Aufklarung, Handika, Irsyad, dan Satrio mengajukan uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Selang beberapa waktu, teror mulai datang pada mereka.
Himmah Online – “Kami melihat bahwasanya proses dalam pembentukan ataupun penyusunan naskah akademik itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ujar Irsyad Zainul Mutaqin, salah satu dari empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang mengajukan permohonan uji formil UU TNI Nomor 12 Tahun 2011.
Keempat mahasiswa itu adalah mahasiswa angkatan 2022, Abdur Rahman Aufklarung, dan beberapa angkatan 2023: Bagus Putra Handika Pradana, Irsyad Zainul Mutaqin, dan Satrio Anggito Abimanyu. Bersama-sama, mereka mengajukan permohonan uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“(Awalnya) kalau yang jadi pemohon itu sebelumnya ada enam (mahasiswa), cuma yang dua (mahasiswa) itu mengundurkan diri karena terdapat acara. Jadi yang menyusun itu ada empat orang (red-mahasiswa),” ujar Irsyad saat diwawancarai Himmah Online pada Senin, 27 Mei 2025.
Mulanya, Irsyad beserta teman-temannya mendapatkan naskah akademik dari laman web berkas.dpr.go.id. Setelah berhasil mengaksesnya, Irsyad dan teman-temannya menemukan kejanggalan.
Mereka menilai sejumlah substansi dalam naskah akademik tidak melalui kajian ilmiah yang memadai, khususnya pada pasal-pasal yang mengalami perubahan signifikan. Contohnya, naskah akademik tidak menjelaskan dampak perubahan undang-undang terhadap masyarakat.
Aspek pembiayaan negara pun luput dihitung, seperti pada pasal 53 yang mengatur perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Menurut Irsyad, perubahan masa dinas prajurit semestinya disertai kajian mengenai konsekuensi finansial terhadap keuangan negara, mengingat penambahan masa jabatan akan berdampak langsung pada pembiayaan dan tunjangan yang dikeluarkan oleh negara.
Sejak Maret 2025, keempat mahasiswa itu mulai menyiapkan berkas permohonan uji formil. Mereka mengumpulkan bukti, menyusun narasi, dan mencocokkan dengan regulasi terkait, terutama Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, mereka juga menelaah teori-teori tentang pembentukan regulasi sambil berdiskusi dengan dosen untuk memperoleh masukan, termasuk mengenai kemungkinan dilakukannya pengujian materi.
Setelah selesai menyiapkan berkas permohonan, mereka melakukan pengajuan dengan mendaftar di laman MK pada Rabu, 30 April 2025. Lalu, berkas permohonan yang disiapkan oleh mereka dikirimkan langsung ke Kantor MK yang berada di Kec. Gambir, Jakarta Pusat oleh salah satu dari mereka, Satrio.
Intimidasi Dimulai
Darmono sedang berada di kebun miliknya, pada hari Minggu, 18 Mei 2025. Ia merupakan seorang petani yang juga Ketua Rukun Tetangga desanya Irsyad yang berasal dari Marga Tiga, Lampung Timur. Saat Darmono sedang berada di kebun, gawainya berdering, tanda ada panggilan suara yang masuk. Panggilan suara itu berasal dari nomor yang tidak ia kenal. Ia angkatlah panggilan suara dari nomor yang tidak dikenal itu.
“Dia (penelepon) mau datang ke tempat saya, nyari rumah saya,” ujar Darmono saat diwawancarai Himmah Online pada Selasa, 3 Juni 2025 melalui panggilan suara Whatsapp.
Selang sepuluh menit setelah mengangkat panggilan suara, orang yang menghubungi Darmono tiba di rumahnya. Orang itu mengaku dari intelijen Bandar Lampung. Intel itu bertanya kepada Darmono, apakah Irsyad merupakan warganya. Darmono menjawab, “Ya betul. Itu warga saya. Sekarang lagi kuliah di Jogja” ujarnya.
Intel juga memberikan pujian kepada Irsyad ketika ia menjadi pemohon di MK kepada Darmono. Intel mengucapkan bahwa Irsyad memiliki prospek yang baik di masa depan. Usai memuji Irsyad, intel meminta data Irsyad kepada Darmono. Akhirnya Darmono memberikan Kartu Keluarga (KK) milik Irsyad, dan intel segera memotretnya.
“Terus dia (intel) bilang begini ‘jangan kasih tahu dulu ya ke Mas Irsyad nya, ya’,” ujar Darmono menirukan ucapan intel.
Awak Himmah telah berusaha menghubungi intel dari Bandar Lampung itu melalui pesan teks. Pesan pertama telah terkirim kepadanya namun tak ada jawaban darinya. Pesan kedua tidak dapat terkirim dan ketika dihubungi melalui panggilan suara, nomor tersebut sudah tidak aktif.
Anak Darmono tidak sengaja mendengar percakapan antara ayahnya dengan intelijen Bandar Lampung. Mengambil gawainya, anak Darmono segera memberi kabar kepada Irsyad melalui pesan Whatsapp bahwa ada orang yang datang ke rumahnya dan sedang mencari identitas Irsyad.
Lantas, Darmono dihubungi oleh Irsyad. Keponakannya itu memastikan apakah benar identitas dirinya sedang dicari seseorang. Darmono menjawab, “Ya, saya bilang begitu. Nyari data aja. Nggak ada bahasa ancaman, nggak ada bahasanya intimidasi juga,” ujarnya.
Irsyad menerima pesan dari anak Darmono ihwal identitasnya sedang dicari oleh seseorang itu pada Minggu siang, 18 Mei 2025. Berbarengan dengan kabar tersebut, grup Whatsapp berisi empat mahasiswa yang mengajukan uji formil UU TNI juga sedang ramai kabar ihwal Handika. Data pribadi Handika juga diminta oleh orang tak dikenal.
Pada hari yang sama, Minggu, 18 Mei 2025, sekitar pukul satu siang, Handika mendapat delapan panggilan tak terjawab dari pamannya. Deretan telepon itu datang kala ia sedang mandi. Seusai mandi, ia menghubungi kembali pamannya. Pamannya mengabarkan bahwa Yanto, Ketua RT desanya, telah mendatangi rumah keluarga Handika di Grobogan, Jawa Tengah.
Yanto bercerita, sebelum ia menyambangi rumah keluarga Handika, dua orang yang mengaku utusan dari MK mendatangi rumahnya. Mereka membicarakan Handika dan kawan-kawannya yang sedang mengajukan permohonan uji formil UU TNI. Kedua orang itu mengaku ingin memastikan bahwa Handika benar-benar berasal dari wilayah tersebut. “Saya sebagai RT wajib menunjukkan, meyakinkan bahwa Mas Handika benar-benar warga sini,” ucap Yanto.
Ketika diminta dokumen KK milik Handika, Yanto mengaku tidak memilikinya. Untuk itu, ia datang sendiri ke rumah keluarga Handika dan bertemu dengan kakek serta neneknya. Ketua RT itu meminta dokumen KK kepada kakek dan nenek Handika. Selembar KK milik keluarga Handika lantas dibawa pulang oleh Yanto.
Sesampainya di rumah, ia menyodorkan dokumen KK milik keluarga Handika kepada dua orang tamu tadi. Sontak kedua tamu itu langsung mengambil gambar KK tersebut. “(KK) yang aslinya langsung difoto,” ujar Yanto.
Seperti kedua rekannya di atas, Aufklarung yang kerap dipanggil Arung juga mengalami peristiwa serupa. Pada tanggal yang persis sama, Minggu, 18 Mei 2025, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) datang ke Kantor Desa Pesanggrahan di Kec. Kutorejo, Kab. Mojokerto untuk mencari data Arung. Hari itu kantor sedang libur sehingga tidak ada pegawai di sana.
Babinsa tersebut kemudian menghubungi Kepala Urusan (Kaur) pemerintah desa. Melalui sambungan telepon, Babinsa memberi kabar bahwa ia butuh salinan dokumen KK milik Arung. Setelah ditelepon, Kaur datang ke kantor desa untuk menemui Babinsa. Dalam pertemuan itu, Kaur memberikan data pribadi milik Arung yang diminta oleh Babinsa.
Kedua kawan Arung memberikan kabar tentang apa yang terjadi pada mereka. Merasa khawatir, Arung lalu menghubungi Ayahnya untuk memastikan apakah ada orang yang datang untuk mencari data pribadinya.
Muhammad Afif, ayah Arung sekaligus Kepala Desa setempat, mengaku tidak mengetahui bahwa Babinsa datang ke kantor desa untuk mengambil data pribadi anaknya. “Tetapi, saya sebagai orang tua Arung berpikir, kok saya enggak dimintai gitu loh. Terus setelah saya tunggu beberapa hari, enggak ada orang yang datang untuk meminta itu (Red-data pribadi, seperti yang dialami kawan-kawan Arung),” ujar Afif.
Kondisi ini membuat Afif cemas. Dua hari berselang, akhirnya Afif memutuskan untuk menelepon Babinsa yang bertugas di desanya, guna mencari informasi lebih lanjut. Belakangan ia mengetahui bahwa ternyata Babinsa telah mengantongi data pribadi milik Arung pada hari Minggu itu. Babinsa mendapatkan data Arung melalui Kepala Urusan (Kaur) pemerintahan desa.
“Babinsa dari Koramil itu memang meminta ke kantor dan kebetulan (babinsa) kenal sama kepala urusan, (lalu) diberikanlah (data Arung oleh Kaur),” ujar Afif.
Afif kemudian menghubungi Kaur. Menurut cerita Afif, Kaur langsung memberikan data milik Arung kepada Babinsa tanpa bertanya lebih lanjut. Katanya, Babinsa butuh dokumen itu untuk pendataan. “Karena alasan itu, Kaur tidak bertanya lebih jauh, tentang apa pendataan yang dimaksud. Ya langsung dikasihkan gitu saja,” ucapnya.
Setelah mengetahui bahwa Kaur telah menyerahkan salinan Kartu Keluarga (KK) milik Arung kepada Babinsa, Afif menegaskan kepada Kaur agar lebih berhati-hati. Ia berharap agar Kaur tidak sembarangan memberi data kepada siapa pun. “Ya, saya tekankan aja bahwa lain kali hati-hati. Jangan mudah ngasih data apapun kepada siapapun,” ucap Afif.
Awak Himmah mencoba meminta kontak Kaur Pemerintah Desa kepada Afif. Namun, hingga tulisan ini terbit, Afif belum memberi balasan.
Ayah Arung juga sempat menerima telepon dari pihak Kodim Mojokerto. Meski tak gamblang meminta agar dokumen pengajuan gugatan oleh anaknya ditarik, pihak Kodim meminta Afif untuk menasehati anaknya. “Cuman dalam bahasa yang lebih ini (halus), untuk menasehati anaknya kalau bisa jangan begitulah (red:mengajukan permohonan uji formil UU TNI),” ujar Afif.
Dalam artikelnya, Tempo menghubungi seorang anggota Kodim Mojokerto untuk meminta tanggapan mengenai tekanan terhadap keluarga Arung. Pihak Kodim menyatakan bahwa babinsa yang mengantongi data Arung bukan maksud untuk mengintimidasi, melainkan kebutuhan untuk mendata geografi, demografi, dan kondisi sosial.
Hanya Satrio yang tidak mendapatkan bentuk intimidasi seperti yang dialami oleh teman-temannya. Ia tidak didatangi oleh pihak-pihak tak dikenal.
“Kalau saya (asalnya) dari Jakarta. Itu justru yang buat saya bertanya-tanya. Saya ini dari Jakarta, kok malah aman,” ujarnya saat diwawancara pada Selasa, 27 Mei 2025.
Awak Himmah telah mencoba menghubungi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi untuk meminta penjelasan mengenai alasan pengambilan data mahasiswa yang menjadi pemohon uji formil UU TNI. Namun sampai tulisan ini terbit, ia belum memberi balasan.
Ketika mendengar kabar yang tak mengenakkan itu, empat mahasiswa yang mengajukan permohonan uji formil UU TNI sedang berada di Yogyakarta. Walhasil, mereka melaju menggunakan motor ke Layanan Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) FH UII pada Minggu, 18 Mei 2025, sore hari, sekitar pukul 16.00.
Kantor LKBH FH UII berada di Jalan Lawu No.3, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Sesampainya di sana, mereka segera membuat laporan serta berkonsultasi kepada LKBH FH UII mengenai intimidasi yang mereka terima.
“LKBH menyarankan bahwasanya ya lebih berhati-hati, terus kemudian mengamankan akun-akun media sosial, dan sebagainya,” ungkap Irsyad.
Usai melapor, keempat mahasiswa kembali menuju motor mereka masing-masing. Tiba-tiba, Irsyad merasa rem belakang motornya tak berfungsi. Namun, ia tetap melanjutkan perjalanan pulangnya.
Keesokan harinya, ia membawa motornya ke bengkel untuk diperiksa. Mekanik yang menanganinya menanyakan apakah rem belakang memang sengaja diputus. Irsyad menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal semacam itu, apalagi tindakan tersebut bisa membahayakan keselamatannya.
Sepeda motor yang dibawa Irsyad menggunakan pengereman Combi Brake System (CBS). Sistem ini memungkinkan pengereman depan dan belakang bekerja bersamaan saat tuas rem kiri ditekan. Pada motor Irsyad, rem belakang ditemukan dalam kondisi terlepas. Akibatnya, fungsi pengereman kombinasi tidak dapat digunakan.
“Itu gak mungkin (remnya lepas sendiri). Kalau (seperti) itu pasti dilepas,” ujar Ikhsan (24), mekanik yang memperbaiki sepeda motor Irsyad, ketika diwawancara awak Himmah pada Jumat, 20 Juni 2025.
Sejenak, mereka sempat bertanya-tanya, apa alasan di balik pengambilan data pribadi oleh pihak yang mengaku dari MK. Menurut mereka, pengambilan data pribadi tanpa persetujuan tentunya melanggar hukum.
Namun, lebih dari itu, peristiwa tersebut juga dapat mencoreng nama baik lembaga negara. Para pihak yang mengambil data pribadi tanpa persetujuan mengaku sebagai utusan MK. Pengakuan tersebut dapat merusak citra lembaga peradilan.
“Jadi sebetulnya kalau dilihat, korban (dari peristiwa) ini bukan hanya kami, tapi Mahkamah Konstitusi juga jadi korban,” ujar Satrio.
Pada kesempatan di sidang perbaikan permohonan, keempat mahasiswa itu, sebagai pemohon, bertanya kepada majelis hakim terkait apakah ada utusan dari MK yang mencari alamat para pemohon. Mereka juga menanyakan apakah MK memiliki prosedur atau kewenangan khusus untuk menelusuri alamat para pemohon.
“Kemudian hakim Pak Arif Hidayat mengatakan (red-menjawab) bahwasanya kami (MK) tidak memiliki prosedur seperti itu (menelusuri alamat pemohon) dan sudah dipastikan (orang yang meminta data pemohon) itu bukan kami (MK),” ujar Irsyad.
Respons UII
Seiring berjalannya waktu, kabar ini pun terdengar sampai ke gedung rektorat UII. Lantas, Fathul Wahid, selaku Rektor UII meminta kepada LKBH FH UII untuk turut memberikan pendampingan kepada para penyintas. Ia juga meminta agar LKBH FH UII memastikan keamanan dan keselamatan keempat mahasiswa itu.
Menurut Fathul, penyampaian aspirasi melalui jalur konstitusional adalah hak setiap warga negara yang harus didukung, bukan dibatasi. Ia menegaskan bahwa tindakan intimidasi terhadap mahasiswa tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun.
“Harus didukung. Itu hak konstitusional warga negara. Sehingga kalau rektor membatasi malah rektor melanggar konstitusi,” ujarnya saat diwawancarai Himmah Online pada Senin, 2 Juni 2025.
Rizky Ramadhan Baried, Direktur LKBH FH UII, menyatakan bahwa pihaknya tengah memberikan pendampingan hukum atas ancaman, intimidasi, serta pelanggaran data pribadi yang dialami para pemohon uji formil UU TNI.
Pihak LKBH FH UII telah berdiskusi dengan bagian kemahasiswaan terkait kemungkinan penggunaan fasilitas kampus apabila terjadi pertambahan kasus. Rizky meminta tim kuasa hukum yang mendampingi pemohon untuk secara rutin memberikan pembaruan informasi, guna memastikan pemantauan dan perlindungan terhadap kondisi para pemohon.
Rizky menjelaskan bahwa pihaknya turut memantau situasi pasca sidang putusan MK. Sejumlah langkah hukum disiapkan, termasuk pelaporan atas dugaan perusakan sepeda motor Irsyad yang terjadi di sekitar kantor LKBH. Namun, keputusan untuk melangkah ke ranah hukum masih dipertimbangkan.
“Tapi pada prinsipnya kita sudah menyiapkan langkah-langkah untuk itu,” ujar Rizky saat diwawancarai Himmah Online pada Rabu, 4 Juni 2025.
Monolitik, Seperti Dulu Lagi
Awak Himmah melaju ke kantor Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) yang berada di Gang Bakung Jeruklegi, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mewawancarai M. Syafi’ie, pakar Hukum HAM dan Kewarganegaraan.
Duduk di kursi kantornya, Syafi’ie menjelaskan bahwa pengambilan data pribadi para pemohon oleh pihak yang mengaku berasal dari lembaga negara merupakan tindakan yang problematik. Sebab, para pemohon sebenarnya telah menyertakan data pribadi mereka kepada MK sebagai syarat mengajukan uji formil.
“Karena data kita itu kan sudah dikasih semua. Jadi alamatnya pemohon, kemudian nomor telepon, alamat rumah, profesi, ada semua di situ. Jadi (data pribadi) lengkap dan itu memang menjadi syarat untuk dituliskan ketika kita akan mengajukan (uji formil) ke MK,” jelasnya.
Selain dari kejanggalan itu, Syafi’ie juga menilai tindakan pengambilan data pribadi oleh pihak yang mengaku berasal dari lembaga negara merupakan bentuk intimidasi. Karena tidak ada prosedur yang melandasi pengambilan data tersebut. Apabila data yang diserahkan kepada MK tidak lengkap, MK bisa meminta pemohon untuk melengkapinya. “Enggak sampai datang ke tempat rumah, atau RT RW (Rukun Warga), itu enggak ada,” jelasnya.
Undang-Undang Dasar menjamin hak warga negara Indonesia untuk berpendapat, berserikat, dan bebas dari rasa takut. Ketika terdapat aturan hukum yang dianggap bermasalah, baik secara konteks pembuatan, formil, maupun substansinya, warga negara berhak mengajukan peninjauan kepada MK atau Mahkamah Agung tanpa mengalami intimidasi.
Syafi’ie mengatakan intimidasi yang diterima mahasiswa pemohon uji formil itu lantaran kekuasaan saat ini bersifat homogen dan monolitik. Ia menilai, pernyataan eksekutif seperti ketika eksekutif mengajukan RUU kepada DPR untuk dibahas, hampir selalu disetujui oleh DPR tanpa kritik berarti. Kondisi ini mencerminkan tidak adanya mekanisme checks and balances yang seharusnya dijalankan dalam sistem demokrasi.
“Tidak ada check and balances. Mestinya kan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, terutama legislatif ini kan langsung jadi penyeimbang. Jadi, apapun tindakan penguasa itu dikritisi,” ujarnya.
Atas peristiwa intimidasi itu, Syafi’ie teringat pada masa Orde Baru (Orba), sebuah periode yang menurutnya penuh dengan ketakutan. Ia bercerita tentang bagaimana intimidasi dan teror menjadi bahasa yang lazim digunakan penguasa untuk membungkam suara-suara yang berseberangan. Kala itu, masyarakat sipil tidak memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat.
Di masa Orba, orang yang berpendapat maupun berserikat mengalami intimidasi dan teror oleh pihak keamanan. ABRI menjadi alat untuk membungkam mereka. “Mau dimunculkan lagi (masa penuh intimidasi dan teror) gitu ya, dengan Revisi Undang-Undang TNI, bentar lagi adalah Revisi Undang-Undang Polri,” pungkas Syafi’ie.
Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Agil Hafiz, Ayu Salma Zoraida Kalman, Cahya Nurani Annisa Paradise, Putri Cahyanti
Editor: Hana Mufidah