Judul: 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis: Sabda Armandio Alif
Penerbit: Mojok
Tahun terbit: April 2017
Tebal Halaman: 228 Halaman
Jika bicara soal cerita detektif, maka yang ada dalam pikiran saya adalah seorang detektif atau sekelompok remaja pemberani yang bisa mengungkapkan berbagai macam misteri. Mulai dari misteri rumah hantu, pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Selain itu, biasanya cerita detektif dibumbui dengan analogi dan teka-teki yang rumit dan membingungkan.
Saya tidak terlalu suka genre misteri karena kerumitan dan terlalu banyak teka-teki yang tidak jelas, bahkan hampir sama rumitnya seperti membaca pemikiran Karl Marx soal kapitalisme ataupun membaca isi kepala perempuan.
Sampai dua bulan lalu saya mendapatkan beberapa kiriman buku-buku dari salah seorang teman. Salah satu bukunya berjudul 24 Jam Bersama Gaspar. Saya hampir malas membacanya karena ada tulisan “Sebuah Cerita Detektif” di bawah judul, tapi begitu melihat ada embel-embel “Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarata Tahun 2016,” saya jadi penasaran.
Pada Bagian kata pengantar novel ini cukup menarik. Biasanya dalam sebuah novel atau buku lain, kata pengantar isinya berupa kesan ataupun pandangan terhadap buku tersebut, tapi kata pengantar dalam novel ini tidak, justru lebih pada sebuah prolog. Kemudian yang cukup misterius adalah penulis dari kata pengantar ini, Arthur Harahap.
Jika pembaca coba cari pada mesin pencarian, tidak ada informasi yang merujuk langsung kepada orang ini. Bisa jadi ini adalah tokoh rekaan yang dibuat penulis, ataupun sebuah alter ego dari sang penulis. Entahlah. Diawal novel ini sudah misterius.
Novel ini disajikan dalam dua sudut pandang, yaitu sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang ketiga menceritakan saat sesi interogasi antara seorang polisi dengan sebuah humanoid bernama Bu Tati. Sedangkan sudut pandang orang pertama menceritakan tentang tokoh utama bernama Gaspar.
Pada bagian percakapan antara polisi dengan Bu Tati, alur cerita cenderung mundur. Pembaca akan mendapati kejanggalan dan teka-teki dalam novel ini. Sedangkan dalam sudut pandang orang pertama, Gaspar selaku tokoh utama akan menceritakan niat awalnya melakukan tindak kejahatan. Alur dalam sudut pandang orang pertama ini menggunakan alur campuran. Flashback Gaspar pada masa kecilnya hingga remaja, sedikit demi sedikit akan menyibak perilaku Gaspar di masa sekarang dalam novel ini.
Tindak kejahatan yang diceritakan di sini adalah Gaspar akan melakukan perampokan pada sebuah toko emas milik seseorang berketurunan Arab bernama Wan Ali. Dalam aksinya ini Gaspar mengajak beberapa temannya. Selain itu, ia juga mengajak dua kerabat dekat Wan Ali. Kita sama-sama tahu, semuanya akan berjalan mudah jika punya orang dalam.
“Tunggu, cerita detektif tapi kok malah nyeritain perampokan?” ini merupakan sebuah pendekatan yang berbeda. Jika pembaca menelan secara mentah, tentu akan kecewa. Pembaca tidak akan menemukan tokoh detektif kawakan ataupun sekelompok remaja ingusan yang bisa mengungkapkan misteri rahasia, melainkan Gaspar yang menuntun kita untuk memecahkan sendiri misteri yang Ia buat.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini terbilang cukup ringan serta dibawakan dengan humor yang sedikit mengandung makna sindiran, sehingga tak jarang pembaca akan tertawa ataupun senyum kecut sendiri. Selain itu, disisipkannya budaya populer dalam cerita fiksi ini menjadikan cerita 24 Jam Bersama Gaspar cukup dekat dengan realita.
Kita akan menjumpai percakapan soal konser Slank, sebuah diskusi film Fight Club, anime Akira, sampai soal sepeda motor diselingkan ke dalam cerita pada novel ini sehingga kita akan terkecoh apakah ini cerita fiksi atau bukan. Hal itu sekaligus membuktikan bahwa penulis memiliki riset dan wawasan yang cukup baik.
Beberapa tokoh dalam novel ini pun terdengar tidak asing di telinga kita. Misalnya adalah Arthur Harahap, yang kalau pembaca mau menerka-nerka, nama itu bisa jadi gabungan dari nama Sir Arthur Conan Doyle dan Abdullah Harahap yang karyanya ada dan bisa dinikmati di dunia nyata.
Tokoh-tokoh dalam novel ini pun terbilang unik dan memiliki sejarah yang saling terkait. Kemunculan masing-masing tokoh benar-benar melengkapi cerita, seakan semua tokoh dalam cerita semuanya penting. Ketika Gaspar merekrut orang-orang untuk diajaknya merampok, hal itu benar-benar sudah direncanakan olehnya sedemikian rupa sehingga cerita menjadi runtut dan jelas.
Cukup disayangkan penggunaan ukuran fontnya yang cukup besar menjadikan jarak masing-masing paragraf jadi terasa sangat dekat, sehinga tidak terasa pergantian pembacaan masing-masing paragraf. Selain itu humor yang disisipkan ke dalam novel ini mungkin bagi sebagian orang sedikit aneh, karena seringkali menggunakan humor sindiran dan sinis seperti yang digunakan dalam stand up comedy, sehingga butuh waktu untuk mencerna humor yang ingin disampaikan.
“Jadi sebenarnya Gaspar ini menceritakan apa sih?” Secara garis besar sebenarnya 24 Jam Bersama Gaspar tidak hanya menceritakan soal perampokan, melainkan lebih dalam daripada itu, novel ini mempertanyakan kembali konsep “kebaikan”. Sebenarnya apa itu “baik”? apakah sekedar yang kuat menolong yang lemah? Apakah sekedar memberi kepada yang membutuhkan? Novel ini secara lebih dalam mencoba menguraikan kembali apa itu kebaikan dan apa itu kejahatan.
Kebaikan dan kejahatan sungguh suatu hal yang dilematis dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam novel ini misalnya, Wan Ali diceritakan menikahkan anak perempuannya bernama Kirana yang masih berumur dua belas tahun dengan mitra bisnisnya. Suatu hari ketika Gaspar masih seumuran Kirana, Ia datang ke rumah dan mendapati Kirana menangis lalu tiba-tiba membuka roknya, dan melihat vagina Kirana mengeluarkan darah dan nanah. Sampai setelah itu, bertahun-tahun kemudian Kirana meninggal.
Menurut Gaspar, kematian Kirana disebabkan karena kondisi fisik yang dipaksakan Wan Ali untuk menikah muda. Namun, Wan Ali menyangkal dengan mengatakan, “apanya yang membunuh? Sebagai orang tua yang baik aku wajib menikahkan anakku yang sudah siap menikah. Bukan salahku dia bertemu jodohnya di usia dini. Aku merestui pernikahan mereka demi kebaikan bersama.”
Hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Kondisi fisik yang belum mendukung untuk melakukan kegiatan seksual, akan berbahaya jika dipaksakan. Tindakan yang dilakukan Wan Ali seakan membenarkan perilaku pedofilia. Alih-alih melakukan kebaikan, Wan Ali justru melakukan suatu bentuk lain dari kejahatan, yang mana hal seperti itu di dunia nyata pun dapat kita jumpai.
Dalam novel ini tokoh Gaspar bukanlah seorang pahlawan. Gaspar lebih seperti sebuah anti-hero dalam cerita, tentunya mana ada pahlawan yang memiliki niat merampok kan? Tetapi apa yang dilakukannya di akhir cerita seakan-akan menjadikan Gaspar sebagai sebuah tokoh protagonis yang hanya ingin menyalurkan niat jahatnya kepada orang yang pantas mendapatkannya.
Novel ini menurut saya tidak bisa disandingkan dengan cerita-cerita detektif seperti Sherlock Holmes dan sejenisnya. Novel ini memiliki gaya tersendiri untuk sebuah cerita detektif. Secara keseluruhan, isu-isu yang ditawarkan dalam novel ini terbilang cukup serius – pedofilia, baik-jahat, keadilan – namun penulis mampu mengemasnya menjadi bacaan yang lucu dan ringan. Membaca novel ini baiknya jangan dilakukan di tempat-tempat umum, karena sungguh tidak keren dilihat orang lain membaca buku sambil terkikik-kikik sendiri.