Warisan Terbesar Tan Malaka untuk Indonesia

Oleh: Fauzi Farid M.

Yogyakarta, HIMMAH ONLINE

Dema Justicia FH UGM menyelenggarakan bedah buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 4” pada Selasa, 18 Februari 2014. Bertempat di Ruang Multimedia FH UGM bedah buku ini diisi oleh Hary A. Poeze (Penulis Buku) dan Eko Prasetyo (Direktur Social Movement Institute).

Eko Prasetyo, menyatakan warisan terbesar dari Tan Malaka kepada Indonesia adalah semangat kemerdekaan 100% dan itulah yang membuat Tan Malaka dinyatakan sebagai Bapak Kemerdekaan. Warisan lainnya adalah pikiran-pikiran Tan Malaka yang ia torehkan dalam banyak bukunya. Diantaranya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) dan Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi)

Harry A. Poeze dalam pemaparannya  mengatakan Tan Malaka lahir di Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat. Semasa mudanya Tan  Malaka adalah seorang yang jenius. Atas bantuan dari gurunya yang juga orang Belanda, ia di kirim ke Belanda untuk melanjutkan sekolahnya. Setelah kembali ke Hindia Belanda ia menjadi guru di sekolah anak-anak buruh pekerja Belanda. Tergerak atas keprihatinannya terhadap kondisi anak-anak buruh kala itu, ia pun mendirikan sekolahnya sendiri.

Sejarawan asal Belanda ini mengatakan Tan Malaka adalah seorang Sosialis-Komunis yang berperan dalam pendirian PKI. Selain itu ia juga menjadi seorang penggerak kemerdekaan hingga aktivitasnya dianggap oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dicap sebagai sebuah ancaman

Pemerintah kolonial akhirnya memberikan pilihan kepada Tan Malaka untuk di asingkan ke Pulau Timor atau di buang ke luar negeri, dan ia pun memilih untuk di buang. Selama pembuangannya ia pergi ke berbagai negara dan bertemu dengan banyak orang hingga pahamnya pun menjadi semakin kuat.

Tan Malaka di tahan selama 2,5 tahun dan dibebaskan setelah peberontakan FBR/PKI di Madiun tahun 1948. Tahun 1949 ia dinyatakan hilang dan tidak ada yang tahu lokasi makamnya. Dari buku Harry A. Poeze, diketahui bahwa Tan Malaka di tembak mati pasukan oleh TNI pada 21 Februari 1949 di lereng gunung Willis atas perintah Letda Soekotjo dari Batlyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

Skip to content