Antara Korupsi dan Mahasiswa

Korupsi bukan hal asing lagi di telinga masyarakat. Banyak elite politik yang tertangkap basah dalam penyalahgunaan anggaran negara. Misalnya, Anas Urbaningrum,mantan Ketua Umum Partai Demokratyang terjerat korupsi Hambalang dan Luthfi Hasan,mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang terjerat korupsi impor daging sapi. Selain keduanya, masih banyak deretan nama lain yang cukup membuat miris rakyat.

Korupsi pun ikut menjerat mahasiswa. Adalah Mario Zuhfri, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang.Mahasiswa semester VI inimengajukan 10 proposal fiktif kepada badan, lembaga, dan organisasi di Jawa Tengah (Jateng), khususnya pos dana hibah bantuan sosial. Ia menitipkan proposal-proposal itu melalui perusahaan milik Yoyok Sukawi, Ketua Komisi E DPRD Jateng, yaitu PT. Kartina Adijaya. Proposal-proposal itulalu ditandatangani Harry Triyadi, Staf Komisi E DPRD Jateng untuk selanjutnya diajukan ke Gubernur Jateng.

Proposal kegiatan fiktif yang diajukan Mario masing-masing bernilai Rp 10 juta sehingga Mario berhasil mendapatkan uang Rp 100juta. Kegiatan fiktif tersebut antara lain Kejuaraan Tenis Meja, Pelatihan Kecantikan “Kirana”, Penataran Juri Pencak Silat Gajah Putih, Kejuaraan Garuda Open I, Peningkatan SDM Pelatihan Panahan, dan lain-lain. Proposal dibuat lengkap dengan kepanitian palsu. Bahkan, Mario memalsukan tanda tangan lurah dan camat serta menyertakan stempel palsu. Mario juga membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) agar kegiatan yang ia ajukan tampak benar-benar terjadi.

Uang Rp 100 juta tersebut digunakan Mario untuk jalan-jalan ke Solo. Nahas. Sepulang dari jalan-jalan, Mariolangsung ditangkapSatreskrim Polrestabes Semarang. Ia mengaku tak melibatkan orang lain dalam aksinya, tetapi polisi menduga, ada “orang dalam” yang membantu Mario. Dengan diperiksanya Yoyok Sukawi, diduga ada orang lain yang juga terlibat dalam kasus ini. Akibat perbuatannya, Mario dijerat dengan Pasal 2 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP. Ia terancam hukuman penjara lebih dari 5 tahun. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Perbuatan Mario tentu mencoreng citra universitas sekaligus mahasiswanya. Mario tidak seharusnya menyalahgunakan kecerdasan sebagai mahasiswa untuk memperkaya diri secara instan, apapun alasannya.

Di Universitas Islam Indonesia (UII), korupsi pernah terjadi di kalangan mahasiswa. Kasus ini terungkap satu dekade silam. Seorang mahasiswi Fakultas Hukum, Mirza Imada Zulfiqar atau Micha, menggelapkan dana kemahasiswaan sebesar Rp 279 juta. Hal tersebut dilakukan saatdirinya menjabat Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM U) Periode 1998-2000. Komisi IV sendiri bertugas mengelola keuangan lembaga kemahasiswaan. Saat itu, Micha tidak dapat mempertanggungjawabkan dana yang dikelolanya. Micha pun sering kali sulit ditemui dengan alasan keluar kota atau keluar negeri.

Kasus ini baru terungkap saat kepengurusan DPM U Periode 2000-2002. Pengurus DPM yang ada mendapati kejanggalan dalam LPJ bidang penggunaan dana kemahasiswaan. Kasus korupsi ini lalu diajukan ke pengadilan. Micha ditetapkan sebagai tersangka meskipun ia tidak pernah datang ketika sidang berlangsung.Kasus ini berakhir dengan pengembalian dana dan kesepakatan nota damai, yang seharusnya tidak berlaku pada kasus pidana korupsi. Itu terjadi karena pihak rektorat kalah pada sidang gugatan Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) sehingga pihak Micha meminta agar kasus ini tidak diajukan ke pengadilan.

Sebutan ”Agent of Change

Mahasiswa dikenal pula sebagai agent of change, pembawa perubahan yang lebih baik. Sebutan ini tampaknya tidak berlaku pada sosok Mario dan Micha. Mereka tidak menjalankan peran sebagai agen perubahan, namun malah ikut-ikutan melakukan korupsi. Meski korupsi yang terjadi pada mahasiswa tidak begitu masif, mungkin saja ada kasus korupsi lainnya yang belum terungkap secara jelas. Mahasiswa yang idealis berteriak “anti korupsi”, sebagian justru menjilat ludah sendiri. Hal ini menandakan degradasi moral mahasiswa yang cenderung pragmatis. Pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan hingga bangku kuliah pun seolah tidak berguna. Akankah mahasiswa menjadi generasi koruptor, bila saat ini saja sudah melegalkan korupsi?

Akar korupsi di Indonesia sepertinya sulit dicabut. Korupsi telah menjangkiti manusia, berkembang dari zaman ke zaman, dan menular ke berbagai kalangan. Perlawanan terhadap korupsi dikonfrontasi dengan perbuatan korupsi yang semakin banyak. Pada tahun 2012 saja, KPKmenangani korupsi sebanyak 332 kasus. Belum lagi korupsi kecil-kecilan-menerima atau memberi sogokan, salam tempel, uang pelancar- yang tidak dapat ditindak tegas oleh hukum dan terus berkembang di masyarakat. Meminjam pendapat Bung Hatta, salah seorang tokoh proklamator Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah budaya di negeri ini.

Dengan adanya kejadian tersebut,perguruan tinggi atau jenjang pendidikan di bawahnya perlu memasukkan kurikulum antikorupsi secara gamblang agar para penerus bangsa ini tidak tertular wabah korupsi yang semakin merajalela. Kita pun harus membiasakan diri sendiri untuk bersikap jujur dan tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada korupsi.Hal itu tentunya dilakukan demi perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

*) Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2010/Staf Bidang Redaksi LPM Himmah UII

Serial Laporan Khusus:

Skip to content