurnalis dan media jadi merasa takut duluan,” ujar Kresna.
Abdul Manan menyatakan, UU PDP dapat memunculkan ketegangan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik, karena mencakup data yang merupakan bahan informasi jurnalistik.
Manan menilai persoalan ini akan berdampak signifikan bagi jurnalis, terutama dalam peliputan kasus-kasus yang membutuhkan data pribadi narasumber. “Kita melihat perlunya revisi UU PDP atau judicial review agar kepentingan publik dalam memperoleh informasi tetap terlindungi tanpa mengorbankan hak atas privasi,” pungkas Manan.
Reporter: Himmah/Felita Nur Safira, Reza Sandy Nugroho, Putri Cahyanti
Editor: Farhan Mumtaz