Darurat Pendidikan Indonesia

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Ketika sebagian besar buruh dan mahasiswa sedang melakukan aksi pada Jumat, 1 Mei 2015 yang bertepatan dengan hari buruh, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (LEM FH) UII tengah melakukan dialektika demi menyambut hari pendidikan nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei keesokannya. FH UII dan Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia UGM pun menginisiasi adanya Forum Group Discuss (FGD) dengan tema “Membangun Kembali Wajah Pendidikan Indonesia”. Terdapat lima aspek yang dibahas dalam FGD tersebut, yaitu komersialisasi pendidikan, politisasi pendidikan, pendidikan karakter, transparansi biaya pendidikan, dan penyamarataan kualitas pendidik.

FGD tersebut dihadiri oleh perwakilan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FH dari beberapa universitas di Yogjakarta seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Widia Mataram, Janabadra, Dema Justicia UGM, HMI komisariat FH UII, Institute for Integrity dan mahasiswa umum. Diskusi tersebut terbagi menjadi lima grup yang terdiri dari lima sampai tujuh orang.

Setelah FGD berakhir, perwakilan masing-masing grup menyampaikan hasil diskusi yang dilakukan. Ahmad Baehaqi yang merupakan perwakilan dari kelompok satu menyampaikan bahwa saat ini salah satu permasalahan yang nampak dalam dunia pendidikan ialah, timpangnya subsidi pendidikan. Sekolah yang memiliki akreditasi A maka akan memperoleh subsidi ekstra. Subsidi tersebut dianggap sebagai penunjang fasilitas, sehingga kelompok satu pun mengusulkan agar subsidi yang tersalurkan menggunakan konsep bottom up, agar sekolah yang memiliki akreditasi B dan C mampu mengejar akreditasi melalui subsidi yang diterima nantinya. Selain itu kelompok satu juga menyoroti terkait disentralisasi pendidikan budi pekerti. Saat ini pendidikan karakter berkiblat dengan budaya Jawa, sedangkan setiap daerah memiliki kearifan lokal yang beragam.

Kelompok dua dan tiga berfokus pada kualitas pendidikan yang dinilai berdasarkan materi. Semakin mahal maka semakin bagus. Hal tersebut dianggap permasalahan yang paling mendasar karena menjadi penyebab ketimpangan pendidikan. Kelompok tiga juga menyoroti tentang pemberian ruang terhadap peserta didik untuk berkreasi secara profesional. Sehingga peraturan absensi minimal 75% di kampus dianggap menghambat hal tersebut.

Kelompok empat lebih mengkritisi pengajar yang mengutamakan nilai akhir dari pada proses pengajaran. Sedangkan kelompok lima menyoroti terkait kurang maksimalnya fasilitas penunjang yang disediakan untuk Komite Nasional Pendidikan Indonesia yang notabene berfungsi sebagai pengkaji dan pengawasan pendidikan. Harapannya ialah komite yang saat ini hanya diamanati Surat Keputusan (SK) diubah menjadi UU.

Hasil FGD nantinya akan dibuat nota rekomendasi terkait konsep pendidikan kepada kementerian pendidikan setelah aksi yang akan dilakukan pada hari pendidikan nasional pada tanggal 2 Mei. Setelah FGD, diteruskan dengan konsolidasi terkait aksi yang akan dilakukan dan tidak mengharuskan semua yang hadir untuk berpartisipasi dalam aksi tersebut.

Harry Setya Nugraha selaku ketua LEM FH UII menyatakan bahwa nantinya aksi akan menggunakan atribut seragam SD, SMP, SMA sampai almamater universitas. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa aksi yang mereka lakukan mewakili seluruh elemen pendidikan yang ada di Indonesia.

Harry juga mengungkapkan bahwa hasil FGD merupakan bentuk kepedulian mahasiswa terkait permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia, bahwa mahasiswa tidak hanya tinggal diam namun juga menwarkan solusi. Harry juga berharap agar mahasiswa tidak hanya menuntut, tetapi juga berbuat, “Seperti yang dikatakan Mas Yoga bahwa solusi yang kemudian ditawarkan bukan saja membuat pemerintah lebih baik tetapi dari kita pribadi juga untuk memperbaiki diri, karena ketika berbicara masalah pendidikan dan sebagainya itu tidak terlepas dari kita sendiri,” imbuhnya menutup wawancara. (Norma Indah P.)

Skip to content