Menilik Fiksi Sejarah dalam Buku Membunuh Harimau Jawa

Himmah online Jogja Art + Book Festival 2024 merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan selama dua pekan di The Ratan, Jalan Ringroad Selatan, Glugo, Kelurahan Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kegiatan ini bertujuan untuk mempertemukan antara seni dan literasi. Beberapa acara yang diselenggarakan salah satunya Diskusi Buku #3 pada (05/05) dengan mengambil tema “Membunuh Harimau Jawa”. 

Diskusi buku ini dihadiri langsung Risda Nur Widia sebagai penulis, Ramayda Akmal sebagai pembaca sekaligus pengamat sastra, dan Titah AW sebagai moderator. Diskusi ini diiringi antusiasme tinggi para peserta yang hadir memadati acara tersebut.

Beberapa hal yang menarik dalam diskusi kali ini yakni alasan mengapa menjadikan harimau sebagai tokoh utama, hubungannya dengan kolonialisme, hingga bagaimana adanya keterkaitan dengan fiksi sejarah. 

Harimau jawa yang diangkat oleh penulis merupakan sebuah kisah yang diceritakan neneknya, sosok yang memiliki pengaruh besar dalam kepenulisannya. 

“Banyak sekali cerita tentang harimau dan saya tidak tahu, mungkin itu adalah semacam gagasan tidak langsung yang ditanam oleh nenek saya mengenai harimau,” jelas Risda.

Risda tidak menjelaskan arti dari siapa sosok harimau di sini, karena menurutnya beberapa karya yang dibuat hanya sebuah kisah dan sekadar keterbukaan isi pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Tidak hanya harimau, unsur sejarah juga banyak diangkat dalam buku tersebut. Penulis mencampuradukkan tokoh-tokoh barat terdahulu, serta memfokuskan karakter dari tiap tokoh dalam cerita itu. Hal ini juga memunculkan keterkaitan dengan kolonialisme pada zaman itu.

Menurut Ramayda, ia mengalami masa tertentu yang diceritakan dalam novel yang kemudian menurutnya hal itu bersinggungan dengan sejarah, tentu itu menarik baginya. 

“Tapi saya bisa mengalami sedikit potongan sejarah pada masa tertentu melalui novelnya mas Risda. Mengalami kan lebih emotif situasinya. Jadi di ruang itu menurut saya, novel ini bersinggungan dengan sejarah,” jelas Ramayda.

Hal ini menarik para audiens untuk bertanya. Salah satunya Nyoman, seorang mahasiswa yang memiliki minat lebih di bidang saintis. Nyoman mempertanyakan apakah karya Risda hanya sekadar dongeng belaka yang diceritakan neneknya dan mempertanyakan seberapa dalam risetnya untuk melahirkan sebuah karya. 

“Apakah semua hal-hal di buku ini tentang dongeng seperti itu? Saya ingin tahu data sainsnya sehingga buku ini dapat menjadi pertimbangan untuk saya baca,” tanya Nyoman.

Risda menyebutkan bahwa dirinya melakukan beberapa riset, namun lagi-lagi fiksi tetaplah fiksi dan data sains dikembalikan pada kebutuhan dalam fiksi tersebut.

“Ketika kita membicarakan data, banyak sekali, saya tidak merujuk pada satu penelitian tertentu. Saya hanya mengambil katakanlah bagaimana eksploitasi tebu di masa kolonial itu ditulis oleh teman saya, saya berusaha belajar dari situ dan berusaha membangun logika seperti apa yang ada,” ujar Risda.

Risda menanggapi pertanyaan-pertanyaan secara santai dan menganggap bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kritik melainkan sebuah masukan.

“Sebenarnya saya menganggapnya bukan sebagai kritik sih, lebih sebagai sebuah insight atau sebagai tanggapan atas karya tersebut,” pungkas Risda.

Reporter: Himmah/Siti Zahra Sore, Nurul Wahidah, Sofwan Arrasyid

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Skip to content