“Pergerakan ibu-ibu di sini yang memimpin bukan saya.”
Uswatun Khasanah, 37 tahun, menutur pelan. Keengganan untuk diwawancarai tampak jelas mewarnai raut wajah meski sudah ia coba tutupi dengan senyum. Ia tidak mengerti banyak duduk persoalan terkait dakwaan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kendal terhadap tiga orang warga Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal: Nur Aziz (44 tahun), Sutrisno Rusmin (64 tahun), dan Mujiono (40 tahun). Karenanya, ia ragu memberikan keterangan apa pun. Uswatun berkali-kali menyarankan agar mewawancarai orang lain saja, yang lebih memahami runtutan masalah. Ketua pergerakan petani perempuan Desa Surokonto Wetan, misalnya.
Ibu dari empat anak ini mengaku tidak turut berjuang dalam menentang Perhutani sejak awal. Ia terlampau sibuk mengurusi putra-putrinya sehingga lebih sering berada di rumah. Uswatun baru mengikuti perkembangan kasus sejak sidang kelima dilangsungkan berhubung saat itu anak bungsunya, Lukluil Maknun, sudah masuk sekolah. Sudah bisa ditinggal.
Tatkala suaminya, Aziz, mendapat surat panggilan dari polisi, Uswatun bahkan tidak langsung tahu. Ia mengaku diberitahu oleh orang lain. “Saya kaget. Bapak (Aziz –red) kalau ada gitu-gitu, saya ndak dikasih tahu,” ujar Uswatun lirih. “Karena saya orangnya mudah kepikiran. Bapak ndak mau saya ikut mikir berat.”
Terlihat perubahan air muka pada Uswatun. Seakan menunjukkan sekelumit kesedihan. Ia kemudian menceritakan bahwa anak pertamanya pun mengetahui perkara yang menjerat sang ayah dari orang lain. Pemilik warung sate di sebuah pondok dekat rumah menunjukkan sebuah koran padanya. Bertanya, “Ini bapakmu kok masuk koran?”
Uswatun akhirnya angkat bicara perihal surat panggilan tersebut kepada Aziz. Menurut wanita kelahiran 1979 itu, Aziz mengiyakan sambil menenangkannya. “Ya, ndak apa-apa. Sepele. Sudah ndak usah dipikirin.” Uswatun menirukan kata-kata sang suami. Walau diminta demikian, Uswatun tentu saja tak bisa melakukannya. Masalah ini tetap memenuhi pikiran Uswatun. Ia takut.
Perasaan cemas bercampur gugup juga kerap muncul, terutama ketika menghadiri sidang ketiga terdakwa. “Kalau Bapak menguatkan saya, perasaan jadi ‘blong’. Tapi kalau dengar pembicaraan orang-orang, saya langsung down lagi,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Pandangan nanar Uswatun lalu diarahkan pada Luluk—nama panggilan Lukluil Maknun—yang bergelayut di pangkuan. Perhatiannya untuk sementara teralihkan oleh celotehan si bungsu.
Jika sudah begini, Uswatun hanya bisa mendoakan dan mendukung Aziz dalam segala kemungkinan yang akan terjadi ke depannya.
***
Canda tawa di sela obrolan terdengar memenuhi rumah Aziz. Pemuda, pemudi, bapak-bapak maupun ibu-ibu ramai berkumpul. Ada yang berbincang di teras ditemani rokok dan kopi. Ada pula yang duduk setengah lingkaran di dalam ruangan, silih berganti bicara sambil sarapan pagi. Mereka tidak tampak tegang. Padahal, pagi itu mereka akan berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendal sekaligus menghadiri persidangan yang beragenda pembacaan nota pembelaan dari warga Surokonto Wetan.
Aksi ini rencananya diikuti oleh sejumlah warga anggota Perkumpulan Petani Surokonto Wetan bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (Sebumi) yang tergabung dalam Front Rakyat untuk Agraria Kendal (FRAK). Pelaksanaan aksi didasari keresahan warga atas penetapan tiga petani Surokonto Wetan sebagai terdakwa.
Aziz, Rusmin, dan Mujiono dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dan penyerobotan lahan yang telah dicap sebagai kawasan hutan oleh Perhutani. Ketiganya dituntut dengan Pasal 94 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juncto Pasal 55 ayat (1) buku ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 94 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Singkatnya, tiga petani tersebut dijerat UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Semula, Aziz hanya dipanggil sebagai saksi. Penetapannya sebagai tersangka terjadi di kepolisian. Sebelumnya ia dan dua terdakwa lain merupakan perwakilan warga dalam menyampaikan penolakan atas rencana Perhutani menanam pohon jati di lahan Desa Surokonto Wetan. Aziz mengungkapkan bahwa masyarakat datang ke rumahnya saat mengetahui kabar itu dari sekretaris desa. Warga meminta Aziz menjadi wakil mereka.
Aziz memang seorang tokoh masyarakat yang banyak berpengaruh di Desa Surokonto Wetan. Badannya gempal, tatapan matanya tajam, gaya bicaranya tenang dan tertata rapi. Orang tak akan menyangka kalau ia baru lancar berbahasa Indonesia dua tahun belakangan ini. “Dulu saya tidak enak bicara pakai bahasa Indonesia, ribet. Tapi sekarang lebih nyaman pakai bahasa Indonesia. Ya, karena masalah sama Perhutani ini, saya jadi belajar bahasa Indonesia. Sering ada audiensi. Sering belajar hukum.”
21 Januari 2015, Perhutani mengadakan kajian sosial di balai desa. Karena warga sudah bersepakat, mereka pun menyiapkan surat penolakan. Aziz menandatangani surat itu sebagai ketua, Rusmin sebagai wakil ketua, dan Mujiono selaku sekretaris. Pihak Perhutani mengatakan bahwa penolakan ini akan diadukan kepada atasan. Siapa sangka hal ini ternyata berujung pada pelaporan tiga petani Surokonto Wetan.
Rovi Tri Kuncoro selaku Wakil Administratur Perum Perhutani KPH Kendal dalam persidangan menerangkan bahwa adanya penolakan masyarakat setempat menyebabkan ia terkendala melakukan pengelolaan lahan. Bahkan, pada bulan Desember 2015, petugas Perhutani yang ingin memasuki tanah kawasan hutan sempat dihadang oleh warga desa. Pikir Rovi, mungkin warga ingin menguasai tanah tersebut sehingga ia melaporkan Aziz, Rusmin, dan Mujiono ke kepolisian.
Aziz tidak terkejut dengan tudingan tadi, walaupun tak pula mengira. Ia merasa semuanya dipaksakan. “Saya tahu ini untuk menakut-nakuti. Lalu nanti saya dilobi biar minta maaf. Tapi, kan, saya enggak mau.”
Menurut Aziz, mereka tidak bersalah. “Saya dituduh mengatur pembagian di lahan Perhutani. Padahal pas pembagian lahan dilakukan, kami belum tahu kalau lahan yang kami garap sudah jadi milik Perhutani,” ucap pria berusia 44 tahun itu di tengah kegiatan melinting rokok. “Ya, kami dikriminalisasi.”
Samuel Bona Rajagukguk dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang yang mengadvokasi kasus ini pun mengamini pendapat Aziz. Warga membagi lahan bukan lantaran Perhutani telah mengambil alih lahan tersebut, melainkan akibat ketimpangan penggunaan lahan antar perorangan. Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang menetapkan tanah Desa Surokonto Wetan sebagai kawasan hutan memang terbit tahun 2014, sebelum kajian sosial oleh Perhutani diselenggarakan, namun warga sama sekali tidak tahu-menahu. Pihak Perhutani tak mengumumkan status kepemilikan lahan ketika kajian sosial.
“Warga baru tahu begitu ditunjukkan SK-nya di Polres (Kepolisian Resor –red) Kendal bulan April 2015. Itu juga karena mereka membentuk tim yang berusaha mencari tahu apa yang terjadi di Surokonto Wetan,” papar Samuel merujuk pada Aziz, Rusmin, dan Mujiono. “Jadi, bukan karena warga gak mau terima tanah dijadikan kawasan hutan sehingga memutuskan bagi-bagi lahan,” lanjutnya.
Lagi pula, tutur Aziz, UU P3H sesungguhnya diperuntukkan bagi korporasi atau pengusaha yang hendak merusak hutan demi kepentingan komersial. Sayangnya, di realitas UU P3H justru hampir selalu digunakan terhadap warga biasa.
Dilansir oleh CNN Indonesia pada tanggal 7 Mei 2015, Koalisi Anti Mafia Hutan mencatat ada 53 warga yang terjerat pidana UU P3H pada tahun 2014. Sementara itu, tak ada korporasi yang berhasil dijerat dengan UU tersebut. Tiga petani Surokonto Wetan hanyalah salah satu contoh. Masih banyak kasus-kasus lain terkait kriminalisasi masyarakat lokal menggunakan UU P3H, seperti kasus Nenek Asiani, kasus masyarakat hukum adat Semende Banding Agung, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, tahun 2014 silam, Koalisi Anti Mafia Hutan mengajukan uji materi terhadap UU P3H ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui Pokok-Pokok Gugatan Masyarakat Sipil Terhadap UU P3H, Koalisi Anti Mafia Hutan bersimpulan bahwa UU P3H merupakan undang-undang yang dirumuskan dengan ceroboh sehingga memberi ruang terjadinya overkriminalisasi. Kemudian pada 10 Desember 2015, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan.
Putusan tersebut mengoreksi berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dengan meneguhkan prinsip bahwa masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam kawasan hutan dan perkebunan tidak boleh dikenakan tindak pidana kehutanan, sebagaimana tertera dalam keterangan ahli Yance Arizona. Lebih lanjut, Dosen Ilmu Hukum President University dan Direktur Eksekutif Epistema Institute itu mengutarakan bahwa upaya represif penegakan hukum di bidang kehutanan harus dipandang sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Sedangkan pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah mencegah terjadinya konflik agraria dengan mengikuti prosedur pengukuhan kawasan hutan secara benar dan adil.
Ditanyakan mengenai pemakaian UU P3H kepada warga, Sunarto yang menjabat sebagai Administratur Perum Perhutani KPH Kendal merespons ringan, “Kalau ada yang melakukan kejahatan di dalam hutan, Perhutani sebagai pengelola harus melapor ke polisi. Kalau kita tidak melapor, kita kena pasal pembiaran.”
***
Sepanjang jalan menuju Kota Kendal diisi ibu-ibu warga Desa Surokonto Wetan dengan gita puja berseling doa ke hadirat Allah SWT. Sesampai di depan Pasar Kota Kendal, massa aksi memulai long march hingga Kantor DPRD. Tuntutan demonstrasi lantang dipekikkan, abai pada peluh yang terus menetes di tengah terik surya. Warna-warni spanduk dan rontek pun menghiasi, mendeklarasikan ihwal yang tak sanggup diungkap lewat lisan.
Sidang yang telah dijadwalkan ternyata ditunda. Pihak Surokonto Wetan mengajukan penundaan persidangan selama satu minggu untuk mematangkan dan menyelaraskan pledoi dari ketiga terdakwa dengan milik kuasa hukum pendampingnya.
Kelebat obrolan bersama Aziz kembali menyambangi benak saya. Menemani riuh suasana sekitar Kantor DPRD Kota Kendal. Si pria berwibawa tidak pernah menunjukkan sikap gentar. “Pokoknya, yah … enjoy saja,” kata Aziz mengembangkan senyum. “Andaikata dimenangkan pihak lawan, kami akan mengajukan banding. Sampai kasasi, PK (Peninjauan Kembali –red) kalau perlu.”
Kontras dengan sang istri, Aziz tetap merasa optimis. “Yang penting warga tetap solid, tetap berani. Walau saya di dalam penjara,” ucap Aziz mengakhiri kisahnya.
Kini, vonis telah dijatuhkan. 18 Januari 2017, ketiga terdakwa dinyatakan bersalah dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan penjara. Meski demikian, sebagaimana dikatakan Aziz, perjuangan mereka belum berakhir. Selama keadilan belum berhasil tegak, selama itu pula mereka akan terus bergerak.[]
Reportase bersama: Nurcholis Ainul R. T., Tsania Faza, Nalendra Ezra