Himmah Online – Malam menyelimuti pelataran Candi Borobudur saat umat Buddha dan pengunjung berkumpul dalam perayaan Tri Suci Waisak 2569 Buddhist Era (BE). Di tengah suasana khidmat yang diiringi doa-doa dan prosesi pelepasan lampion, ada satu kegiatan yang menghadirkan kehangatan: berbagi makanan.
Sebanyak 15.000-20.000 porsi makanan disajikan secara prasmanan—mudah, terbuka, dan merangkul semua. Tidak hanya umat Buddha, pengunjung dan relawan turut menikmati sajian ini. Menu yang disajikan adalah menu vegan, tanpa daging. Hanya sayur-sayuran seperti jamur, tahu, dan kol yang diolah dengan sajian sederhana agar dapat diterima oleh semua kalangan, baik umat Buddha maupun non-Buddha.
Umat Budha dan pengunjung terkadang datang dengan persiapan yang minim dan tidak membawa bekal sehingga Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia terpanggil untuk menyiapkan makanan bagi mereka.
Proses persiapan kegiatan memasak berlangsung sekitar dua minggu hingga satu bulan, melibatkan relawan dari berbagai daerah seperti Jlegong Temanggung, Boyolali, Jepara, dan Jakarta. Relawan dari Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia terbagi atas dua tim, pertama untuk mendekorasi altar di Candi Mendut dan kedua untuk memasak.
Tahun lalu, lokasi memasak berada di luar area Borobudur sehingga kesulitan untuk mobilitas isi ulang makanan. Berbeda dengan tahun ini, tempat memasak makanan berada di dalam area Borobudur sehingga memudahkan mobilitas isi ulang makanan, meskipun masih terdapat hambatan pada keramaian pengunjung.
Dana pembagian makanan berasal dari donasi umat dan masyarakat yang tergerak untuk membantu. Sebagian bahan makanan datang dari para petani, sumbangan kol sebanyak 20–30 kg, kacang panjang, dan sayuran lainnya diberikan sesuai dengan kemampuan mereka.
Bagi umat Buddha, berdana—baik berupa uang, barang, tenaga, atau semangat—merupakan cara untuk menanam kebaikan. Karena mereka percaya, setiap niat baik akan kembali sebagai karma baik.
Alih-alih menggunakan piring plastik sekali pakai, relawan memilih piring plastik yang dapat digunakan kembali untuk efisiensi dan efektivitas. Penggunaan piring reusable (penggunaan ulang) ini juga menjadi bagian dari upaya umat Buddha untuk mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim.
“Kami ingin mendukung pencegahan pemanasan global, jadi kami berusaha untuk menggunakan barang yang bisa dipakai ulang dan mengurangi limbah plastik sekali pakai,” jelas Rudy, selaku Sekjen Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia.
Bagi mereka yang hadir tanpa bekal, sepiring makanan hangat adalah berkah. Mereka terbantu dengan adanya pembagian makanan ini untuk sekadar mengisi perut di kala lapar.
Ikhwan (20), seorang mahasiswa asal Ngawi, yang sedang menikmati libur perayaan Waisak, juga mengungkapkan “Alhamdulillah terbantu, cuma ini memang makanannya vegetarian tanpa daging,” ujarnya, ia juga mengutip salah satu kalimat dari panitia yang membekas dalam ingatannya.
“Satu butir nasi, satu juta keringat.”
Makanan ini adalah hasil gotong royong, wujud cinta kasih, dan bentuk penghormatan terhadap setiap proses yang dilalui: dari petani yang menanam, relawan yang memasak, hingga tangan-tangan yang menyajikan.
Perayaan Tri Suci Waisak di Borobudur tahun ini menyisakan lebih dari sekadar doa dan cahaya. Ia meninggalkan jejak rasa cukup, rasa syukur, dan harapan bahwa bentuk ibadah dan kebaikan dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan bermakna.
“Cara mengamalkan ibadah itu banyak cara, ada yang dilakukan dengan cara berdoa, berceramah, dan ada yang melalui pelaksanaan ajaran-Nya. Semua cara itu sangat baik. Untuk kami, kami membagikan makanan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran itu sendiri,” pungkas Rudy.