Hutan yang sering kita bayangkan sebagai kawasan asri dengan hamparan pohon rindang dan gerombolan fauna yang hidup nyaman, ternyata tidak lah demikian. Persoalan hutan adalah potret moyak rezim kehutanan yang tak memiliki keberpihakan kepada alam dan manusianya. Potret rezim kehutanan adalah potret kemiskinan dan penindasan.
Jika anda tinggal di tepi kawasan hutan negara, anda harus bersiap jika sewaktu-waktu polisi datang dengan mengetuk atau bahkan mendobrak pintu rumah anda. Bahkan bisa saja anda dipukuli atau bahkan ditembak sampai mati.
Kemarin (30/3), dua petani dari desa Surokonto Wetan mengalami hal yang sama. Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin ditangkap oleh kepolisian untuk dijebloskan ke dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kendal. Sebelumnya, mereka divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 10 miliar, dengan tuduhan menduduki kawasan hutan tanpa izin. Padahal, mereka adalah warga yang telah puluhan tahun menggarap lahan pertanian di desanya. Mereka menanam jagung dan padi gogo.
Kedatangan Perhutani mengubah kehidupan mereka. Badan Usaha Milik Negara yang menguasai lebih dari 2,4 juta hektare hutan di pulau Jawa dan Madura tersebut, tak ragu untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi warga. Tak aneh, dengan gaya preman pengelolaan hutan yang diterapkan oleh Perhutani tersebut, sangat marak terjadinya konflik antara Perhutani dan warga di sekitar kawasan hutan. Warga yang telah lama menetap di suatu kawasan, tiba-tiba harus hengkang. Nestapa yang menimpa dua orang warga desa Surokonto Wetan itu adalah bagian dari konflik agraria di sektor kehutanan.
Konflik-konflik di sektor kawasan hutan, kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Mengacu pada Humawin, aplikasi pendokumentasian konflik agraria milik Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), sampai dengan awal tahun 2017, terdapat 95 kasus konflik agraria di sektor kehutanan. Konsorsium Pembaharuan Agraria juga mencatat bahwa luas areal konflik agraria pada 2016 saja lebih dari 450 ribu hektare.
Tentu ini merupakan suatu hal yang ironi di tengah cita-cita pemerintahan Joko Widodo untuk melakukan reforma agraria. Janji politik yang diucapkan oleh Jokowi pada masa kampanyenya itu, terancam gagal. Tentu, ini menjadi ancaman bagi Jokowi untuk mencalonkan kembali menjadi Presiden pada 2019.
Setidaknya, ada beberapa catatan buram yang menurut banyak aktivis agraria dan akademisi menjadi corong meningkatnya eskalasi konflik agraria di sektor kehutanan. Pertama, rezim kehutanan yang bersifat sentralisitik warisan kolonial Belanda. Ini mengakibatkan pembangunan ekonomi di sektor kehutanan tak partisipatif.
Kedua, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) yang ternyata tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Produk hukum yang awalnya bertujuan untuk mengoreksi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ternyata malah semakin menyudutkan masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di tepi kawasan hutan. UUP3H yang awalnya bertujuan menjerat korporasi-korporasi hitam perusak hutan, malah justru mencekik leher masyarakat miskin yang tinggal di pinggir kawasan hutan.
Jika pemerintah tidak ingin eskalasi konflik agraria di sektor kehutanan terus meningkat, pemerintah harus bertindak cepat untuk mengatasi sumber permasalahan yang menistakan rakyat tersebut. Dan jika pemerintah hendak menuntaskan janji politik reforma agrarianya, maka pemerintah harus segera melakukan perbaikan kebijakan, penyelesaian konflik, dan perluasan wilayah tata kelola masyarakat. Jika tidak, reforma agraria hanyalah sebuah janji manis masa kampanye saja!