Beberapa orang terlihat duduk bersila, mereka duduk sejajar. Dengan seksama, mereka mengambil busur yang ada di depan mereka. Dengan konsentrasi penuh, mereka mulai menarik busur. Untuk menarik busur, dibutuhkan tenaga yang sangat kuat. Posisi tangan harus sejajar dengan mulut. Dengan konsentrasi penuh, satu per satu dari mereka melepas anak panahnya. Itulah jemparingan, sebuah olahraga tradisonal memanah yang mengharuskan si pemanah duduk bersila untuk memanah sasaran yang ada di depannya. Tak hanya itu, dalam jemparingan pun si pemanah harus mengenakan pakaian tradisional jawa. Walaupun olahraga ini tergolong tradisional, olahraga yang mengandung nilai budaya ini masih terus hidup di antara masyarakat khususnya di Jogja.
Paseduluran Langenastro, begitulah mereka menamakan diri. Paseduluran ini merupakan perkumpulan orang-orang yang menekuni jemparingan, tak kenal tua atapun muda. Begitulah nama paseduluran mereka rasa sebagai istilah yang cocok untuk nama perkumpulan. Mereka merasa nama paseduluran lebih erat maknanya daripada paguyuban atau yang lainnya. Paseduluran Langenastro selalu mengadakan latihan setiap sore. Beberapa dari mereka berkata bahwa jemparingan adalah hiburan. Jadi, jemparingan bukan hanya melestarikan budaya, melainkan juga dijadikan sebagai hiburan. Beberapa orang tua di sana menyebut hal ini dengan peribahasa “rabuk ing nusuwo” yang artinya adalah jemparingan merupakan pupuk bagi mereka di masa tuanya. Tak hanya itu, beberapa dari mereka juga memberikan nama pada busur dan anak panah mereka. Hal tersebut bukan sebagai syarat dalam jemparingan, namun lebih sebagai sugesti bagi mereka untuk lebih menyukai jemparingan itu sendiri.
Tak terlindas waktu, begitulah jemparingan dewasa ini. Walaupun tergolong tradisional, jemparingan telah menjadi bagian dari masyarakat Jogja. Bukan hanya sebagai budaya ataupun olahraga, jemparingan sudah menjadi hiburan bagi mereka yang menekuninya. Bahkan saat inipun sudah banyak diadakan lomba jemparingan. Begitulah, jemparingan bertahan sebagai budaya ataupun sebagai olah raga.
Foto dan narasi oleh: Robithu Hukama