Indonesia masuk ke dalam 10 besar Negara penghasil tembakau di dunia seharusnya memiliki peluang untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, namun yang terjadi justru sebaliknya, tekanan yang dihasilkan oleh kampanye anti tembakau global malah menurunkan peluang Indonesia dan meningkatkan peluang kompetitor Negara lainnya. Mengapa isu anti rokok begitu gencar dilaksanakan? Kampanye anti rokok bahkan sudah sangat sistematis memasuki ranah instrumen regulasi. Ada apa dibalik semua itu? Betulkah kampanye anti rokok murni hanya karena alasan kesehatan, ataukah ada kepentingan lain dibalik semua itu?
Dalam diskusi rutin Himmah Berbicara yang berlangsung pada Minggu, 8 November 2015 kemarin, hal ini dikupas lebih mendalam dengan merujuk pada buku ‘Muslihat Kapitalis Global’ karya Okta Pinanjaya Waskito Giri S. Desi Rahmawati selaku koordinator Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Himmah menjadi pemantik diskusi kali ini. Desi memfokuskan arah diskusi tentang bagaimana selingkuh industri farmasi dengan perusahaan rokok Amerika Serikat. Desi mengawali diskusi dengan memaparkan bahwa Nikotin yang terdapat di dalam rokok memang dapat menyebabkan penyakit untuk para perokok aktif dan juga pasif.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pekerja di bidang kesehatan untuk mempropaganda masyarakat dengan alih-alih bahwa rokok merupakan penyebab kematian tertinggi di banyak negara terutama Indonesia. Mereka memanfaatkan hal itu untuk mengegolkan kampaye anti tembakau. Peran dan intervensi orang-orang kesehatan sangatlah kuat kepada masyarakat, hal ini yang menyebabkan terjadinya kapitalis global. Industri farmasi memanfaatkan rasa takut masyarakat untuk meraup keuntungan dengan menyebarkan isu bahwa rokok dapat menyebabkan penyakit sehingga mereka memproduksi obat untuk mengobati penyakit akibat rokok tersebut. “Sebagai orang farmasi, saya cukup dipermalukan dengan hal tersebut” ujar Desi.
Indonesia merupakan surga bagi tanaman pengahasil rokok yaitu tembakau dan merupakan produsen rokok paling besar sehingga menarik orang luar untuk bersaing dalam menghasilkan produk rokok. “Orang Indonesia banyak mengkonsumsi produk luar negeri bukan produk dalam negeri” ujar desi
Nurcholis Ma’arif selaku staff pelita menanyakan terkait sejauh mana campur tangan kapitalis global terhadap industri global. Menanggapi pertanyaan tersebut, Desi menjawab bahwa Indonesia merupakan pasar rokok yang paling besar sebab masih membebaskan masyarakatnya untuk merokok dan produsen rokoknya pun paling besar sehingga membuat perusahaan rokok berebutan untuk masuk ke Indonesia dan menjual produknya. Hal inilah yang menyebabkan produksi obat terhadap rokok juga banyak dan akhirnya memicu persaingan.
Desi juga menambahkan bahwa sebenarnya tujuan dari gerakan melawan kretek murni untuk menghentikan konsumsi rokok ataukah ada sebuah kepentingan lain dibalik itu. Sebenarnya melawan rokok itu cukup dengan cara menerapkan pola hidup sehat dan mengurangi konsumsi nikotin.
Thareq Aji S, magang LPM Himmah 2015 yang mengikuti diskusi ini juga menyakan bahwa apakah semua isu yang ada bertujuan untuk menghancurkan Indonesia. Seperti halnya dulu Indonesia pernah akan memproduksi pesawat tetapi karena ada beberapa kepentingan dunia yang tidak menginginkan Indonesia muncul di permukaan maka proses ini tidak jadi direalisasikan. Sekarang isu lain kembali muncul berkaitan dengan banyaknya lahan tembakau di Indonesia yang erat kaitannya dengan tingginya produksi rokok membuat Indonesia kembali menjadi sorotan dunia.
Desi menjelaskan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi karena Indonesia memiliki banyak kekayaan alam maupun sumber daya dan jika dapat mengolahnya dengan baik maka perekonomian Indonesia tidak akan kalah dengan negara-negara luar.
Ma’arif pun menanggapi bahwa dari hal kesehatan ini juga dapat berkaitan dengan masalah kedaulatan ekonomi maupun politik suatu negara. Ditambah lagi Indonesia sebagai negeri berkas jajahan, mungkin ada hubungannya dengan analisis Marx tentang analisis dekapitalis.
Arieo Prakoso selaku staff PSDM Himmah menanyakan bagaimana dinamikanya orang farmasi yang tahu tentang isu ini di Indonesia dan apa peran orang kesehatan yang memihak pada kapitalis. Sebenarnya apa fungsi rokok terhadap orang-orang yang mengkonsumsi rokok dan industri rokok itu sendiri.
Desi menanggapi petanyaan Arieo, “Yang saya tahu mayoritas orang kesehatan tetap melawan rokok walaupun ada beberapa orang kesehatan yang merokok.” Dalam etika kesehatan kita juga tahu bahwa rokok merupakan sumber penyakit tetapi dari sisi lain, belum ada feedback dari orang-orang di dalam negeri terhadap industrinya untuk melariskannya.
Desi juga menambahkan bahwa daun tembakau yang di jual dengan kondisi kering harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan daun tembakau yang masih dalam kondisi basah. Cukup terjadi pembodohan di kalangan petani tembakau, sebab para perusahaan mendatangi petani tembakau dengan membeli tembakau yang basah, padahal dipasaran yang laku adalah tembakau dalam kondisi kering. “Jika petani tidak menjualkan tembakau dalam kondisi basah maka perusahaan tidak akan membelinya, hal ini menyebabkan terjadinya kerugian pada petani tembakau” ujar Desi.
Desi juga menambahkan bahwa perusahaan hanya memanfaatkan tenaga petani Indonesia saja. Pemerintah juga tidak membekali petani Indonesia dengan pengetahuan yang cukup tentang pengolahan tembakau atau bagaimana mengolah tembakau dengan nilai jual yang tinggi.
Thareq beranggapan bahwa semua berlatarbelakang dari surga Indonesia, setiap permasalahan yang berkaitan dengan Indonesia dan dunia apakah itu bersumber dari sistem kekuasaan yang berkepentingan kepada suatu kelompok saja atau mungkin di dalamnya memang sudah ada kerja sama sehingga saat ada kampanye anti rokok tetap saja ada yang merokok sebab jika pabrik rokok tidak membuat rokok maka industri farmasi tidak dapat menjual obatnya.
Sirojul Khafid selaku Koordinator Jaringan Kerja Himmah menjelaskan bahwa dilihat dari perspektif ekonomi, Trans Pasific Partnership (TPP) merupakan semacam kumpulan kesepatan atau kebijakan bilateral antara negara yang masuk dalam TPP, TPP dikuasai oleh Amerika sebagai pemrakarsa. Dalam kebijakan TPP terkait industri rokok ataupun industri farmasi terdapat hal yang menarik, yaitu saat suatu negara tergabung dalam TPP maka akan ada konsekuensi yang harus dilakukan oleh negara tersebut. Seperti peraturan konten lokal atau kampanye-kampanye pro pemakai produk dalam negeri itu tidak diperbolehkan karena akan mendiskriminasi produk asing yang masuk dalam negeri.
Siro juga menambahkan bahwa seandainya Indonesia bergabung dalam TPP, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan investor asing. Jika hal itu terjadi maka Indonesia harus membayar ganti rugi. “Dalam hal kesehatan, para pelakunya menolak ikut dalam TPP karena dapat memperluas hak paten dan hak cipta yang menyangkut produk final dan komponen produk final dengan menerapkan hak milik intelektual,” ujar Siro.
Fahmi selaku Pemimpin Redaksi buletin Kobar Kobari menambahkan, “Hal ini juga merupakan kecerdasan dari Amerika, Indonesia mempunyai daya tarik terhadap pasar perdagangan tetapi menurut Amerika kalau kita berbicara perdagangan internasional, Indonesia itu tidak ada apa-apanya.” Dilihat dari hubungan ekonomi dengan industri farmasi, bahwa orang-orang luar negri sangat gencar untuk menjatuhkan industri dalam negeri. Tidak hanya terjadi di masa sekarang tetapi sejak zaman kolonial seolah-olah merenggut kekayaan Indonesia melalui kempanye-kampanye kesehatan dan pengguliran isu kesehatan. Sebagai contoh kasus peraturan retifikasi yang ada dalam konvensi kerangka pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ada aturan yang dilihat dari segi penyesuaiannya di Indonesia sulit untuk diterapkan dari segi nikotin. Penyesuaian pada peraturan retifikasi inilah yang menjatuhkan produk dalam negeri.