Jurnalisme Indonesia Punya Cerita merupakan suatu pembahasan di Himmah Berbicara minggu lalu yang ingin menelisik bagaimana jurnalisme di Indonesia lahir dan berperan. Dengan menggunakan referensi buku Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”. Ada beberapa hal yang dibahas di buku ini seperti sejarah organisasi modern di Indonesia, pendidikan masa kolonial dan sebagainya, namun kali ini diskusi akan dikerucutkan pada lahirnya jurnalisme di Indonesia. Jurnalisme merupakan salah satu aspek penentu kemerdekaan dan melalui jurnalisme pula organisasi-organisasi modern di Indonesia tumbuh dan bergerak. Sirojul Khafid, pemantik diskusi saat itu, memulai diskusi dengan memaparkan sekilas mengenai isi Tetralogi Buru. Ada empat bagian dalam buku tersebut pertama “Bumi Manusia” menceritakan pengenalan tokoh utama, Minke yang dalam dunia nyata bernama Tirto Adhi Soerjo, dari bebagai aspek dan pembacaannya tentang keadaan dan permasalahan disekitarnya. “Anak Semua Bangsa” sebagai buku kedua merupakan periode dimana Minke mulai observasi atau turun mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Belanda. Selain itu Minke mulai menulis berita. Dalam buku ketiga “Jejak Langkah” mengkisahkan perjuangan Minke dimana Minke mendirikan organisasi-organisasi yang bertujuan memajukan pribumi. Dimulai dari Serikat Priyayi. Karena Serikat Priyayi dinilai kurang efektif maka Minke mendirikan Budi Utomo yang bergerak di bidang pendidikan untuk pribumi walaupun masih dengan kurikulum yang ditetapkan Belanda. Kemudian ketika Serikat Priyayi kurang bermanfaat, Minke mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian mengalami perpecahan internal. Minke juga mendirikan surat kabar yaitu Medan Prijaji yang menyuarakan ketidakadilan yang dialami pribumi. Saat inilah jurnalisme di Indonesia mulai tumbuh dan memiliki surat kabar milik pribumi. Minke berakhir dengan dipenjara karena berita. Buku terakhir adalah “Rumah Kaca”, dalam buku ini Pangemanan menjadi tokoh utama. Pangemanan adalah orang yang bekerja untuk Belanda yang bertugas memata-matai Minke walaupun sebenarnya dia kagum terhadap apa yang dilakukan Minke. Menurutnya Minke telah menggerakkan masyarakat melalui berita. Selain itu dalam buku keempat ini memperlihatkan usaha kolonial dalam memberantas semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi yang rapi dan terorganisir.
Sirojul Khafid berargumen bahwa jurnalisme lahir di Indonesia ketika keadaan sangat ironis pada masa itu, ketidakadilan, penindasan, dan pengambilan hak-hak pribumi dengan semena-mena. Dengan lahirnya jurnalisme milik pribumi saat itu diharapkan dapat menjadi corong dan penolong masyarakat pribumi akan ganasnya kelakuan kolonial serta memperjuangkan suara-suara rakyat tertindas. Peran yang juga dimiliki jurnalisme sangat dibutuhkan agar kesangsaraan tidak berlanjut dan menjamur. Jurnalisme merupakan salah satu instrumen penting dalam membentuk organisasi modern yang nantinya menjadi cikal bakal kemerdekaan dapat diraih.
Pertanyaan pertama dibuka oleh Nurcholis Tri bahwa, “Menurut sumber yang saya baca bahwa pendiri SDI adalah Haji Samanhudi, kok di buku yang mendirikan Tirto Adhi Soerjo atau “Minke” sebagai tokoh utama dalam buku tersebut?” Sirojul Khafid menyatakan bahwa pendirinya memang Tirto Adhi Soerjo di Bogor sebagai pusat dan berkembang ke berbagai kota termasuk Solo. Haji Samanhudi merupakan ketua SDI daerah Solo yang merupakan daerah dengan perkembangan pesat dibanding daerah lain termasuk Bogor sebagai tempat lahirnya organisasi itu. Mungkin itu salah satu hal yang membuat Haji Samanhudi lebih terkenal dibanding Tirto Adhi Soerjo dalam hal kependirian organisasi SDI ini. Nurcholis Tri kemudian menanggapi dengan pertanyaan baru, “Apabila dikaitkan dengan judul diskusi ini, sebenarnya nilai-nilai jurnalisme seperti apa yang dibawa oleh Tirto Adhi Soerjo?” Sirojul Khafid mengatakan bahwa Jurnalisme saat itu mengarahkan masyarakat agar bisa hidup bebas dalam mengambil tindakan. Medan Prijaji yang merupakan surat kabar pertama milik pribumi berbahasa Melayu selain menyuarakan ketidakadilan penguasa kolonial maupun pribumi, juga memiliki fungsi advokasi untuk masyarakat pribumi. Fungsi tersebut terakomodir dengan adanya struktur pengacara sebagai pendamping dalam kasus yang dilaporkan. Siti Nur Qoyimah salah satu peserta diskusi menanyakan bahwa, “Sebelum mendirikan Medan Prijaji apakah pemeran utama, Minke, sudah menulis berita? Berarti sebelum diciptakan Medan Prijaji sudah ada surat kabar atau jurnalisme di Indonesia?” Sirojul Khafid menanggapi bahwa Minke memang sudah menulis tapi untuk surat kabar milik kolonial. Robby Sanjaya menambahkan bahwa dulu ada pengkotak-kotakan surat kabar Cina dan Kolonial tapi tidak untuk pribumi yang saat itu memang belum mempunyai surat kabar. Minke pernah suatu ketika menulis untuk surat kabar kolonial yang biasa dia kontribusikan tulisannya, suatu berita tentang seorang Cina yang diberlakukan tidak adil, namun karena itu tidak sesuai kepentingan dari pemilik surat kabar maka berita tersebut ditolak.
Siti Nur Qoyimah menanggapi dengan pertanyaan baru, “Bagaimana bentuk pemberitaan pada masa itu, padahal memberitakan Kolonial yang buruk saja tidak bisa?” Ditanggapi oleh Robby Sanjaya bahwa, “Jurnalisme itu terus berkembang, jadi bentuk-bentuk tulisan yang beredar di surat kabar saat itu mungkin masih dalam bentuk dimana opini lebih banyak, jadi ketika ada pemberitaan mengenai Kolonial saat itu, verifikasi tidak ke pemerintah Kolonial.” Nurcholis Tri mengatakan bahwa dia merasa penasaran kenapa nama Tirto Adhi Soerjo yang dalam buku disebut dengan nama Minke begitu tenggelam, bahkan di Hari Pers-pun kesannya dia jauh dari persinggungan. Sirojul Khafid berkata bahwa mungkin ada semacam manipulasi data terkait Tirto Adhi Soerjo, bahkan sampai saat dia meninggal tidak diketahui orang. “Termasuk buku ini yang menceritakan tentang beliau-pun sempat dilarang walaupun saat itu Indonesia telah merdeka,” tambah Sirojul Khafid. Disela-sela diskusi Haninda memberi informasi bahwa Tirto Adhi Soerjo meninggal tahun 1918 sementara Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis tentang dia lahir tahun 1925, lalu bagaimana Pramoedya bisa mengkisahkan Tirto Adhi Soerjo? Menanggapi pertanyaan tersebut, Robby Sanjaya berpendapat, “Ada anggapan bahwa Pramoedya Ananta Toer menulis buku Tetralogi Buku ini dengan melihat berbagai refrensi buku yang dimiliki ayahnya yang juga merupakan seorang jurutulis pada masa itu dan mempunyai banyak refrensi buku.”