Oleh: Ruhul Auliya
Jam dinding di ruang tamu sudah berdenting, tanda jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Aku masih duduk santai di ruang tamu sambil meminum coklat panas dan menonton TV, menunggu suamiku yang belum juga pulang kantor. Aku tak gelisah, karena suamiku sudah mengirim sms bahwa dia akan pulang telat malam ini. “Ada meeting” katanya. Aku memang sengaja menunggunya karena aku memang tidak bisa tidur malam ini. Entahlah…!!!
Tiba-tiba pandanganku teralih saat kulihat bayangan gadis kecil dengan baju tidur dan masih memeluk boneka beruang putih berjalan dari arah pintu ruang keluarga, menghampiriku. Salsha, namanya. Putri tunggalku yang baru menginjakkan bangku kelas 3 SD.
“Kok belum tidur,sayang?” tanyaku sambil membelai rambut sepunggungnya setelah duduk didekatku.
“nggak bisa tidur, Bunda…!!!” ujarnya sambil mengucek matanya.
“hmmm…besok kan salsha pergi sekolah…!!! Gimana kalo Bunda dongengin?” Tawarku. Tapi dia justru menggeleng.
“Salsha mau minum susu, Bunda…!!” Ujarnya manja.
“Ya udah…Bunda buatin susu. Tapi salsha harus tidur ya setelah itu…?” ujarku sambil mencolek hidungnya dan berlalu meninggalkannya ke dapur dan membuatkannya susu coklat kesukaannya. Setelah membuat susu coklat, aku langsung menuju ke ruang keluarga. Namun tak ku temukan dia disana. Aku langsung pergi ke kamarnya. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kulihat disela-sela pintu, salsha sedang membaca buku dongeng yang di belikan oleh Rina, adik tiriku, tadi siang saat berkunjung.
Kumasuk kedalam kamarnya dan meletakkan susu coklat itu diatas meja belajar salsha. Kubelai rambutnya perlahan sambil menatapnya penuh bangga.
“Bunda….!!” Panggilnya tiba-tiba.
“Ya, sayang..??” Tanyaku heran.
“Apakah ibu tiri itu jahat??” tanyanya menatapku.
“Mengapa salsha tiba-tiba Tanya begitu??” Tanyaku heran karena salsha tidak pernah bertanya tentang hal-hal seperti itu sebelumnya.
“Temen-temen salsha di sekolah bilang begitu. Di buku dongeng yang di beliinsama tante Rina juga bilang begitu..!!” Ucapnya polos. AAku tersenyum mendengar penuturannya. Kubelai sekali lagi rambutnya dan mulai berkata-kta lagi.
“Di dunia ini, tidak ada ibu yang jahat, sayang. Semua ibu pasti sangat sayang terhadap anak-anaknya. Termasuk ibu tiri.” Ku hela nafas panjang dan mulai melanjutkan penjelasanku. “ Tidak ada ibu tiri di dunia ini. Semuanya sama. Kalo ada ibu yang memukul anaknya, itu pasti karena anak-anaknya nakal. Kalo gak nakal pasti tidak akan di pukul. Hmm…!!!” Ujarku kemudian mencolek hidungnya “ Sekarang, salsha minum susu, terus bobo ya sayang?” Lanjutku dan menyodorkan susu coklat kesukaannya. Salsha pun meminumnya dan kuletakkan gelas itu kembali setelah dia selsai. Dia kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata. Kubelai rambutnya dengan tulus. Tiba-tiba sekelebat bayangan kembali muncul di ingatanku. Ada segores luka yang sangat mendalam membekas di hatiku. Kurasakan begitu sakit hingga sekarang. Dadaku mulai terasa sesak. Sangat sesak hingga tak kurasakan air mata mengalis dipipiku. Fikiranku melayang. Kembali pada kenangan 20 tahun yang lalu. Dimana aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
Malam itu hujan turun deras. Sangat deras hingga ku rasakan dingin menusuk di setiap persendian tubuhku. Angin juga berhembus cukup kencang menimbulkan suara decitan pada jendela reot kamarku. Suara tetesan air hujan pada lantai akibat atap kamar yang bocor benar-benar mengganggu konsentrasi belajarku. Semakin lama semakin berisik kurasakan. “Menyebalkan…!!!” Rutukku menghantam meja belajarku.
Ku langkahkan kakiku menuju ruang makan yang terdapat di dalam dapur. Ku lihat adik tiriku sedang menikmati makan malam sambil sesekali memainkan sendoknya memukul piring. Sementara ibu tiriku terlihat sedang membuat teh hangat untukku. Dia memang tau kebiasaanku sebelum makan malam yaitu minum teh hangat. Aku duduk disalah satu bangku di meja makan. Kuperhatikan lauk makan malam itu yang sudah tersedia diatas meja makan. Hanya tahu, tempe dan telur dadar serta sambal tomat. Seperti malam-malam yang kemarin. Sudah 4 hari ini menu makan ini selalu di ulang-ulang dari pagi sampai makan malam. Tak ada yang lain. Aku agak kesal.
Rina, adik tiriku yang sejak tadi memainkan sendok makannya terdengar semakin berisik. Ku tahan emosiku dan menegurnya dengan suara terpaksa dilembutkan.
“ Adikku sayang, bisakah kau makan lebih tenang??Agar aku bisa mendapatkan inspirasi???” Rina yang waktu itu baru duduk di bangku SD kelas 1 tidak peduli mendengarku. Aku semakin jengkel dan lepas kontrol. “ RINA, DIAAAMMMM….!!!” Bentakku dengan keras sambil memeukul meja. Rina terkejut dan menangis.
“ Ibu……ibu….!!!” Raungnya kemudian berlari kearah ibu tiriku. Iu tiriku mencoba untuk menenangkannya. Digendongmya Rina agar bisa lebih tenang.
“ Jangan terlalu kasar pada adikmu…!” Tegurnya padaku dengan nada lembut. Namun bagiku itu hanya sebatas kepura-puraan. Kuputar bola mataku yang menandakan aku bosan mendengar ucapannya. Dia kemudian duduk disalah satu bangku di meja makan tepat didepanku. Didudukkannya pun Rina didekatnya.
Kami mulai makan malam itu. Diam. Begitulah suasana makan malam itu. Yang terdengar hanya suara rintik hujan yang sangat berisik jatuh diatas atap seng rumahku. Sesekali terdengar decitan dari jendela kamarku yang tertiup angin. Namun suasana di meja makan sangat hening malam itu. Akupun mulai pembicaraan.
“ seminggu lagi aku ada pertandingan basket terakhir antar sekolah. Sepatuku sudah rusak. Aku ingin sepatu basket.” Ucapku ketus sambil menyendok nasiku.
“ Tiara….Ibu belum ada uang. Hasil jualan kue ibu sangat sedikit. Pelanggan ibu sekarang semakin sedikit. Untuk makan pun kamu liat sendiri keadaannya.”
“Alaaaahhhh……bilang saja kalau Kamu emang gak niat mau beliin aku. Selama ini kan aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Uang jajanpun aku gak pernah minta. Masa’ baru minta sekali aja kamu gak mau ngasih!!!” Ucapku lantang.
“ Ibu benar-benar tidak punya uang, Tiara..” Ucapnya masih lembut.
“ Gak usah pura-pura deh….Kamu itu emang gak pernah peduli sama aku. Aku tau, aku hanya anak tiri kamu. “
“Tiara….!!!”
“ Sejak papa meninggal, aku jadi melarat. Dan itu gara-gara kamu. Kalau saja kamu hati-hati saat masak, pasti rumah Ku gak bakalan kebakaran, dan papa gak akan meninggal gara-gara nolong Rina dikamar. Aku benci kamu…!!!” Bentakku memelototinya. Ibu tiriku hanya diam. “ Dan yang paling aku benci adalah kamu merebut papa dari mamaku….dan akhirnya mama meninggal gara-gara stress ditinggal papa. Semua itu gara-gara kamu…!!!” teriakku.
Plaaaakkk….!!! Satu tamparan keras mendarat dipipiku. Aku terdiam. Kupelototi ibu tiriku. Ini pertama kalinya dia menamparku.
“ KAUUUUUUUU….!!!!” Teriakku setengah tidak percaya.
“Tiara….maafin ibu, nak…ibu tidak sengaja…!!” Dia memelas.
“ AKU BENCI KAMU. ….!!! Kamu emang gak pernah sayang sama aku!! Dan kamu gak akan pernah bisa gantiin posisi mama …!!!” Pekikku dan berlari keluar.
Hujan masih sangat deras. Namun aku tetap berlari. Ibu tiriku ikut berlari berusaha mengejarku. Kudengar raungannya memanggilku dan meminta maaf. Namun aku tetap peduli. Aku berlari kearah Sebuah lapangan basket tempat aku biasa latihan basket bersama Ray, pacarku. Kulihat bola basket yang tergeletak di tengah-tengah lapangan. Kuambil dan kulempar kearah ring. Kumainkan bola itu dengan cepat. Terus bermain mencoba menghilangkan rasa amarahku hingga kurasakan capek yang membuatku terjatuh ditengah-tengah lapangan. Aku menunduk. Kubiarkan air hujan mengaliri tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin berteriak. Namun Kurasakan suaraku tak dapat keluar.
Tiba-tiba, kulihat sepasang kaki dihadapanku. Ku dongakkan kepalaku. Kutemukan Rey berdiri tersenyum dengan membawa paying ditangannya. Dia kemudian duduk dihadapanku.
“ Mengapa hujan-hujan begini kamu masih main basket?” Tanyanya kepadaku sambiltersenyum. Dihapusnya air mataku “ Nanti sakit. Ayo pulang..!!” Ajaknya menggenggam tanganku Kupalingkan wajahku dan menggeleng pelan. “ Ada masalah dengan ibumu lagi?”
“ Dia bukan ibuku, Rey. Dia pembawa sial. Dia gak akan pernah jadi ibuku. Dia merenggut semua orang yang aku sayang. Dia membunuh mama dan papa. Dan sekarang dia merebut kebahagiaanku. Aku gak akan bisa ikut tanding basket…” Aku menunduk sekali lagi. Kutelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Aku menangis sesenggukan. Dipeluknya aku perlahan. Entah berapa lama sampai akhirnya diajaknya aku pulang kerumahnya karena aku tetap tidak ingin pulang kerumah.
***
Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah pulang kerumah. Aku tidak pernah berusaha menemuinya. Dia juga tidak pernah berusaha menemuiku. Sampai pada suatu malam sepulang latihan basket, aku dan Rey pergi ke sebuah warung makan yang terletak di pinggir jalan. Tiba-tiba kulihat Ibu tiriku baru keluar dari sebuah toko sepatu bersama Rina sambil menenteng sebuah plastic hitam dari toko tersebut. Mereka terlihat sangat gembira. Aku sangat yakin bahwa mereka baru membeli sebuah sepatu. Aku rasa itu untuk Rina. Kurasakan marah yang teramat sangat menguasai fikiranku saat itu. Aku tetap memandang mereka sampai di pinggir toko mengambil sebuah nampan kosong yang biasa digunakan untuk menjual kue.
“ Itu Rina dan ibu kan, Ra??” Suara Rey mengejutkanku disamping. “Samperin dulu yuk…keliatannya capek baru selsai jualan.”
“ Ngapain?? Mereka baru selsai beli sepatu ko buat Rina.” Ucapku ketus.
“Jangan su’uzzon dulu….siapa tau ibumu baru selsai beli sepatu buat kamu.”
“Mana mungkin? Dia itu gak sayang sama sekali sama aku. Aku kan Cuma anak tirinya.” Rey hanya menggeleng-geleng kepala mendengar ucapanku. Kami tetap melanjutkan makan tanpa ku fikirkan lagi ibu dan adik tiriku.
***
Aku duduk didepan kelas, menunggu Rey yang belum juga keluar dari kelas. Padahal bel istirahat sudah bordering sejak tadi. Namun aku tetap menunggunya. Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Yaitu pertandingan basket putri antar sekolah dan merupakan pertandingan basket terakhir bagi anak-anak kelas tiga karena sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pertandingannya akan di mulai jam 3. Jadi, setelah pulang sekolah nanti, aku harus siap-siap. Rey akan mengantarku ke sekolah karena aku harus berangkat bersamaan dengan teman satu tim ku. Tapi Rey tetap akan menonton pertandingan.
“ Lama ya?” Tanya sebuah suara membuyarkan lamunanku.
“ Rey…kamu udah disini. Ya lumayan sich.Emang kamu tadi kemana? Kok lama banget?”
“ Ya nih. Tadi aku ada urusan sama Deni.”
“ooohhh…..”
“Yuk pergi…!!” Ajak Rey.
“Kemana?”
“Pulang lah….emang kita mau ngapain disini?”
“Lho….sekarang kan masih ada kelas!”
“Hari ini ada rapat guru. Jadi semua kelas di bubarkan!”
“ooo…ok…yuk..!” Ajakku sambil merangkul tangan Rey.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, kami terus mengobrol. Lokasi parkiran berada didekat gerbang masuk sekolah. Saat kami berjalan menuju parkiran, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah sepasang sosok yang sangat aku kenal. Tidak lain adalah ibu dan adik tiriku. Mereka berdiri didepan gerbang masuk sekolah. Sesekali ibu tiriku terlihat pembicaraan dengan satpam sekolah. Seperti ada perdebatan kecil. Namun sekali lagi aku cuek. Tak peduli.
“Tiara…ayo naik….ngapain bengong disana?” Panggil Rey.
Aku berjalan dan menaiki motor Rey. Kututup wajahku dengan tasku saat lewat didepan gerbang masuk agar ibu tiriku tidak mengenaliku. Aku gak ingin ketemu dengannya.
“Sepertinya aku liat ibumu deh di depan gerbang masuk tadi?” Ujar Rey.
“Kamu salah liat kali. Aku gak liat kok.” Tampikku.
“Hmm…mungkin.”
***
Priiiitttt….!!!!
Suara peluit berbunyi menandakan timeout. Babak pertama sudah selsai. Aku mendengus kelelahan. Skor sudah 20-23 untuk sekolahku. Pertahanan lawan benar-benar kuat. Tiba-tiba, Rara, teman satu tim yang berada di bangku cadangan memanggilku. Dia berbisik bahwa ibu tiriku berada diluar GOR. Dan dia memaksa agar masuk kedalam gedung. Namun satpam melarangnya masuk. Dia dianggap pengemis oleh satpam. Aku heran mengapa ibu tiriku sampai nekat datang kesini. Aku langsung berlari keluar gedung. Karena sebentar lagi pertandingan babak kedua akan segera dimulai.
“Kamu ngapain sih kesini?” Bentakku saat berada didepannya.
“Ibu hanya ingin….”
“Udah deh..aku mau tanding. Kamu pulang dulu deh. Ganggu aja.” Potongku.
“Tapi…”
“Pergi…!!!” Pekikku tidak member kesempatan pada ibuku.
Ibuku langsung pergi. Digandengnya Rina yang Nampak kelelahan dan menggenggam sebuah plastic hitam. Aku berjalan masuk kembali kedalam gedung. Namun. Braaaaakkkkkk….!!! Suara dentuman keras mengalihkan perhatianku. Sangat keras. Terdengar dari arah belakangku, tepat ditengah jalan, kulihat orang-orang berkerumun. Kurasakan jantungku berdegup sangat kencang. Ntah mengapa, kurasakan gelisah yang teramat dalam dan suli ku jelaskan mengapa. Aku terdiam sejenak. Sampai kurasakan dorongan yang begitu kuat dari dalam diriku. Seolah kesedihan telah menyeruak di dalam hatiku. Entah mengapa. Dan perlahan kuputuskan untuk mendekati kerumunan itu. Kuterobos kerumunan itu, dan kulihat seseorang yang sangat aku kenal tergeletak tak berdaya berlumuran darah di aspal. Gadis kecil disampingnya menangis tersedu-sedu memanggil ‘ibu’.
Dadaku semakin sesak. Pelan tapi pasti, aku menangis. Ku pangku kepala ibu tiriku. Ku rangkul dan ku ciumi Ia. Hal yang tak pernah kulakukan. Kurasakan kehilangan yang teramat sangat. Entah mengapa, inginku putar waktu kembali. Aku ingin kembali pada memori beberapa minggu yang lalu. Aku tiba-tiba sangat merindukan suaranya. Ingin merangkulnya. Dan ku katakana maaf yang sedalam-dalamnya.
***
Awan hitam menyelimuti. Angin berhembus sayup, seolah mengerti suara hati. Ku lihat tak ada siapa-siapa lagi di sekeliling. Hanya aku, Rina dan Rey dan kedua orang tua Rey. Ku tatap sedih sebuah makam yang ada didepanku. Masih sangat basah.
“Kakak,….!!” Panggil Rina mendongakku dan menggenggam tanganku. Ku tatap Rina. “ Mengapa Ibu tidur disana? Ibu kesepian? Huuuuu…..” Tangis Rina. Aku terduduk mendengar ucapannya. Tak bisa ku bending lagi air mataku. Aku sangat merindukannya terlebih Ibu tiriku. Kuhapus air matanya dan ku elus pipinya.
“ Ibu tidak akan kesepian, sayang. Ada malaikat. “ Ku kecup keningnya. “Mulai sekarang, Rina tinggal sama kak Rey ya? Tapi jangan nakal. Kakak mau pergi. Kakak pasti kembali jenguk Rina.” Ucapku pada Rina. Rina mengangguk. Aku berdiri dan menatap sendu pada Rey dan keluarganya. Mereka sudah tau bahwa aku ingin menyerahkan Rina kepada keluarga Rey seperti yang pernah kami bicarakan semalam. Karena aku harus cari pekerjaan untuk biaya sekolahku.
“ Titip Rina,…Jaga dia baik-baik.” Ucapku berlinang air mata. Mereka mengangguk. Ku peluk Rina sebelum aku pergi. Ku tumpahkan air mataku. Kemudian aku beranjak.
“ Kakak….!!” Panggil Rina. Ku tengok kebelakang. Rina berlari kearahku kemudian menyerahkan kantong plastic hitam yang tidak pernah dia lepas sejak kemarin. “Ini untuk kakak, dari ibu “ Ujarnya. Ku buka kantong plastic tersebut. Dan ku temukan sebuah sepatu basket berwarna putih.
“ Sebelum wafat, ibumu menjual kalung emas nya kepada ibu.” Ucap ibu Rey dan menunjukkan kalung yang dibelinya. Aku sangat mengenali kalung itu. Kalung pemberian papa kepada ibu sebagai maskawin Air mataku mengalir. Kurasakan sesal yang sangat mendalam karena telah berkata kasar pada Ibu. Ternyata, ibu sangat peduli dan menyayangiku selama ini. Aku salah persepsi bahwa ibu tiri itu selalu jahat. Aku menangis semakin tersedu-sedu. Ku dekap RIna sekali lagi. Entah berapa lama.
***
“ Kau masih belum tidur, sayang?” Tanya Rey, suamiku, yang membuyarkan lamunanku. Ku hapus air mataku perlahan. “ Mengapa nangis?” Tanyanya lagi. Duduk disampingku.
“ Aku ingat ibu. Aku kangen banget sama ibu.” Aku menarik nafas berat. “ Aku belum sempat minta maaf sama ibu. Aku sangat menyesal “
“Sudahlah, sayang. Kita berdo’a saja. Semoga beliau diterima di sisi Allah.”
Aku mengangguk pelan. Sementara Hujan masih belum reda. Mnenyanyikan lagu rinduku padaibuku tersayang.