Kopma yang sukses tak melulu bicara dagang, tapi juga bagaimana melahirkan kader cemerlang.
“Berapa mbak totalnya?” seorang mahasiswi memperlihatkan sebotol air mineral ukuran sedang, satu kantong plastik berisi kue cucur dan satu risoles kepada si penjual untuk diterka harganya.
“10 ribu mbak,” si penjual menjawabnya.
Setelah merogoh uang Rp 10 ribu dan memberikannya pada si penjual, mahasiswi itu langsung keluar dari tempat ia membeli makanan saat itu. Sebuah bangunan kecil itu bernama Koperasi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (Kopma FE UII).
Kopma FE UII terletak di dalam kampus FE UII, Condongcatur, Yogyakarta. Posisinya berhadapan dengan tempat tongkrongan mahasiswa yang dekat dengan parkiran sepeda motor. Hampir di tiap pergantian jam perkuliahan, kopma ini tak pernah sepi.
Selain makanan dan minuman, beberapa alat tulis, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari pun dijajakan. Sayangnya, tak sedikit barang-barang yang dilegokan justru dirasa tak sesuai dengan kantong mahasiswa. Terkesan lebih mahal dibanding mini market lainnya. Dengan modal Rp 10 ribu sebenarnya sudah bisa dapat satu paket nasi ayam dan es teh di warung makan. Jelas tak mengenyangkan bagi mahasiswa, melihat harga yang digaet cukup tinggi.
“Semangat koperasi juga sudah mulai pudar sih, kita akhirnya tahu ya profit benefit saja,” kesah Dendy Indramawan selaku Ketua Umum Kopma FE UII 2016/2017. Dendy merasa arah pergerakan kopma sudah melenceng dari arah sebenarnya. Menurutnya, Kopma yang sudah berdiri sejak tahun 1995 ini memang masih dalam tahap bekembang, belum semaju kopma universitas lainnya.
“Apakah mahasiswa akan sejahtera kalau asetnya sampai miliaran? Menurut saya pribadi, output kopma ini bukanlah aset tetapi bagaimana bisa melatih jiwa koperasi. Menjalankan usaha adalah ajang latihannya,” lanjutnya. Menurut Dendy, kopma tidak berarti menyejahterakan anggotanya jika asetnya berlimpah. Namun dia juga tidak menepis fakta bahwa target aset juga sebenarnya diperlukan untuk menilai kesuksesan sebuah koperasi, target Rp 10 juta per tahun misalnya.
Adakalanya Dendy menyayangkan kopma yang kadang terkesan menjadi kapitalis. Pria berkawat gigi ini merasa kurangnya pemahaman akan koperasi pada mahasiswa juga Sumber Daya Manusia (SDM) kopma menjadi kendalanya. Bahwa seharusnya, alumni-alumni kopma dapat berkiprah di universitas. Sehingga nantinya, jiwa koperasi tersebut akan terbawa di benak mahasiswa hingga mendapatkan pekerjaan dan tidak hanya memikirkan aset.
Sedangkan saat ini tidak ada alumni Kopma FE UII yang berkarir sebagai dosen di FE UII untuk mengajar tentang koperasi. Ini juga berkaitan dengan penghapusan mata kuliah koperasi sekitar tahun 2007. “Katanya sudah tidak zaman lagi, padahal kan koperasi ini soko guru perekonomian Indonesia,” ucap Dendy.
Mohammad Hatta pun mengatakan bahwa koperasi adalah “Soko Guru Perekonomian Indonesia”. Koperasi adalah pilar, penyangga, sekaligus tulang punggung perekonomian nasional. Koperasi juga berazaskan kekeluargaan dan gotong royong. Menurut Bung Hatta dalam bukunya The Movement in Indonesia, gerakan koperasi adalah badan usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan, namun juga menyejahterakan para anggota.
Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.” Koperasi adalah badan usaha yang cocok dengan landasan undang-undang tersebut.
Begitu pun dengan kopma, salah satu bentuk dari koperasi. Bedanya, kopma bergerak di lingkup kampus dan pengurusnya merupakan para mahasiswa yang menempuh pendidikan di kampus yang bersangkutan. Kopma menjadi media pembelajaran para mahasiswa untuk berwirausaha, sepadan dengan tujuan dari sejarah kopma tersebut didirikan.
Pendirian kopma di Indonesia berawal dari adanya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini digulirkan oleh Daoed Joesoeff (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983) berdasarkan SK No.0156/U/1978. Saat itu, Dewan dan Senat Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dibubarkan dan digantikan oleh NKK/BKK dengan dalih menarik mahasiswa kembali ke kampus. NKK/BKK merupakan kebijakan depolitisasi sehingga gerakan mahasiswa menjadi terbatas dan tak lagi dapat mengkritik pemerintahan orde baru.
Pemerintah juga membentuk berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan sebagai wadah mahasiswa untuk berkreasi sesuai minat dan bakatnya. Muncul lah salah satunya koperasi mahasiswa, guna menyalurkan kegemaran mahasiswa di bidang kewirausahaan.
Menurut Firdaus Putra, Managing Director Kopkun Institute dalam tulisannya yang berjudul “Koperasi Mahasiswa: Kumpulan Aktivis atau Organisatoris?” Eksistensi kopma tak memiliki orientasi ideologis dan hanya berkutat pada pengembangan bakat-minat kewirausahaan. Firdaus merasa kebijakan NKK/ BKK lah yang melemahkan nalar kritis mahasiswa, di mana dalam semangat zaman seperti ini pula kopma dilahirkan. Kopma dengan sendirinya membawa gen cacat ideologis sejak lahir yang membuat kiprahnya tak utuh: belajar berorganisasi minus berjuang.
“Alhasil, kopma hari ini hanya fokus pada pengembangan kecakapan kewirausahaan dan manajerial semata. Gejala itu bisa dikenali dari banyaknya pendidikan/pelatihan kewirausahaan, kepemimpinan dan manajerial. Ini memperlihatkan bahwa kopma cenderung terjebak memahami koperasi hanya pada domain mikro organisasinya semata. Kopma alpa melihat koperasi dalam domain makro ideologinya,” tulis Firdaus.
Untungnya beberapa mahasiswa masih mau peduli dengan keadaan tersebut dan bersedia terikat dengan kopma. Hingga sekarang, kopma menjadi besar. Walaupun memang, tak sedikit pula kopma yang masih merangkak meraih kesuksesannya.
Anggota kopma pun tak hanya mahasiswa. Non mahasiswa, pedagang kecil, ibu-bapak, bahkan siswa-siswi sekolahan pun dapat menjadi anggota. Mereka mungkin termotivasi ingin menabung lewat iuran-iuran yang disetorkan, atau meminjam modal usaha lewat kopma. Lazimnya, memang koperasi secara keseluruhan tak hanya mengandalkan bisnis untuk menaikkan pemasukan, tetapi juga banyak jenisnya. Simpan pinjam, produksi, konsumsi, jasa, dan serba usaha. Sama halnya dengan kopma yang tak melulu berbentuk mini market sebagai bentuk usahanya.
Sebut saja foodcourt Universitas Gajah Mada (UGM), dan Garden Cafe Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dua bisnis kafetaria dari sekian banyak unit usaha kopma di Yogyakarta, belum lagi di kota lainnya.
Telunjuknya mengarah pada jendela yang langsung memperlihatkan sebuah tempat makan, foodcourt lebih tepatnya. “Itu salah satu usaha kita. Ada juga swalayan, konveksi sablon, dan warparpostel (Warung Pariwisata Pos dan Telekomunikasi-red),” jelas pria berkaca mata tersebut sambil duduk di sebuah kursi kantor lembaganya. Dia adalah Muhammad Fajri Saptaji, Ketua Umum Koperasi “Kopma UGM” 2015/2016.
Tidak hanya fokus pada koperasi berbasis konsumen, kopma UGM juga menyediakan wadah-wadah kreatif untuk anggota. Seperti workshop jurnalistik, studi banding ke koperasi lain, training koperasi, outbond, public speaking, broadcaster, juga memberikan pinjaman untuk mereka yang mau berwirausaha.
“Semuanya sudah terancang di RJP (Rencana Jangka Panjang-red),” lanjut Fajri.
Di dalam RJP tertulis target penjualan (omset) per tahun. Fajri menjelaskan bahwa di tahun 2014, Kopma UGM sudah mencapai omset Rp 18 miliar. Lalu di tahun 2015, ditingkatkan 27 persen hingga mencapai Ro 21,5 miliar. Sedangkan tahun 2016, target usaha Kopma UGM menjadi Rp 28 miliar.
Tak hanya itu, dinilai pula target-target turunan kopma seperti target belanja anggota, partisipasi anggota dalam kegiatan koperasi, Sisa Hasil Usaha (SHU), produk anggota, survei, brand awareness, pendidikan, dan penilaian kinerja.
“Misalnya keahlian karyawan yang perlu dikembangkan adalah keahlian memasak, maka dilakukan standarisasi pelatihan dapur dengan sertifikasi jabatan. Karyawan yang bertugas memasak dikirim ke restoran luar untuk melihat SOP (Standard Operating Procedure-red) di sana seperti apa,” lanjut Fajri. Semuanya diukur menggunakan balance shortcard. Ada pula survei kepuasan pelanggan terhadap kinerja karyawan.
“RJP per tiga tahun ini juga disusun supaya perencanaan dan pengelolaan koperasi tetap satu rencana dan terus berlanjut meskipun gonta-ganti kepengurusan,” tuturnya lagi.
Walaupun Kopma UGM terbilang besar, Fajri tetap merasa permasalahan koperasi ada pada SDM-nya. Alasannya adalah karena koperasi merupakan badan usaha yang harus dijalankan terus menerus, sedangkan kopma berganti kepengurusan tiap satu tahun.
Seandainya diurutkan, menurutnya masalah SDM kopma terletak pada periode dan kualitas. Mahasiswa dituntut lulus 5 tahun dan masa periode kepengurusan hanya satu tahun. Selama satu tahun, separuhnya digunakan untuk belajar dan separuhnya lagi baru digunakan untuk menjalani kepengurusan yang sebenarnya. Kualitas SDM diuji dalam masa pembelajaran ini. Terlihat dari target pencapaian di semester pertama lebih kecil dari semester selanjutnya karena belum terlalu mahir.
Selain RJP, pengurus lama atau alumni Kopma UGM yang berdomisili di Jogja, juga memberikan pendampingan ke pengurus baru minimal 3 bulan. Lengkap dengan laporan pertanggungjawaban pendampingan secara tertulis yang akan dilaporkan di triwulan ke dua. Pembinaan ini untuk membentuk kualitas pengurus yang sesuai dengan visi misi di RJP dan meminimalisir anggota agar tetap fokus pada kopma di samping mendahulukan kegiatan akademiknya di kampus.
Kopma UGM juga biasa mengundang alumni-alumninya sebagai pembicara dalam talkshow yang diadakan ke anggota-anggota. Hal ini dimaksudkan untuk memberi motivasi sukses pada para anggota baru, di samping pengurus sudah disibukkan dengan kegiatan organisasinya di kopma. Fajri beralasan karena kopma sendiri bukan diarahkan untuk membentuk unit usaha yang besar, tapi lebih ke menciptakan kader-kader yang siap berbisnis dan siap berwirausaha.
Sama hal nya dengan Fajri dan Dendy, Budi Santoso sebagai Ketua Kopma 2015/2016 Univeristas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga juga mengatakan bahwa kunci kopma berkembang adalah kaderisasi. Perawakannya kecil, tetapi semangatnya terasa kuat untuk menyukseskan kopma UIN. Cara bicaranya tegas sambil sesekali menggulung lengan bajunya. Saat itu Budi terlihat bangga mengenakan baju yang dikenakannya, sebuah korsa dengan logo Kopma UIN di lengan kirinya.
“Perbaiki dulu sistem kaderisasinya,” tegas Budi. “Karena sejelek apapun kopma saat ini, jika pengurus-pengurusnya memberikan gebrakan-gebrakan baru, pasti akan bagus.”
Budi merasa besarnya sebuah kopma bukanlah karena banyaknya uang, tetapi kolektivitas dari mahasiswa-mahasiswanya yang aktif. Tinggal bagaimana membuat suatu sistem yang bisa diterapkan di suatu tempat, dan disesuaikan dengan kultur universitas tersebut.
Budi juga menuturkan bahwa pemberlakuan 5 tahun maksimal kelulusan mahasiswa menjadi momok tersendiri yang harus dihadapi kepengurusan kopma saat ini. Budi khawatir jika pola pikiran mahasiswa sudah terprogam untuk tidak lagi berorganisasi di semester 6 karena harus lulus maksimal 5 tahun. Solusinya, Kopma UIN pun memberlakukan sistem pembagian anggota dengan prinsip 50 persen dari pengurus baru dan 50 persen dari pengurus lama.
Kopma ini dulunya pernah menjadi koperasi mahasiswa terbesar di Jogja tahun 1993 hingga 1995. Berdiri sejal 24 November 1982, awalnya Kopma UIN hanya memiliki satu unit usaha, yaitu toko buku. Lalu di tahun 1984 mulai menambah pemasukan dengan membuka usaha kafetaria dan mini market. Tiga tahun setelahnya, layanan pos dan giro dibuka. Disusul dengan unit usaha warnet dan layanan biro wisata beberapa tahun setelahnya. Namun Kopma UIN sempat pasif setelah bencana gempa terjadi di tahun 2006. Kafetaria tidak lagi diurusi Kopma dan berpindah tangan ke pihak luar.
Meskipun mengalami penurunan setelah gempa tersebut, kopma UIN kini mulai berkembang walaupun peningkatannya tidak terlalu signifikan. “Target 2 tahun ini sih kita ingin mengembalikan kafetaria yang berhenti beroperasi,” tutur Budi. Kini, ada tiga unit usaha yang dikembangkan Kopma UIN, yaitu swalayan, warparpostel, dan toko buku.
Terkait target, jika target usaha di Kopma UGM diukur dalam RJP, maka Kopma UIN menamakannya Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO). Di dalamnya memuat visi misi jangka panjang kopma selama 10 tahun, yakni ingin menjadi koperasi terbesar dan terdepan mitra sukses anggota. GBHO dijabarkan per tahun sekaligus diperbaharui dan dievaluasi.
Terdapat pula Garis Besar Proram Kerja yang memuat program-program kerja di dalamnya yang dijabarkan lagi menjadi program lima tahun, dan program dua tahun. Semua dinilai sesuai dengan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Koperasi. Contohnya di tahun 2015, targetnya pemenuhan seluruh aset kopma menjadi Rp 3,5 miliar sudah tercapai.
Kopma UIN juga punya cara sendiri untuk mengembangkan ajang kreativitas anggotanya. Ajang ini disebut lembaga dan wahana kekaryaan anggota, yang terbagi lagi dalam 6 macam forum.
Pertama, Lembaga Pers Koperasi Mahasiswa (LPKM), bertugas layaknya lembaga pers yang meliput dan menulis berita serta membangun jaringan dengan lembaga pers sekampus. Kedua, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (LP2KIS), forum bagi anggota yang berminat pada public speaking, moderator, dan master of ceremony Ketiga, Lembaga Pengembangan Panitia Profesional (LEPTRIKOM) untuk melatih anggota dalam manajemen kegiatan acara. Keempat, Lembaga Pelatihan Pengembangan Pengelola Perusahaan (LP4KOM) yang berbentuk perpustakaan. Kelima, Pengembangan Bakat dan Minat yang lebih fokus pada bidang olahraga. Dan keenam, Forum Kajian Ekonomi dan Pengkoperasian sebagai wadah diskursus mengkaji koperasi, menganalisis keuangan dan bisnis.
Selain UGM dan UIN, Kopma UNY yang juga menerapkan RJP dalam penilaian kinerjanya. Pola Umum Pengembangan Jangka Panjang (Polupjam) sebutannya. Polupjam ini ditargetkan selama 5 tahun. “Pingin SHU berapa, jumlah anggota masuk berapa, keaktifan anggota gimana, kalau kemarin ada target merampungkan koperasi binaan, terus nanti anggota ngusulin apa lagi. Itu ditampung semua,” jawab Anggia Zainur Rahmah, Ketua Umum Kopma UNY 2015/2016.
Kopma UNY menargetkan omset mereka di tahun 2016 antara Rp 3,5 – 4 miliar, dan target ini tercapai. Kopma UNY juga berpromosi melalui open sponsorship. “Anak-anak unit kegiatan mahasiswa itu pasti punya acara, semua kita bantu. Bisa fresh money, diskon, atau barang gratis,” terang perempuan berkulit sawo matang tersebut. Ia menjelaskan cara lain kopma UNY dalam meningkatkan kualitas dan branding kopma sambil sesekali meneguk minuman yang baru saja dibelinya.
Sampai sekarang, ada tujuh unit usaha yang diampu Kopma UNY. Di antaranya, Kafe “Garden Café, unit jasa dan pembiayaan, unit simpan pinjam, kantin di salah satu fakultas, dan tiga mini market. Salah satunya adalah Kopma UNY Core, tempat Anggi membeli minuman saat itu.
Terkait kendala, Anggi menjelaskan bahwa isu lulus maksimal 5 tahun membuat anak-anak otomatis lebih mengutamakan kuliahnya dibanding kopma. “Karena semester tua otomatis nggak banyak kuliah, jadi kita back up. Kita juga beri pembinaan satu tahun ke pengurus baru, bentuknya lebih ke pelatihan dan magang ke perusahaan,” jelasnya. Ia merasa bahwa kelemahan kopma saat ini memang terletak pada para pengurus yang notabene-nya adalah mahasiswa labil, tidak tahu prioritas dan takut terganggu akademiknya. Anggi menyimpulkan bahwa dalam kopma harus benar-benar mencari kader, tidak hanya seputar bisnis.
“Setiap koperasi pasti punya tujuan termasuk kopma. Ketika tujuan itu tercapai, maka bisa dibilang koperasi itu sudah sukses. Tetapi bila tujuan itu belum tercapai, maka koperasi itu bisa dibilang belum sukses, meskipun secara usaha sudah besar,” kalimat tersebut terucap dari lelaki separuh baya pagi itu.
Sambil mencoret-coret sebuah kertas, tangannya berusaha membantu menjelaskan seperti apa konsep koperasi sebenarnya. Di atas kursi kantor yang biasa diduduki, badannya bergerak mengikuti irama dan nada bicaranya, menampakkan ketertarikannya yang begitu kuat dengan koperasi, terutama kopma.
“Pas banget kalian ke sini, saya juga dulu lulusan kopma jadi bisa saya terangkan,” sapanya ramah saat memulai penjelasannya.
Namanya Wahyu Tri Atmojo. Pria ini berasal dari Kopma UNY. Kini, ia bekerja sebagai Konsultan Pendamping Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta. “Sebenarnya patokan koperasi yang sukses itu satu, bisa menyejahterakan anggotanya,” jawabnya ketika ditanya mengenai patokan kesuksesan koperasi.
Ada dua pendekatan utama ketika berbicara tentang indikator koperasi dianggap telah menyejahterakan anggotanya. Pendekatan yang pertama adalah ketika anggota koperasi berbelanja di salah satu unit usaha koperasi, harganya lebih rendah daripada harga non anggota.. Wahyu mencontohkan sebuah air minum bermerek yang mungkin harganya bisa mencapai Rp 2 – 3 ribu. Tapi di koperasi, harga non anggota dijual hanya Rp 1800 dan harga anggota dijual Rp 1500.
“Maka itu akan menarik. Nah kopma pun dapat menerapkannya,” jelas Wahyu. Wahyu beranggapan bahwa ketika kepengurusan kopma dapat membuat harga seperti ini, maka anggota akan merasa disejahterakan.
Pendekatan yang kedua adalah memberikan harga yang sama antar anggota dan non anggota koperasi. Sehingga SHU yang akan didapatkan pun lebih tinggi. SHU adalah pendapatan koperasi dikurangi biaya-biaya, penyusutan, kewajiban-kewajiban terasuk pajak dalam kurun waktu tertentu yang hendak dibagikan kepada setiap anggota koperasi.
Menurut Wahyu, kopma di Yogyakarta cenderung melakukan pendekatan yang kedua. Sehingga mereka punya tuntutan untuk menghasilkan SHU sesuai dengan rekomendasi Rapat Akhir Tahunan (RAT). RAT adalah agenda tahunan untuk memaparkan pertanggungjawaban akhir periode dan mengusulkan berbagai resolusi untuk perkembangan kopma ke depannya.
Sedangkan di dalam kopma sendiri terdapat dua hal yang tidak mudah dipelajari. Pertama, membentuk organisasi secara utuh, dan yang kedua adalah bisnis. Tidak semua unit kegiatan mahasiswa melakukan dua hal secara bersamaan, tetapi kopma setiap hari melakukan dua hal ini. Namun sayangnya, menurut Wahyu, mahasiswa sekarang belum bisa diajak berbicara jauh terkait usaha. Beberapa kopma terkendala masalah pengembangan SDM karena tidak ada SOP yang berjalan secara optimal.
Kedua, terkendala masa kepengurusan satu tahun. Para pengurus kompa harus menjalankan kepengurusan satu tahun, sekaligus harus menggerakkan usaha guna mencapai target tahunan. Dalam setahun, biasanya pengurus baru butuh waktu 3 sampai 4 bulan untuk belajar. Di bulan ke 5 dan 6 terpotong oleh libur semester, sedangkan bulan ke 7 dan 8 harus fokus pada ujian. “Jadinya kepengurusan hanya berjalan berapa bulan? Pendek kan?” Dengan menegapkan badan dan alis tegang, Wahyu bergidik.
“Mereka harus melakukan transfer of knowledge dan transfer of information. Nah, tapi tahu kan anak-anak mahasiswa kalau di organisasi? Mereka rata-rata tidak mau mengambil tanggung jawab karena orientasi mereka sekarang lebih ke akademik,” paparnya panjang lebar.
Lebih jauh, Wahyu menutukan bahwa kopma yang sukses harus mempunyai kurikulum pendidikan yang baik dan bagus, bahkan kurikulum pendidikan ini harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan oleh kepengurusan kopma yang harus berganti setiap tahunnya dan berujung pada minimnya pengembangan kaderisasi.
Maka dari itu, setiap anggota kopma juga harus melakukan treatment, yaitu dengan membentuk Rencana Jangka Panjang (RJP) per tiga atau lima tahun dan menerapkan SOP yang jelas. Wahyu menambahkan bahwa kopma juga harus bisa membangun ikatan yang kuat antara alumni dan pengurus.
Melirik jauh tentang bagaimana kopma dapat terbentuk, Wahyu berpendapat bahwa kopma yang besar itu timbul karena pengurusnya adalah orang-orang yang kepepet tidak mempunyai uang. Ketika kopma dihuni oleh orang-orang yang sudah nyaman secara finansial, mereka akan merasa tidak perlu mengembangakan kopma. Mereka tidak biasa dituntut oleh keluarganya untuk mandiri. Sedangkan di kopma mereka dituntut untuk mencapai target. “Membentuk orang supaya mereka bisa mencurahkan seluruh waktunya di kopma, untuk mencapai target itu tidaklah mudah. Padahal salah satu prinsip koperasi adalah kemandirian,” pungkasnya.
Reportase bersama : Arga Ramadhana, Siti Nur Qoyimah