Halmahera Tanah Eksotis yang Terjajah

Sebuah pulau kecil berbentuk huruf K di ufuk timur, menyimpan rahasia yang kini terungkap ke seluruh dunia. Halmahera menyimpan berbagai keanekaragaman hayati, sumber daya alam, dan cadangan yang berlimpah. Terutama pada bagian perut buminya yang kaya akan nikel, pasir besi, batu bara, minyak bumi, hingga asbes.

Berbagai perusahaan tambang asing datang, berlomba memburu pulau ini. Melalui tajuk pembangunan, investasi jangka panjang, green industry dan pemerataan kesejahteraan mereka mengejar izin konsesi tambang dari pemerintah. 

Hal ini didukung melalui penyematan status Obyek Vital Nasional berdasarkan Keppres No. 63 Tahun 2004  sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2020-2024. Serta menjadi salah satu PSN era rezim Joko Widodo melalui pengesahan Perpres Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang percepatan pelaksanaan PSN.

Namun kenyataannya, ketika batu dikeruk untuk pertama kali, blasting dilakukan. Alat berat mulai didatangkan dari luar pulau untuk mencari, menggali, dan menanggalkan semua isi perut bumi Halmahera tanpa terkecuali.

Pemandangan di sekitar lokasi tambang mulai berubah menjadi neraka. Cerobong setinggi monas mengepulkan asap nan menjulang tinggi dan tak kenal waktu yang tersebar di berbagai penjuru pulau. 

Tanggung jawab sosial perusahaan/corporate social responsibility (CSR) tidak diperuntukkan untuk lingkungan atau menyanggah kebutuhan masyarakat secara eksponensial. Namun sebaliknya, untuk memframing kemegahan atas ambisi hilirisasi yang semu. Tentu, hal ini menimbulkan akumulasi derita yang tumbuh dari smelter.

Logika kapitalisme dan obsesi oligarki menyebabkan mereka merampas habis sumber daya alam sampai tidak ada yang tersisa. Begitulah sedikit gambaran posisi Halmahera yang terletak di Maluku Utara saat ini.

Dalam kacamata dunia, mereka mungkin memandang Halmahera sebagai sebuah pulau kecil yang masuk dalam kawasan Garis Wallace. Data Adlun Fiqri menunjukkan kawasan biogeografis ini menjadi hunian bagi 10.000 jenis tumbuhan. Sejumlah 15% diantaranya tumbuhan endemik, serta 126 mamalia, 99 reptil dan 58 amfibi.

Lantas akankah 10.000 populasi keanekaragaman hayati tersebut dapat menurun drastis mempercepat kepunahan hingga 99% dan hanya menyisakan angka 1%?

Melihat kondisi Halmahera sebagai daerah teritori yang ramah terhadap industri-ekstraktif, masyarakat pesisir harus menanggung derita berkepanjangan. Hal ini merupakan dampak operasi penambangan nikel di Halmahera, yang berskala besar. Sehingga menyebabkan kerusakan dan fragmentasi habitat secara signifikan, yang berefek pada berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya kesehatan ekosistem.

Rempah Jadi Incaran, Tambang Jadi Rebutan

Perlu diketahui, di puncak kejayaan kolonialisme Belanda, Jepang, dan Portugis, pulau ini dikenal sebagai kepulauan rempah. Kala itu, terdapat suatu lokasi yang penuh rempah bagaikan surga. Dengan berbagai cara, mereka mencoba masuk ke tempat itu, meskipun harus menempuh berbagai resiko.

Hanya di pulau Halmahera dan mayoritas Kepulauan Maluku, tanaman pala dan cengkih dapat tumbuh sangat subur dan makmur, sedangkan di tempat lain tidak ditemukan kedua tanaman tersebut. Ini dapat ditelisik dalam buku Suma Oriental yang ditulis Tomé Pires menyatakan bahwa: 

“Pedagang-pedagang melayu mengatakan kepada saya, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk buah pala dan Maluku untuk cengkeh, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain tempat di dunia ini, kecuali di tempat-tempat yang disebut tadi. Dan saya telah tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, semua orang mengatakan tidak”.

Mulailah mata para bangsa asing melirik Halmahera dengan tatapan rakusnya. Mereka berlomba-lomba menjarah kekayaan alam. Halmahera telah menjadi saksi kunci antara bangsa asing seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Membuat panggung yang mempertontonkan penjajahan: sebuah kejahatan yang tidak akan pernah hilang dari sejarah Indonesia.

Dampak Penambangan dan Penderitaan Masyarakat

Pasca imperialisme Belanda, Jepang, dan Portugis berakhir, setelah kemerdekaan Indonesia, Halmahera kembali bernasib sial. Seluas 142.964,79 hektar wilayah kabupaten Halmahera Tengah dikepung oleh  berbagai izin usaha pertambangan (IUP) dengan total 66 iup. Empat sungai di Teluk Weda sudah tercemar. Airnya yang sebelumnya berwarna putih jernih berubah coklat kekuningan akibat sebuah industri kotor yang beroperasi di sana sejak 2018. 

Salah satunya adalah Indonesian Weda Bay Industrial Park (IWIP), sebuah perusahaan yang baru berdiri ini membutuhkan lahan sebesar 5.000 hektar. Penambangan dan pengolahan bijih nikel dapat melepaskan logam berat dan polutan ke dalam tanah dan sumber air di sekitarnya (Köleli et al., 2015).

Kontaminasi ini dapat membahayakan kehidupan tumbuhan dan hewan serta berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia melalui rantai makanan. (Korzeniowska & Stanisławska-Glubiak, 2018).

Kembali pada empat sungai di Teluk Weda yang sudah tercemar, di antaranya Sungai Kobe, Akejira, Waleh, dan Sagea. Empat sungai ini menjadi titik vital bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat. Ketika sungai tersebut mulai tercemar masyarakat sulit menemukan air bersih, bisa Anda bayangkan betapa ironisnya.Secara geografis luas Kabupaten Halmahera Tengah mencapai 227.6 83 hektar. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan terdapat 23 izin usaha pertambangan nikel, empat izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Timur dengan luas konsesi mencapai 95.736,56 hektar. Terdapat wilayah sekitar 65%  yang belum ditambang, sisanya habis dimakan tambang.

Ironisnya dari data di atas masyarakat harus menerima satu kenyataan pahit. Pada tahun 2022 Halmahera kehilangan 274 ribu hektar tutupan hutan dan itu setara dengan 211 metric ton emisi CO²e. Beberapa senyawa nikel, khususnya nikel sub sulfida, diklasifikasikan sebagai karsinogenik bagi manusia. (Meshram dkk., 2018).

Pembukaan lahan besar-besaran ini menimbulkan teriak kesakitan dari bawah perut bumi Halmahera. Namun hal itu tidak membuat para korporasi tambang berhenti mengeksploitasi pulau sekecil ini. Ekspansi demi ekspansi dilakukan tanpa ada rasa bersalah.

Kendaraan Listrik Melawan Masyarakat Pesisir

Tren kendaraan listrik di dunia menjadi kunci mengapa Indonesia saat ini terus mengekspor nikel besar-besaran. Pulau Obi, kabupaten Halmahera Selatan, menjadi yang pertama memproduksi dan mengekspor bahan baku baterai kendaraan listrik. Kendaraan yang diklaim sebagai kendaraan ramah lingkungan yang dapat menekan emisi karbon. 

Pada tahun 2022, penjualan electric vehicle (EV) baru di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 700% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan, hingga bulan Agustus 2023, kendaraan listrik terjual sebanyak 8.200 unit.

Pencapaian ini meningkat lima kali lipat di tahun sebelumnya. Presiden Jokowi juga gencar menekankan beberapa kementerian atau lembaga pemerintah, perusahaan milik negara, pemerintah daerah, dan beberapa pemain sektor swasta untuk beralih ke EV sebagai kendaraan operasional mereka. 

Pada Tahun 2025 mendatang, lembaga-lembaga tersebut akan menggunakan mobil listrik sebanyak 19.220 unit, sepeda motor  757.139 unit, dan bus 10.227 unit. Pemerintah Indonesia memberikan mandat kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN)  untuk membangun infrastruktur pengisian daya EV, dengan perkiraan pengeluaran sebesar satu miliar dolar AS di tahun 2030. Pada tahun 2025, Indonesia berencana harus memiliki 6.318 stasiun pengisian EV dan 10.000 stasiun penukaran baterai secara mandiri.

Memang kendaraan listrik jauh lebih ekonomis dibanding kendaraan konvensional. Sementara kendaraan konvensional membutuhkan 15.000 rupiah/liter, kendaraan listrik hanya membutuhkan 2.000 rupiah/liter.

Selain itu, berdasarkan tingkat emisi karbon, kendaraan listrik berkontribusi setengah dari emisi yang dilepaskan oleh kendaraan konvensional, sebanyak sekitar 1,2 kg karbon jika dikonversikan per liter emisi listrik. Namun sayangnya kendaraan listrik yang beroperasi dan diproduksi hari ini bersumber energi listrik kotor, yakni batu bara.

Gencarnya hilirisasi kendaraan listrik yang diwacanakan pemerintah hanya sekedar business as usual atau bertajuk pada political agenda saja.  Sumber listriknya tetap tidak menggunakan energi baru terbarukan (EBT) serta masih bersikeras meningkatkan penetrasi dan wacana produksi jangka panjang menggunakan energi fosil.

Tidak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia masih menjadi produsen batu bara terbesar ketiga dunia dengan kemampuan produksi sebanyak 687 metrik ton pertahun, terdapat 234 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang beroperasi. Serta total kapasitas sebanyak 4,3 gigawatt, dengan cadangan sumber hingga tahun 2080 dari data yang didapat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KeSDM).

Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dan Just Energy Transition Partnership  (JETP), yang diselesaikan pada bulan November 2023, menyatakan bahwa pembangkit listrik tenaga batubara off-grid (tidak terhubung ke jaringan umum) masih berada di luar cakupan. Puncak emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 MTCO2 pada tahun 2030 akan sangat sulit dicapai berdasarkan lanskap captive power plant (Sekretariat JETP,2 Mixed Hydroxide/Sulfide Precipitate (MHP/MSP), nikel sulfat, nikel matte, dan nikel murni 2023).

Pulau Obi, kampung Kawasi sedang terhimpit oleh  industri pertambangan nikel, hutan yang berada di dekat kampung Kawasi sudah dibabat habis dan yang tertinggal hanya bijih nikel atau ore nikel. Bijih nikel adalah jenis mineral dari bahan baku alami ketika logam nikel diekstraksi. Menurut Norgate & Jahanshahi, . Secara historis bijih nikel merupakan sumber utama nikel dan lebih murah untuk diproses.

Kepingan bijih nikel dan limbah lainnya perlahan-lahan mengotori satu persatu sungai di sana. Cerobong asap dan kebisingan perusahaan akibat alat berat berlalu-lalang sudah menjadi teman sehari-hari masyarakat dan udara segar sudah menjadi hal yang langka. 

Indonesia selaku pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dengan deposit sebesar 52%, juga memegang kunci dari tren kendaraan listrik. Indonesia dapat menghentikan peluang kehancuran lebih besar di daerah kawasan pesisir terutama daerah kawasan industri pertambangan.

Namun, selama ini sudah berulang kali masyarakat pesisir Halmahera meminta pertanggungjawaban Negara berupa melancarkan aksi demonstrasi dengan berbagai tuntutan atas kerusakan lingkungan tetapi nyatanya negara masih membiarkan perusahaan tetap aktif dalam menambang. Terlepas dari kerangka regulasi yang berlaku, pertumbuhan pesat pertambangan dan pengolahan nikel telah menyebabkan peningkatan polusi udara, tanah, dan air dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa di antaranya adalah pembuangan limbah di lepas pantai Pulau Obi yang mengubah air laut menjadi merah. Sementara Teluk Weda dan Teluk Buli terancam oleh pencemaran logam berat. Limbah bawah laut dari Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) juga menambah daftar tantangan.  Di Konawe Utara, degradasi lahan pasca-tambang dan polusi dari pembangkit batu bara serta transportasi batubara berdampak serius pada kesehatan masyarakat setempat.  (Mongabay  Environmental  News,  2022; Kompas, 2023; Ginting & Moor 2021; Barus dkk, 2022).

Ruang hidup semakin sempit. Hasil tangkapan ikan juga sudah mulai menurun. Artikel yang berjudul Tambang Datang Pesisir Halmahera Binasa menceritakan tentang curhatan salah seorang nelayan di pulau Kawasi “Dulu, rata-rata 1500 kg bisa dapat teri kering. Itu dari 1995 sampai pada 2000-an awal. Lima tahun terakhir, rata-rata cuma 300an kilogram dalam sebulan,”

Dampak dari industri ekstraktif ini membuat kesehatan masyarakat juga semakin hari semakin menurun. Kabupaten Halmahera Tengah, terdapat puskesmas yang tidak jauh dari lokasi perusahaan IWIP, puskesmas lelilef mencatat di tahun 2023 lebih dari 10.579 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Jumlah kematian diperkirakan akan melonjak pesat dari 215 kasus  pada tahun 2020 akibat dampak dari penambangan nikel di Indonesia menjadi 3.833 kasus pada tahun 2025. Hampir 18 kali lipat dalam lima tahun kedepan. Jika hal ini tidak dimitigasi dengan tepat, penutupan jumlah kematian diperkirakan akan terus meningkat menjadi 4.982 pada tahun 2030, dan 8.325 pada tahun 2060. 

Beban ekonomi yang diakibatkan oleh polusi udara juga dihitung dari seluruh dampak kesehatan yang berkorelasi dengan peningkatan tingkat konsentrasi polusi udara. Pada orang dewasa, polusi udara menyebabkan penyakit pernapasan, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik, serta peningkatan risiko stroke dan diabetes. 

Total kerugian ekonomi tahunan Indonesia akibat polusi udara di provinsi Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara diperkirakan mencapai USD 148 juta (Rp2,29 triliun) pada tahun 2020, dan diproyeksikan meningkat hampir 18 kali lipat menjadi USD2,63 miliar (Rp40,7 triliun) pada tahun 2025. Beban perekonomian akan terus meningkat mencapai hampir USD3,42 miliar (Rp53,0 triliun) pada tahun 2030, dan USD5,69 miliar (Rp88,2 triliun) pada tahun 2060.

Apa Dampaknya di Tahun 2030?

Estimasi dampak kesehatan pada tahun 2030 menunjukkan besarnya dampak negatif terhadap produktivitas, dengan perkiraan total lebih dari satu juta hari cuti kerja akan berpengaruh pada produktivitas provinsi penghasil emisi dan juga provinsi tetangga. 

Dampak polusi udara terhadap bayi baru lahir dan balita terbilang memprihatinkan, dengan total 1.145 kasus anak menderita asma per tahun dan hampir 500 kasus kelahiran dengan berat badan rendah dan kelahiran prematur per tahun pada tahun 2030. 

Sedangkan faktor dekarbonisasi industri logam di Indonesia dipandang sebagai sebuah trilemma, menimbang persaingan strategi ekonomi nasional, kurangnya energi alternatif hemat biaya, dan sistem jaringan listrik yang belum bisa diandalkan (Zhu et al., 2023).

Seluruh masyarakat yang terpapar nitrogen dioksida dan sulfur dioksida yang dihasilkan dari fasilitas pengolahan logam, penambangan nikel, dan pembangkit listrik tenaga batu bara mungkin harus menanggung total 6.400 tahun nyawa hilang. Belum lagi peningkatan risiko penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), diabetes, dan stroke setiap tahunnya. 

Perkiraan ini juga digunakan dalam pemodelan ekonomi di tingkat provinsi. Fasilitas yang berlokasi atau dekat dengan populasi yang lebih tinggi diperkirakan akan menimbulkan dampak dan biaya kesehatan yang lebih tinggi. 

Selain kondisi meteorologi, suhu, dan kecepatan angin, skala kapasitas nominal produksi juga menentukan tingkat dampak terhadap kualitas udara dan dampak kesehatan yang terkait. Sebanyak 3.700 kg merkuri dan 715.000 ton bahan partikulat akan diendapkan setiap tahun di Sulawesi dan Maluku Utara pada tahun 2030. Endapan merkuri tahunan akan meningkat hampir 6 kali lipat dalam satu dekade dibandingkan dengan nilai pada tahun 2020, dan lebih dari 10 kali lipat untuk materi partikulat.

Penutup

Jika kendaraan listrik digadang-gadang menjadi kendaraan abad ini, maka harus dilihat dari transisi lain secara lebih serius. Tinjauan ekonomi kendaraan listrik  mungkin sangat ekonomis, selain mendapatkan perlakuan khusus seperti pembebasan beban pajak, subsidi pada pembelian, diprioritaskan pada akses ganjil- genap, dan rata rata efisiensi jarak dari pengisian bahan bakar yang lebih ringan. 

Namun yang perlu disoroti adalah faktor-faktor yang menjadi sisi gelap, seperti faktor lingkungan dan kesehatan. Yang sebenarnya masih menggunakan sumber energi tidak terbarukan  berasal dari nikel dan batu bara. 

Dengan demikian wacana keberlanjutan kendaraan listrik tidak hanya tergantung pada kendaraan itu sendiri, tetapi juga pada sumber bahan bakar yang digunakan. Sumber bahan bakar yang seharusnya  menghasilkan energi malah merugikan bahkan mematikan masyarakat Maluku Utara dan eksotisitas pulau Halmahera.

Pohon-pohon ditebang, buah kelapa, pala, cengkeh dan coklat digusur. Pisang, ubi kayu, dan tanaman pangan lain dilibas alat berat. Diganti dengan satu sistem ekonomi yang tidak pernah sebelumnya mereka lihat. Matahari serasa satu jengkal di atas kepala. Tiap hari mendengar kebisingan. Debu bertebaran di udara dan di jalanan. 

Air sungai  berubah coklat kekuningan. Kental. Anak-anak kecil tak lagi bermain di sungai dan mandi di pantai tiap petang. Nyaris, tiap hari tak tampak lagi seorang ibu menggendong saloi (ransel khas Maluku) dan bapak mengikat parang di pinggang. Kehidupan di sini bahkan lebih buruk dari kota. Desa tanpa kebun, Nelayan tanpa ikan, dan petani tanpa tanah.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Podcast

Baca juga

Terbaru

Skip to content