Himmah Berbicara yang diselenggarakan pada Minggu, 22 Maret 2015 mengangkat tema tentang Agama dan Kekerasan. Dalam Essay yang ditulis oleh Nurcholis Ainul R.T selaku pemantik diskusi kali ini, ia menjelaskan bahwa wacana agama dan juga kekerasan bukanlah hal yang baru bagi Indonesia bahkan seluruh dunia. Kekerasan atas nama agama telah mewarnai kehidupan umat manusia. Sebagai contoh kecil bentuk kekerasan dengan dalih agama yang ia sebutkan dalam esainya antara lain, penyerangan terhadap jama’ah Ahmadiyah Cikeusik di Pandeglang, Banten, isu pelarangan jilbab dan sulitnya pendirian rumah ibadah di Bali serta konflik komunal di Maluku. Ia beranggapan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan yang sangat multidimensional. Mulai dari bobroknya pendidikan sebagai permasalahan akar rumput yang mempengaruhi pemahaman masyarakat terkait pluralisme sampai permasalahan ekonomi dan politik, yang mana cenderung memanfaatkan agama hanyalah sebagai komoditas politik semata.
Himmah Berbicara kali ini dimulai dengan pemutaran film dokumenter “Kota Terror” produksi Zah Movies. Film yang berdurasi kurang lebih 20 menit itu menceritakan tentang kabupaten Temanggung yang selama lebih dari 179 tahun telah menanamkan nilai-nilai pluralisme sebagai nilai-nilai sosial dan budaya. Namun yang terjadi belakangan ini adalah menjamurnya ormas-ormas radikal yang secara frontal mengatasnamakan agama dalam setiap aksi kekerasannya. Terkait hal tersebut Amin Abdullah, guru besar studi agama dan resolusi konflik UIN Sunan Kalijaga, menjelaskan bahwa permasalahan kekerasan agama yang terjadi adalah buah dari egoisme sektoral yang nantinya menjadi pemicu kekerasan.
Setelah pemutaran film tersebut selesai, diskusi diawali dengan penjelasan pandangan pemantik terkait permasalahan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Seperti pada esainya, ia berpendapat bahwa permasalahan kekerasan agama ini sangatlah multidimensional. Mulai dari pemahaman terkait definisi agama yang secara etimologi disusun dari kata “A” sebagai penegasian dan “Gama” yang berarti kacau. Definisi ini menurutnya menjadi hal yang fundamental bagi seseorang yang beragama untuk tidak menghalalkan kekerasan atas nama agama dengan dalih apapun.
Lalu Nurcholis memaparkan pemikiran Hassan Hanafi, Seorang pemikir islam kiri dari Timur Tengah. Pemantik mengatakan Hassan Hanafi berpendapat bahwa terma agama yang digunakan oleh Islam tidak sepenuhnya sesuai. Dalam kamus-kamus bahasa yang ada di dunia, definisi agama hanya terkait persoalan yang sifatnya ritualistik, padahal islam adalah etika, wawasan kemanusiaan, ilmu sosial dan ideologi. Maka Hassan berpendapat bahwa Islam lebih tepat jika menggunakan terma ideologi. Mengenai pemikiran Hassan Hanafi tersebut Nurcholis berpendapat bahwa memang betul pemahaman terkait agama yang ada dalam masyarakat Indonesia saat ini cenderung kearah hal-hal yang bersifat ritualistik. Namun ide penggunaan ideologi sebagai terma yang sesuai dengan islam malah akan melunturkan nilai-nilai spiritualitas yang ada. Karena terma ideologi lebih sering dikonotasikan sebagai ideologi politik yang sarat akan kekuasaan.
Menimpali pendapat pemantik tentang terma islam tersebut, Kholid Anwar, Pemimpin Redaksi Himmah berpendapat bahwa memang betul pada realitasnya terma ideologi lebih condong ke ranah politis. Namun menurutnya yang dimaksud ideologi disini berbeda, bukan ideologi politik. Namun lebih kepada hal-hal fundamental dari terma ideologi itu sendiri. Yang nantinya ideologi tersebut akan memposisikan agama untuk hal-hal yang rasional, bukan malah irasional.
Kholid menjelaskan lagi bahwa hampir seluruh umat manusia yang ada di dunia ini beragama bukan berdasarkan proses penyadaran, namun lebih kepada unsur genealogis. Ketika kita mengacu pada perspektif peran negara, seharusnya disini negara bisa mengakomodir warga negaranya kepada pemahaman esensialitas agama bukan malah sebaliknya.
Pemantik kembali menjelaskan bahwa ada indikasi menigkatnya kekerasan atas nama agama di Indonesia. Karena jika mengacu pada laporan tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi yang disusun oleh Wahid Institute tahun 2014 yang mana pada tahun tersebut telah menurunnya tren kekerasan atas nama agama. Namun tren penurunan itu bukanlah hal yang membanggakan karena hal itu hanyalah komoditas politik belaka yang notabene tahun 2014 adalah tahun politik. Ini terbukti dengan naik turunnya tingkat kekerasan berdasarkan tahun-tahun darurat politik di Indonesia.
Kemudian, Nurcholis Ma’arif, Magang LPM Himmah mengajukan pertanyaan terkait Undang-Undang kebebasan beragama. Menurutnya hal ini memiliki korelasi dengan kekerasan atas nama agama yang jika tidak diakomodir akan menurunkan nilai-nilai toleransi beragama di negara yang majemuk ini.
Terkait pertanyaan itu, Wening Fikriyati, Alumni LPM Himmah mengatakan bahwa pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ayat 1 dan 2 mengenai agama negara telah menjamin kebebasan beragama setiap warga negara untuk memiliki kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Lalu dalam perspektif lainnya Wening kembali menjelaskan bahwa dalam setiap persoalan terkait kekerasan-kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia, kita harus melihat lebih jauh ke dalam, kita harus mencari tahu siapa dalang dari konflik tersebut dan kepentingan apa yang dibawanya. Karena memang konflik-konflik yang terjadi di Indonesia memiliki tendensi kearah politis. Selain itu menurutnya belum banyak jurnalis yang mengarah pada perspektif itu, padahal ini komponen yang sangatlah penting. Ia menambahkan bahwa di Indonesia sendiri masihlah kental akan terminologi “Mayoritas Minoritas” yang membuat masyarakat Indonesia sangat mudah untuk di politisir jika sudah mengarah pada isu pluralisme.
Dari perspektif budaya dan sejarah Moch. Ari Nasihuddin, Alumni LPM Himmah menjelaskan bahwa ada distorsi sejarah dan budaya yang terjadi di Indonesia saat ini yang nantinya merembes pada sektor pendidikan. Ia mengungkapkan bahwa pada era Soekarno dulu Indonesia dikenal dengan negara yang sangat berdaulat, salah satu penyebabnya adalah budaya intelektualisasi yang ada pada masyarakat. Namun sejak terjadinya peristiwa 30 September 1965 ia menganggap telah terjadi penditorsian besar-besaran sejarah dan budaya di Indonesia. Bangsa yang tadinya sangatlah berdaulat berubah menjadi negara yang sangat dekat dengan barat, sangat mudah di setir oleh barat. Selanjutnya dia mengatakan jika itu yang terjadi saat ini kaum minoritas juga harus sadar akan hal ini dan tidak bisa terlalu frontal. Yang harus dipahami masyarakat Indonesia saat ini adalah pemahaman kembali akan sejarah dan budaya. Karena itu menjadi modal untuk memahami bangsa ini.
Kemudian kembali konteks pendidikan, Naili Jannati, Pemimpin Umum LPM Pilar Demokrasi menjelaskan bahwa harus ada pemahaman terkait esensialitas agama. Agama harus dipahami secara kontekstual tidak hanya tekstual. Dan hal itu pulalah yang menjadikan kita gagap global yang artinya tidak bisa menerima pemikiran dari perspektif yang berbeda, dari agama lain misalnya. Dan juga menjadikan kita gagap teknologi seperti yang telah diketahui realitasnya saat ini.
Arieo Prakoso, Staff PSDM LPM HIMMAH juga menambahkan dari konteks sejarah, hukum, dan pendidikan. Bahwa pada saat ini hanya elit-elit “atas” lah yang memanfaatkan peran agama. Sehingga pemahaman masyarakat Indonesia dikaburkan dari esensialitas agama. Gusdur contohnya yang sangat menggaungkan pluralisme malah dibenci. Ia kemudian menjelaskan bahwa peran intelektualitas yang ada saat ini tidak bisa diandalkan. Kaum intelektual hanya memanfaatkan intelektualitasnya untuk kepentingan ekonomi, politik, dan lainnya. Mereka seakan-akan menampik perannya sebagai pejuang kaum-kaum lemah. Wening juga mengamini hal ini. Ia melihat peran intelektual, tokoh agama khususnya sangatlah penting. Yang terjadi saat ini pemuka agama malah cenderung memanfaatkan intelektualitasnya.
Lalu dari pembahasan diatas, diskusi ini merumuskan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan yang sangat luas dan kompleks. Permasalahan terjadi di ranah akar rumput seperti pendidikan, budaya, sejarah dan lainnya sampai mentok ke permasalahan ekonomi dan politik. Ari kembali mengatakan bahwa pusat penyelesaian terletak di pemimpin negara, Presiden. Ia harus memiliki pemahaman yang integral terkait kebudayaan yang ada di Indonesia. Wening juga menjelaskan ada lima stakeholder yang menjadi pusat penyelesaian masalah ini yaitu tokoh agama, masyarakat, korporasi, polisi, dan TNI.