Himmah Online – Melalui Vereniging van Indonesische Geneeskundige (VIG) atau Asosiasi Dokter Indonesia, dokter-dokter di Hindia Belanda–salah satu sebutan bagi Indonesia sebelum merdeka–memperjuangkan persamaan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda.
VIG sebelumnya bernama Vereniging van Indische Artsen atau Asosiasi Dokter Hindia Belanda, merupakan perkumpulan dokter khusus pribumi yang didirikan pada tahun 1911. JA Kayadu didapuk sebagai ketua pertamanya. Pergantian nama tersebut terjadi lima belas tahun berselang atau tepatnya pada 1926.
Perubahan nama pada kata “indische” menjadi “indonesische” dilatarbelakangi kesadaran nasionalis para dokter pribumi sehingga pergantian nama tersebut memberikan arti bahwa para dokter Indonesia telah mengakui persatuan Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda sering digaungkan sepanjang VIG berdiri. Hal ini lantaran dokter pribumi dianggap sebagai dokter kelas dua karena kedudukannya menjadi bagian dari penduduk jajahan Belanda saat itu.
Dokter pribumi acapkali mendapatkan perlakuan dan hak yang berbeda dari dokter Belanda. Soal gaji, misalnya, dokter pribumi mendapatkan gaji sebesar 50 persen dari gaji dokter Belanda. Strata jabatannya pun tidak bisa sejajar dengan dokter Belanda.
Tak hanya itu, dokter pribumi juga mendapatkan pembatasan dalam mengakses bacaan medis. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (GTNI) yang merupakan jurnal kedokteran terkenal, hanya dapat diakses oleh dokter Belanda atau pejabat kesehatan. Pembatasan akses ini menghambat dokter pribumi untuk menambah wawasan. Mereka juga kesulitan dalam berlangganan koran akibat dari minimnya gaji yang mereka dapatkan.
Perjuangan untuk mendapatkan persamaan kedudukan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Salah duanya, yakni peningkatan gaji para dokter Indonesia dari 50 persen menjadi 70 persen dari gaji dokter Belanda. Selain itu, dokter Indonesia mendapatkan prioritas pertama yang dapat diangkat menjadi asisten dokter Belanda.
VIG Menjelang dan Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1940 VIG mengadakan kongres di Solo. Salah satu hasil kongres tersebut adalah diberikannya tugas kepada Prof. Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran.
Namun tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1943 Jepang menduduki Indonesia. Akhirnya VIG dibubarkan dan digantikan perannya oleh Jawa Izi Hokokai atau Himpunan Kebaktian Dokter sehingga langkah VIG terpaksa berhenti.
Jawa Izi Hokokai merupakan salah satu himpunan dalam organisasi Jawa Hokokai yang didirikan oleh Jendral Kumakichi Harada. Dalam keanggotaanya sendiri Jawa Hokokai meliputi semua golongan masyarakat, baik Cina, Arab, maupun pribumi. Hasyim Asyari dan Ir. Soekarno berperan sebagai penasehat dalam Jawa Hokokai.
Perjuangan para dokter tidak berhenti begitu saja. Pasca kemerdekaan tepatnya pada tanggal 30 Juli 1950, diadakan sebuah rapat antara Pengurus Besar Persatuan Thabib Indonesia (PB Perthabin) dengan Dewan Pimpinan Perkumpulan Dokter Indonesia (DP-PDI).
Dalam rapat tersebut dibentuk panitia Penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI) untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter WNI yang diketuai oleh Bahder Djohan. Muktamar tersebut dilaksanakan dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 22-25 September 1950 di Deca Park (sekarang sebelah utara kawasan Monumen Nasional, Jakarta).
Muktamar tersebut bertujuan mendirikan perkumpulan dokter Indonesia baru yang dapat menjadi wadah representasi dunia dokter Indonesia. Hasilnya, muktamar tersebut melahirkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi ketua umum IDI pertama.
Dikutip dari laman resmi IDI Cabang Bandung, tujuan dari didirikannya IDI ialah untuk memadukan segenap potensi dokter dari seluruh Indonesia, menjaga dan meningkatkan harkat dan martabat serta kehormatan profesi kedokteran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.
Satu bulan setelah muktamar, Panitia Dewan Pusat IDI, Dr. Soeharto, melakukan pertemuan dengan seorang notaris, yakni R. Kadiman. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan dasar hukum dari pendirian perkumpulan dokter Indonesia yang diberi nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut.
Legalitas tersebut akhirnya didapatkan oleh IDI pada 24 Oktober 1950. Setelah mendapatkan legalitas yang sah, maka tanggal pemberian legalitas tersebut diperingati sebagai Hari Dokter Nasional.
Peringatan tersebut memiliki nilai sejarah yang erat kaitannya dengan masa penjajahan. Para dokter pribumi telah ikut serta berjuang membela tanah air di masa penjajahan melalui Vereniging van Indonesische Geneeskundige hingga pasca kemerdekaan melalui Ikatan Dokter Indonesia.
Reporter: Magang Himmah/Jihan Nabilah
Editor: Pranoto