Tarno lunglai begitu telinganya menangkap sirine ambulans. Belum lima menit duduk, ia harus kembali menjalankan kewajibannya. Dengan lelah yang menguasai sekujur tubuh, ia perlahan beranjak dari duduk. Pegal mendera siku kakinya. Barangkali kakinya seperti kayu penopang rumah panggung yang lapuk karena tergerus waktu. Terbersit kembali di angannya, berhenti dari pekerjaan ini. Namun, Tarno tidak pernah bisa melakukannya. Tidak pernah. Sungguh.
Ia sendiri juga tidak tahu, mengapa bisa demikian. Setiap kali mempunyai pikiran untuk berhenti dari pekerjaannya, selalu saja ada upaya dari sisi lain dalam dirinya yang membuat ia bertahan. Tarno benar-benar tidak pernah bisa menuruti angan-angan yang akhir-akhir ini muncul dengan lebih gencar itu. Sudah banyak rekan kerjanya yang tidak betah dan memutuskan berhenti dari pekerjaan yang penuh resiko itu. Sekali lagi, Tarno tidak bisa mengambil langkah seperti mereka-mereka yang mencari pekerjaan lain. Semuanya penuh misteri.
Sudah sebulan ia ditempatkan kerja di tempat pemakaman umum yang diresmikan oleh pemerintah dua bulan yang lalu. Tempat pemakaman umum ini sengaja diada-adakan untuk mengantisipasi lonjakan kematian akibat terpapar covid-19. Rupanya, antisipasi itu memang sejalan dengan apa yang ada di lapangan. Keadaan sedang menuju pada gelombang kedua lonjakan jumlah kasus terpapar korona. Melihat suasana yang demikian gentingnya, Tarno masih saja bertahan.
“Walaupun pemerintah terus mengupayakan penyediaan lahan TPU, tempat-tempat isolasi mandiri, dan penambahan kapasitas ranjang atau kamar, kalau mobilitas masyarakat tidak berkurang atau menganggap suasana ini tidak ada, pada akhirnya akan keok juga,” kata Shabran, rekan Tarno.
“Betul. Kita bekerja dari pagi sampai tengah malam, bahkan beberapa kali sampai dini hari, tidak dihargai oleh masyarakat. Buktinya apa? Ya, kesadaran mereka masih kurang dalam menghadapi pandemi ini,” keluh Sudiyono, rekan Tarno yang lain.
“Kalau keadaan tidak membaik, mungkin aku akan meninggalkan pekerjaan ini. Kita ini setiap hari direwangi berhadap-hadapan dengan malaikat Izrail, lho. Ini tidak main-main!” ucap Parimen, menggebu-gebu.
“Saya sakit rasanya, membaca judul-judul berita yang bersliweran di media sosial, tempat wisata yang dibuka, perusahaan yang masih buka di masa-masa pembatasan kegiatan masyarakat. Belum lagi penggerebekan tempat-tempat umum. Wajah-wajah mereka yang menjadi biang kerok timbulnya kerumunan, sama sekali tidak terlihat penyesalan di wajahnya,” ujar Andar, juga tentu rekan Tarno.
“Kalau begini caranya, negara ini bisa gagal mengatasi pandemi.”
“Lucunya, sekarang kabarnya vaksin bayar. Lha, yang gratis saja rakyat banyak tidak mau sebab takut ada apa-apanya. Ini malah mbayar? Bagaimana ini?”
“Pemerintah sudah tidak mampu mengatasi ini.”
“Pasrah!”
“Ambyar!”
“Hancur!”
Tentu Tarno tidak dapat menyalahkan mereka. Keluhan-keluhan yang keluar dari mulut mereka adalah sebuah kewajaran. Memulasarakan jenazah bukan pekerjaan sembarangan. Tidak hanya sebatas tenaga saja yang dibutuhkan sebagai modal. Kelapangan hati, keikhlasan, juga kesetiaan di tengah godaan dari dunia luar yang mengusik jiwa, juga diperlukan. Jadi jangan dikira gampang. Jangan sematkan kata “hanya” di depan dua kata “memulasarakan jenazah”.
Tarno pernah membayangkan apabila tidak ada mereka—para relawan yang bekerja keras mengurusi jenazah terpapar covid-19. Lantas siapa yang mau mengurus? Orang biasa kemungkinan akan berpikir dua kali untuk melangkah ke arah sana. Terpapar dan mati karena mengurusi jenazah korona, dianggap sebagai kebodohan atau kesia-siaan. Untungnya itu hanya bayangan Tarno semata. Tentu bayangan itu tidak mungkin terjadi.
Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah. Pintu belakang ambulans dibuka oleh pengemudi yang memakai hazmat. Tarno beserta ketiga rekannya segera bekerja. Menggunakan dua tali untuk menahan peti, mereka dengan perlahan melangkah ke liang kubur yang telah dikeruk oleh alat berat—jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari ambulans.
Tarno mencekal salah satu ujung tali. Ketika posisi peti sudah berada di atas liang, masing-masing yang memegang tali melangkah maju, sehingga peti perlahan masuk ke dalam liang. Tarno menghela napas, saat peti diturunkan. Alat berat kembali bekerja. Liang ditutup, hingga membentuk gundukan. Tarno langsung menggeletak. Di samping gundukan baru ia telentang. Menatap langit yang menampakkan semburat jingga. Ia menjadi teringat sebelum mengambil keputusan ini. Ya, keputusan untuk lebih memilih mengabdi menjadi relawan pemulasaraan jenazah daripada memilih Bulan, yang melarangnya untuk ke sana.
Jika keputusan itu tidak diambilnya, sekarang mungkin ia sudah berada di bukit bintang dengan Bulan. Menatap langit yang bersemburat jingga. Tarno mau tidak mau mengenang masa-masa itu—tempat favorit Tarno memang di bukit bintang sehingga ia sering mengajak Bulan ke sana. Tapi Tarno tidak pernah menyesalkan keputusannya, yang membuat hubungannya dengan Bulan kandas, di usia lima tahun. Padahal jika hubungan itu tidak berakhir, tahun ini ia sudah menjadi suami Bulan. Tarno tidak pernah menyesal.
“Kamu itu sudah tidak waras, Tarno!” kata Bulan. “Orang tuamu susah-susah menguliahkan kamu dan sekarang gelisah karena kamu tidak kunjung dapat pekerjaan yang layak. Sekarang kamu malah menambah pikiran orang tuamu, memilih menjadi tukang menguburkan mayat covid!”
Kata-kata Bulan masih ia ingat betul. Bulan marah-marah saat itu. Pada dasarnya, di relung hatinya yang paling dalam, Tarno bangga memiliki tambatan hati seperti Bulan. Apalagi kalau bukan karena Bulan yang mengkhawatirkannya; mati-matian mencegahnya untuk mengurungkan niatnya, walaupun usahanya gagal. Bulan takut Tarno terpapar virus covid-19 dan mati. Namun, ketetapannya sudah tidak dapat diganggu gugat. Ada sesuatu dalam dirinya saat itu mencengkeram pendiriannya begitu kuat. Ya, begitu kuat. Sangat kuat.
Langit masih semburat jingga. Ingatan tentang Bulan, ternyata mendatangkan ingatan lain. Tangis ibunya yang menjadi-jadi jelang kepergiannya. Terbersit di benak Tarno kala itu, rasa bersalah. Sementara ayahnya yang awalnya tidak setuju dengan keputusan Tarno, justru menguatkan ibunya, dan berucap macam-macam yang berinti pada kemuliaan pekerjaan yang akan Tarno lakukan. Kata ayahnya, pekerjaan Tarno tidak jauh beda dengan berjihad. Sepanjang perjalanan menuju pengabdian, Tarno merenung.
“Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Bulan benar adanya, setelah kuliahku selesai, bukannya aku membanggakan orang tua, malah menambah beban pikiran mereka,” batin Tarno.
Memang kehidupan ini penuh misteri. Begitu banyak orang mencari pekerjaan yang dianggap enak. Tapi dirinya malah memilih pekerjaan yang beresiko tinggi, setiap waktu maut mengintainya. Dan tidak ada rasa takut pada dirinya. Beberapa teman meneleponnya, ada yang menyayangkannya, ada juga yang salut. Rekan kerjanya pun banyak yang salut. Di antara orang yang bekerja sebagai relawan, Tarno adalah salah satu orang yang paling lama bertahan.
“Saya tidak tahu juga, Mas. Semakin saya mendengar kabar kasus covid terus bertambah, kematian terus ada, apalagi yang miris, saya semakin ingin bertahan di sini. Saya tidak bisa menjelaskan gamblangnya mengenai isi hati saya. Tapi seperti itulah,” jawab Tarno saat ditanya oleh rekannya, apa yang membuatnya begitu betah bekerja.
“Mereka, rakyat sulit sekali diatur, tidak pantas kita bantu sebenarnya,” respon rekannya.
“Sebaiknya jangan pikirkan mereka. Lagi pula wajar mereka sulit diatur. Jumlahnya tidak main-main, ratusan juta orang. Mereka butuh makan, apalagi rakyat. Sekarang kalau mereka disuruh menaati anjuran untuk di rumah saja? Saya kira tidak bisa, atau tidak sepenuhnya bisa, Mas.”
Memang, sebuah ujian yang tidak main-main. Itulah mengapa banyak orang yang memilih berhenti. Tarno tidak pernah mempedulikan keadaan di luar. Baginya keadaan di luar juga tidak patut sepenuhnya disalahkan. Tarno tentunya juga punya harapan, pandemi yang melumpuhkan segala hal ini supaya cepat selesai.
Ia tidak bisa berbohong juga, kalau ia mempunyai keinginan untuk pulang. Ibunya akhir-akhir getol menanyakannya soal itu lewat telepon. Tarno masih ingin bertahan. Barangkali ia akan bertahan sampai pandemi selesai; yang tidak jelas kapan berakhirnya. Tarno sudah berjanji kepada ibunya, kalau ia pasti akan pulang. Kata-kata itu entah sudah ia ucap berapa kali. Tarno tidak peduli, ia telah menuhankan dirinya. Terpaksa. Semata-mata hanya untuk mengusap rindu ibunya yang telah melebat. Tarno tidak ingin jiwanya dilemahkan.
Kini Tarno hanya ingin istirahat. Kali ini ia sudah tidak punya tenaga untuk berdiri. Kepalanya pusing. Sementara suara ambulans kembali terdengar. Semburat di langit hilang, sebentar lagi malam. Ia benar-benar sudah tidak punya tenaga. Matanya meredup, sekilas Tarno terngiang akan janjinya kepada ibunya. Apakah aku mampu menepati janjiku? Bisiknya. Sementara itu, rekannya mengajak Tarno untuk kembali bergerak.
Editor: M. Rizqy Rosi M.