Obral Izin Usaha Pertambangan dari Ormas hingga PTN

Himmah Online – Tidak hanya organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Senin, 20 Januari 2025, digelar usulan pemberian izin tambang kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Usulan disampaikan Bob Hasan, Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sekaligus pimpinan rapat pada rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), di Senayan, Jakarta.

Sebelumnya, pemerintah lebih dahulu meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 pada Tahun 2024, tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021, terkait Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, yang memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang, pada 30 Mei 2024. 

Persoalan pendistribusian Izin Usaha Pertambangan (IUP), mulai dicanangkan di periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir kepemimpinannya. Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024, yang mengakomodasi PP Nomor 25 Tahun 2024 dan mengubah Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi, pada 22 Juli 2024. 

Ketentuan dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2024, mengatur Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Wilayah tersebut berasal dari eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan dapat diberikan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.

Jokowi mengungkapkan alasan dibalik pemberian IUP kepada ormas keagamaan, berawal dari keluhan yang diterimanya saat lawatannya ke masjid dan pondok pesantren. Menurut Jokowi, pemerintah hanya menginginkan keadilan dan pemerataan ekonomi. 

Dalam memperingati hari Tambang Internasional yang diperingati setiap pada 28 September, tim advokasi tolak tambang merespon dengan mengadakan diskusi webinar dengan tajuk “Menolak Suap Tambang Untuk Ormas Keagamaan” melalui Zoom Meeting pada 27 September 2024.

Wasingatu Zakiyah salah satu pembicara dalam diskusi, menyebut negara tidak bisa memberikan izin tambang secara parsial hanya kepada kelompok tertentu. Melainkan, kekayaan alam yang dikuasai dan diberikan kekuasaannya kepada negara, harus diberikan untuk kemakmuran rakyat berdasar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat 3.

Permasalahan Tambang

Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University dan peneliti Sajogyo institute menyebut dalam laman mongabay.co, praktik pertambangan yang selama ini di Indonesia banyak tidak berpihak kepada rakyat. Eko menduga pemberian IUP pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan oleh Jokowi, hanya sebagai janji politik saja.

Eko menambah, pengelolaan tambang yang dikelola oleh ormas keagamaan tidak lantas menjamin dapat dikelola dengan baik. Faktanya, perampasan ruang hidup masyarakat, kerusakan ekosistem, dan praktik korupsi izin pertambangan hampir semua terjadi di kasus agraria dalam pengelolaan tambang.

Pelibatan aparat dalam suksesi pengelolaan tambang sering terjadi. Masyarakat yang mencoba melawan dan mengkritisi mengalami kekerasan. Salah satunya disebutkan oleh Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang terjadi di beberapa tempat.

“Kita melihat di Wawonii, di Sangihe, di Halmahera, gitu ya. Itu banyak masyarakat yang ketakutan (akibat teror).” Jelas Isnur pada diskusi webinar yang diikuti awak Himmah.

Jika ditelisik pada data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional ada 45 konflik tambang selama 2020 dan 714.692 ha tanah mengalami kerusakan lingkungan. Ada 3.092 bekas lubang tambang yang tidak dilakukan reklamasi dan pemulihan, serta 24 orang meninggal akibat terjatuh ke dalam bekas lubang tambang.

Komitmen Lingkungan Hidup

Isnur mengungkap komitmen ormas keagamaan dan PTN yang akan menambang dengan prinsip lingkungan hidup, sudah terbantahkan sejak awal. Salah satunya Muhammadiyah yang mengungkapkan komitmennya melalui program Tambang Hijau.

Azrul Tanjung, Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, menyebut Muhammadiyah akan menambang dengan program Tambang Hijau, yaitu dengan melakukan restrukturisasi dan penghijauan lahan seperti sedia kala jika sudah selesai proses pertambangan. 

Sedangkan menurut Isnur, wilayah konsesi tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah bekas tambang perusahaan-perusahaan besar yang melalui masa evaluasi dari 2020 sampai 2021 sesuai pada PKP2B. Menurutnya, wilayah tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan sudah rusak, sudah dieksplorasi, dan dampak negatifnya sudah banyak bagi masyarakat.

Muhammadiyah yang dipastikan mengelola lahan eks Grup Adaro di Kalimantan Selatan dan PBNU yang mengelola konsesi bekas tambang PT. Kaltim Prima Coal (KPC), anakan perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk grup Bakrie menuai catatan negatif dari para pemerhati. 

Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan Kabupaten Tabalang dan Kabupaten Balongan yang menjadi wilayah tambang eks Grup Adaro merupakan wilayah lama yang berkonflik dengan perusahaan. Wonorejo, kampung transmigran di Kabupaten Balongan, hilang akibat aktivitas tambang.

Mareta Sari, anggota Jatam Kaltim, memberi catatan buruk terkait PT KPC. Menurut catatannya, buangan limbah PT KPC merusak sumber daya air Sungai Bengalon dan mencemari air Sungai Sangatta, yang menjadikan kedua sungai tersebut tidak lagi aman dikonsumsi warga setempat. Selain itu, pada tahun 2016 terjadi perampasan paksa tanah warga dengan mengerahkan aparat kepolisian, untuk merampas lahan warga seluas 13 ha di Bengalon.

Konsekuensi IUP Ormas dan PTN

Konsekuensi dari diberikannya konsesi tambang kepada ormas keagamaan dan PTN akan menghilangkan pandangan-pandangan progresif keduanya mengenai permasalahan lingkungan.

Hema Situmorang salah satu pembicara pada diskusi webinar mengesalkan, seolah energi yang tidak ramah lingkungan, kerusakan akibat aktivitas pertambangan, dapat dialihkan dan akan lebih baik jika dikelola oleh ormas keagamaan. 

“Padahal dalam cara kerja industri ekstraktif (pertambangan) itu kawan-kawan, sekali lagi dia memang pasti menghancurkan bentang alam karena dia membutuhkan perlahan (wilayah) yang luas,” Tandas Hema dalam diskusi.

Pemberian IUP kepada PTN mencederai Tri Dharma perguruan tinggi dan UU Nomor 12 Tahun 2012. Terwujudnya pengabdian kepada masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, akan ternodai dengan agenda industri ekstraktif tambang yang merusak alam dan represif kepada masyarakat.

Kemampuan ormas keagamaan dan PTN juga diragukan. Karena, dalam pengelolaan tambang membutuhkan teknologi yang tinggi, modal besar, dan kecakapan dalam penjualan hasil tambang.

Modal yang besar menurut Putra Adhiguna, Pakar industri energi, juga perlu diperhitungkan karena operasional tambang ditopang dengan adanya modal. Putra menyebut setidaknya ada dua hal yang perlu disiapkan, yaitu kesiapan infrastruktur dan kemudahan sarana transportasi seperti jalan. 

Ormas seperti Muhammadiyah yang memiliki ratusan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), mulai dari sekolah, rumah sakit, dan universitas, tidak bisa dijadikan jaminan modal untuk mengelola bisnis tambang. Hal ini diutarakan oleh Wahyu Perdana, Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah, karena AUM sendiri bertanggung jawab terhadap usahanya masing-masing.

Ormas keagamaan dan PTN yang seharusnya berfungsi menjadi wadah dan ujung tombak advokasi korban kasus agraria semakin hilang perannya. Karena hubungan antara ormas keagamaan, PTN, dan perusahaan tambang akan terus ada karena saling membutuhkan. 

Andreas Hugo salah satu anggota Baleg DPR fraksi PDIP, menyebut pemberian IUP kepada ormas dan PTN, akan menjadikan orang-orang akan berlomba membentuk ormas dan PTN yang sesuai dengan syarat supaya mendapat bagian IUP.

Andreas meminta Baleg agar lebih dahulu mendengar pendapat masyarakat dari berbagai pihak, terutama ahli dan akademisi mengenai aturan pendistribusian IUP.

Reporter: Himmah/Subulu Salam

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Podcast

Baca juga

Terbaru

Skip to content