Modus IM dan Seberapa Siap UII Menyoal Kekerasan Seksual

“Terkuak kasus kekerasan seksual IM sejak masih menjadi mahasiswa aktif UII. Terlepas benar tidaknya laporan-laporan tersebut masuk ke rektorat di tahun sebelumnya, kekerasan seksual tampaknya belum menjadi fokus UII dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman.”

Mengetahui adanya dugaan kasus pelecehan seksual di Universitas Islam Indonesia (UII), reporter kami langsung menelusuri kasus tersebut. Tepat 29 April 2020, kami berkesempatan untuk mendengarkan cerita dari salah satu penyintas, selanjutnya disebut V (bukan nama sebenarnya). Kejadian tersebut terjadi pada tahun ajaran 2015/2016, ketika V masih menjadi mahasiswa baru dan IM masih berstatus sebagai mahasiswa aktif tingkat akhir.

Saat itu IM sering menjadi pembicara di acara-acara kampus. Mereka berkenalan, lalu saling bertukar Instagram. IM sering melontarkan komentar pada Instagram Story V dan tidak banyak obrolan terjadi. Hingga suatu ketika IM melontarkan pertanyaan kurang sopan dan menawarkan ajakan untuk mandi bersama. Padahal mereka baru kenal, hanya bertemu sekali saja. V sadar bahwa itu adalah bentuk dari kekerasan seksual. Akhirnya V tidak lagi menggubris IM. 

Beberapa tahun belakangan ini, isu pelecehan seksual di perguruan tinggi mulai terbuka satu  per satu. UII merupakan salah satu yang tidak beruntung, sebab kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa tahun silam baru terbongkar saat ini. 

Hal ini juga disesali oleh pihak Rektorat UII dalam Rilis Media Universitas Islam Indonesia tentang Dugaan Tindak Pelecehan dan Kekerasan Seksual oleh IM dalam poin nomor 3, bahwa UII terkendala keterbatasan informasi mengenai tindak pelecehan seksual di kampus pada tahun sebelumnya.

Pada penelusuran tahun-tahun sebelumnya, UII baru menemukan adanya dua korban yang mendapatkan pendampingan psikologis oleh Layanan Konseling UII dua tahun lalu. Di samping itu, pihaknya juga mengatakan bahwa UII belum menerima pengaduan dan laporan resmi terkait kasus pelecehan seksual saat itu.

Dikutip oleh Tirto.id, menurut International Labour Organization, yang termasuk pelecehan seksual adalah bentuk diskriminasi seksual serius yang mempengaruhi wibawa perempuan dan laki-laki. Lalu Komnas Perempuan mendefinisikan pelecehan seksual adalah salah satu dari tiga belas tindak kekerasaan seksual. Kekerasan seksual dapat berbentuk fisik dan non-fisik serta dapat menimpa laki-laki dan perempuan. Pesan-pesan serta cuap-cuap sensual di luar consent adalah bentuk dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya dimonopoli oleh tindak perkosaan saja.

Awal Mula Kasus Terangkat

Kabar kekerasan seksual di UII pertama kali datang dari pesan broadcast yang dikirim oleh Rumi Azhari, Ketua Umum Lembaga Dakwah Al-Fath UII. Mengetahui kabar tersebut beredar, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UII, melalui Komisi II memintanya untuk menarik kembali  pesan tersebut. 

“Apa yang ditulis Rumi adalah kesepakatan oleh satu korban, kita belum tau kesepakatan korban yang lain. Apakah korban yang lain mau pemberitaannya itu sangat besar dengan framing-framing yang kita nggak tau seperti apa,” kata Fadila Adkiras, Anggota DPM UII Komisi II yang meminta Rumi untuk menarik kembali pesan broadcast tersebut. 

Pesan broadcast oleh Rumi sebenarnya ditujukan untuk koleganya di Lembaga Dakwah di UII, dimaksudkan agar Lembaga Dakwah Universitas dan Fakultas tidak lagi mengundang IM sebagai pembicara. 

Hal ini juga selaras dengan isi Press Release Aliansi UII Bergerak yang mengatakan bahwa ada salah satu penyintas, selanjutnya disebut Z (bukan nama sebenarnya) yang memberi peringatan kepada Ketua Lembaga Dakwah Al-Fath agar tidak mengundang IM sebagai pembicara lagi.

UII Bergerak melalui rilisnya menuliskan kronologi kasus kekerasan seksual oleh IM kepada Z yang terjadi pada tanggal 11 April 2020. Z melaporkan kasus tersebut pada Kemahasiswaan UII dan tidak kunjung direspon. Atas lambannya Kemahasiswaan UII dalam merespon laporan tersebut, Z menghubungi pihak luar sebagai kuasa hukumnya. 

Modus dan Pola Umum Tindak Kekerasan Seksual oleh IM

Isu mengenai kekerasan seksual oleh IM diduga sudah terhembus sejak lama, tetapi tidak banyak yang menyuarakan. “Banyak yang memilih bungkam karena adanya relasi kuasa yang begitu besar,” ujar Karunia, Juru Bicara Aliansi UII Bergerak. 

IM kerap menjadi pembicara di acara-acara kampus. Ia terkenal cerdas dan berprestasi sehingga banyak mahasiswa yang mengidolakannya. “Penggunaan relasi kuasa itu tersirat gitu loh, karena kan kalo misalnya orang itu udah ngefans sama senior dan lain-lain, itu kan kayak anggap teman,” ucap Meila Nurul Fajriah, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. 

Secara tersirat, IM menggunakan privilege dan relasi kuasa yang dimiliki untuk menghubungi korban. “Karena ada beberapa yang modusnya memang dia mendekati anak-anak satu komunitas, atau adik-adik tingkat,  angkatan yang lebih bawah,” kata Meila.

Per hari Senin, 4 Mei 2020, jumlah korban IM yang melapor pada LBH Yogyakarta sebanyak 30 penyintas. Berdasarkan laporannya, kekerasan yang dilakukan oleh IM terjadi pada tahun 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, saat IM masih berada di Indonesia dan sudah berada di Melbourne. 

Kasus kekerasan seksual yang diterima 30 penyintas tersebut berbeda-beda, tetapi setidaknya memiliki empat pola pendekatan. Modus pertama, IM menghubungi korban melalui Instagram dengan membalas pada Instagram Story korban, lalu berlanjut pada percakapan lain yang akhirnya digiring pada pertanyaan berbau seksual. 

Modus kedua adalah IM menghubungi korban via telepon, atau video call, lalu tanpa basa-basi IM menanyakan hal-hal yang bernada seksual, serta mengarahkan kamera handphone-nya ke alat kelamin saat video call

Modus ketiga, IM menjual buku IELTS/TOEFL kepada korban dan meminta pembayarannya dengan Cash on Delivery (COD), tetapi saat bertemu IM malah tidak membawa bukunya. IM kemudian mengajak korban ke indekos dan menyuruh korban untuk mengambil sendiri di kamarnya. Ketika korban berada di kamarnya, IM langsung mengunci pintu dan memeluk korban dari belakang.

Modus keempat adalah kekerasan seksual fisik. Di antaranya adalah IM menggesekkan pahanya pada paha korban saat berada dalam forum. Lalu memegang paha korban. IM memojokkan badan korban ke dinding, lalu IM menciumnya secara paksa dan menggesekkan alat kelaminnya ke perut korban (kontak kulit) sehingga terjadi ejakulasi di luar alat kelamin korban. 

Ada juga yang melaporkan bahwa IM mencengkram tangan dan leher korban, lalu mencium korbannya dan memaksa untuk berhubungan badan (pemerkosaan) sehingga terjadi ejakulasi di luar kelamin korban.

Berdasarkan keterangan LBH Yogyakarta, mayoritas korban adalah junior IM di UII. Selain itu ada pula korban yang merupakan penggemarnya. Sehingga LBH juga mengatakan bahwa ada relasi kuasa yang kuat dan timpang. Saat ini LBH juga tengah menelusuri apakah terdapat korban yang masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di UII, mengingat saat telah menjadi alumni IM masih banyak mengisi acara-acara di kampus.

Respon Pihak Rektorat

Menyikapi adanya kasus yang muncul ke permukaan, Rektor UII angkat bicara melalui Rilis Media Resmi Universitas Islam Indonesia pada 29 April 2020 tempo hari melalui Himmah UII (LPM Universitas). 

Tak berapa lama kemudian DPM UII melalui laman Instagram-nya, mempublikasikan hasil kesepakatan dengan pihak Rektorat mengenai pembentukan Tim Khusus UII. Komposisi Tim Khusus UII terdiri dari akademisi, pendamping psikologis, dan praktisi pendamping hukum. “Jadi ada dua sub, yang pertama pendampingan psikologis, yang kedua fokus pendampingan hukum jika korban itu meminta,” kata Fadila Adkiras.

Dengan mencuatnya dugaan yang dilakukan oleh IM, UII sepakat untuk mencabut gelar Mahasiswa Berprestasi yang diberikan kepada IM pada tahun 2015. Kesepakatan ini dipertimbangkan melalui keterangan penyintas. Secara institusional UII tidak akan melibatkan IM kembali. Pihak Rektorat turut mengimbau mahasiswa untuk melakukan hal yang sama. Pihak Rektorat menganjurkan para penyintas untuk membawa kasus ini ke jalur hukum, mengingat pelaku sudah tidak berstatus mahasiswa di UII.

Mengapa Kasus Tidak Terbuka Sejak Dulu?

Terdapat kabar simpang siur mengenai adanya laporan kasus serupa di tahun sebelumnya. Terlepas dari benar atau tidaknya adanya laporan tersebut, kekerasan seksual tampaknya belum menjadi fokus UII dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman bagi siapa pun yang ada di dalamnya. 

Hal tersebut berdasar dari keterangan Rektorat UII yang mengatakan bahwa tidak menerima laporan apapun ketika Psikolog UII sudah melakukan layanan konseling kepada dua penyintas di tahun 2018. Sebuah layanan mahasiswa yang jelas berada di bawah DPBMKM (Direktorat Pengembangan Bakat Minat dan  Kesejahteraan Mahasiswa) UII.

Saat ingin dimintai keterangan terkait kasus pelecehan seksual yang masuk saat IM masih menjadi mahasiswa aktif dan telah menjadi alumni, psikolog yang menangani penyintas menolak untuk memberi jawaban. Sebab, informasi dari pihak kampus dialihkan melalui satu pintu yang dimanifestasikan dalam rilis rektor.

“Ada laporan setiap tahun terkait pelaksanaan program konseling, tetapi tidak mungkin mencantumkan jenis atau substansi masalahnya,” Kata Syarif Nurhidayat, Ketua Tim Pendampingan Korban, sekaligus menjadi pintu utama pernyataan pihak Rektorat saat ini.

Sampai saat ini, UII belum memiliki produk hukum yang spesifik mengatur kekerasan seksual. Dari keterangan yang dihimpun oleh LBH Yogyakarta dan Aliansi UII Bergerak, kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas selama menjadi mahasiswa aktif hanya dapat melakukan dua opsi, diam atau memakai layanan konseling. Fasilitas untuk melapor terbilang kurang dan rawan untuk diredam sebab tidak ada bagian yang menangani secara khusus.

Padahal jika kasus pelecehan seksual diproses di universitas, tindakan kekerasan seksual diatur dalam Peraturan Universitas tentang Disiplin Mahasiswa Universitas Islam Indonesia tetapi tidak spesifik. Pada BAB III Pasal 5 mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh mahasiswa UII. Tidak ada penjelasan konkrit terkait bentuk kekerasan seksual dan hukuman yang akan diterima oleh pelaku kekerasan seksual. 

Pada pasal tersebut terdapat poin Q yang berbunyi “Melakukan pelecehan seksual, pergaulan bebas, penyimpangan seksual, perbuatan tidak senonoh, atau yang dipersamakan dengan itu”.

Tanpa mengecilkan tindakan dilarang yang lain, narasi mengenai kekerasan seksual mendapat porsi yang kecil. Sanksi yang didapat apabila melanggar Disiplin Mahasiswa UII bersifat general: sedang untuk pelecehan seksual dan perbuatan tidak senonoh, serta berat untuk perkosaan.

“Menurut saya itu bukan sesuatu yang bisa ditolerir. Jadi bagaimanapun bentuk kejahatan seksualnya itu tidak ada yang parah, tidak ada yang setengah parah, tidak ada yang tidak parah. Semua itu kita anggap parah,” kata Meila. Menurutnya, kekerasan seksual bukanlah suatu tindakan yang dapat diukur besar kecilnya.

Lalu UII sebenarnya juga mempunyai media pengaduan melalui Badan Etika dan Hukum (BEH) UII. BEH adalah lembaga yang mengurus kasus-kasus terkait hukum yang ada di UII. Jika ditinjau dari laman pengaduan, terdapat beberapa jenis hal yang dapat dilaporkan, antara lain adalah Pemalsuan, Asusila, Pencurian, Penggelapan, Plagiat, Membocorkan Rahasia Lembaga untuk Kepentingan Pribadi, dan Penyalahgunaan Wewenang. Sayangnya, pemberitahuan mengenai wadah pelaporan kasus kekerasan seksual baru disosialisasikan ketika kasus IM terkuak.

Aturan Mengenai Tindak Pelecehan Seksual di Perguruan Tinggi

Saat ini perguruan tinggi di Indonesia dibawahi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setelah sebelumnya dibawahi oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti). Pada era Kemenristekdikti, tidak ada produk hukum yang mengatur pelecehan seksual di pendidikan tinggi, pun juga pada era Kemendikbud. Tidak adanya hukum yang mengatur kekerasan seksual akhirnya lengkap oleh absennya peraturan di tiap universitas, tak terkecuali UII.

Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) sudah mengeluarkan Penyampaian Keputusan Dirjen Pendis tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Keputusan ini ditujukan kepada Rektor Perguruan Tinggi Islam.

Namun setelah kami mengonfirmasi pada pihak rektorat, UII berada di bawah naungan Kemendikbud, yang mana Kemendikbud tidak mempunyai aturan yang mengatur tentang kasus ini. 

“UII tidak berada di bawah Kemenag, melainkan Kemendikbud, sehingga tidak otomatis menjadi konsen. Namun begitu, berdasarkan hasil koordinasi di tim kasus IM, sudah ada arahan pimpinan untuk melakukan review dan evaluasi pada peraturan internal yang ada, sehingga lebih menguatkan pada aspek ini,” kata Syarif.

Reporter kami juga mengkonfirmasi terkait aturan kekerasan seksual melalui Syarif, lalu diarahkan ke website beh.uii.ac.id. Kami mencoba mengakses website tersebut, tetapi kami mendapati kesulitan untuk mengakses peraturan ini sampai kami kemudian mendapatkannya melalui  DPM UII.

“Waduh saya tidak tahu persis, biasa bisa diakses oleh civitas pake wifi kampus, kalo dari luar kampus harus gunakan VPN UII,” tutur, Syarif, saat kami konfirmasi terkait kesulitan kami mengakses peraturan yang bersifat internal tersebut.

Salah satu universitas yang saat ini memiliki aturan khusus membahas kekerasan seksual adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Aturan tersebut disahkan pada 24 Januari 2020, dua tahun setelah kasus kekerasan seksual di UGM ramai diperbincangkan. Peraturan tersebut tidak hanya membahas tentang alur penanganan dan perlindungan kekerasan seksual, tetapi juga memastikan kampus menjalankan upaya preventif kekerasan seksual di kampusnya.

UII Terlambat Menangani Kasus Kekerasan Seksual

Setelah kasus kekerasan seksual di UGM pada 2018 silam terbuka, satu demi satu kasus pelecehan di kampus lain bergantian terbuka ke publik. berdasarkan data milik Tirto.id dalam “Kampus Jadi Lahan Subur Kasus-kasus Pelecehan Seksual”, disebutkan per Juli 2018, Tirto.id telah menerima 13 surel aduan mengenai pelecehan seksual di kampus. Sedangkan kasus pelecehan seksual di UII baru terbongkar pada 2020, dua tahun pasca isu kekerasan seksual di perguruan tinggi mulai terkuak ke permukaan.

Reporter kami sudah mencoba menghubungi Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Indonesia (PSGA UII) untuk mengkonfirmasi apakah sebelumnya pernah melakukan kajian dan usulan aturan terkait kekerasan seksual. Namun ketua PSGA UII, Trias Setiawati, tidak merespon banyak pertanyaan dari reporter kami.

Mengenai dibawa atau tidaknya perkara ini ke jalur hukum, hal itu kembali pada kesiapan dan kesediaan para penyintas. Sebab, ketika melapor, sebagaimana diungkapkan LBH, penyintas perlu untuk membuka kembali semua memori kelam itu. LBH juga menyebutkan sikap tersebut merupakan tindakan yang tidak mudah dilakukan.

Dalam rilisnya yang terakhir, UII telah menyatakan sikap #UIIBersamaPenyintas. Melalui LBH, para penyintas memberikan beberapa tuntutan. Tuntutan pertama ditujukan pada IM, para penyintas menuntut IM untuk mengakui perbuatannya kepada publik melalui media sosial. 

Tuntutan kedua ditujukan pada institusi, komunitas, organisasi, dan pihak lain agar tidak lagi mengundang IM sebagai pembicara, pengisi materi, dan segala bentuk glorifikasi lainnya. Terakhir, tuntutan yang ketiga, ditujukan kepada UII sebagai almamater dari mayoritas penyintas; UII harus membuat regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus agar tidak terjadi kejadian serupa.

Penulis : Ikrar Aruming Wilujeng

Reporter : Gilang B. Putra, Ikrar Aruming W., Citra Mediant, Marhamah Ika, Zakiyyah Ainun, Ahmad Sarjun, Mutia Shamila.

Editor : Armarizki Khoirunnisa D. & Iqbal Kamal

*Tulisan merupakan laporan kolaboratif LPM Himmah, LPM Ekonomika, LPM Kognisia, dan LPM Linier terkait dugaan kekerasan seksual di Universitas Islam Indonesia.

Skip to content