Judul Buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2017
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
86 merupakan novel yang mengangkat tema besar mengenai budaya korupsi di Indonesia. Pada awalnya, kata “86” sering digunakan polisi untuk menyatakan pekerjaan mereka sudah beres. Namun seiring berjalannya waktu, 86 memiliki arti sendiri di masyarakat luas, yaitu sebuah sandi bagi pihak tertentu dimana seseorang telah menyelesaikan tugasnya dengan uang cuma-cuma, atau kasarannya menyogok.
Diceritakan seorang wanita lugu dari keluarga petani di desa bernama Arimbi yang merantau menjadi juru ketik di Pengadilan Negeri Jakarta. Tak dapat dipungkiri, stigma orang kota dengan banyak uang melekat padanya dan secara tidak langsung mengangkat derajat gadis tersebut. Dari gajinya yang tak seberapa itu, Arimbi bersusah payah untuk menghidupi keluarganya di desa serta kehidupannya sendiri di kota metropolitan.
Pada awal tahun ia bekerja, Arimbi tidak mengerti tentang “dunia kotor” di kantornya. Selama empat tahun, ia hanya datang untuk bekerja lalu pulang tanpa mengurusi hal lain. Kehidupannya hanya berkutat di lingkaran berkas yang harus segera ia ketik, tidak lebih dari itu. Dari juru ketik biasa, Arimbi mulai bertransformasi ketika tawaran-tawaran aneh berdatangan. Sebagai seorang yang polos, tawaran itu langsung ditolak mentah-mentah olehnya, hingga suatu saat Arimbi menyadari bahwa lingkungannya sudah menganggap wajar apa yang ia hinakan itu. Arus dan tekanan ekonomi membawa Arimbi ke jurang 86. Lambat laun, urusan melancarkan sidang dan berkas terkait, pada akhirnya tak luput dari tangannya pula.
Buku ini menyajikan topik yang berat di Indonesia tetapi Okky Madasari mampu membuat segalanya lebih sederhana. Tokoh Arimbi dapat menjadi representasi warga Indonesia pada umumnya, dimana seorang yang polos akan luntur nilai-nilai kehidupannya ketika lingkungan yang baru datang membawa pengaruh lain. Nasihat mengenai karma pun disampaikan dalam novel ini. Sayangnya, karma yang ada, tak urung membuat tokoh Arimbi berhenti melakukan kejahatan.
Karma yang datang di novel ini adalah ditangkapnya serta dijebloskannya Arimbi ke balik jeruji besi. Dari bagian tersebut, Okky Madasari mencoba membuka tabir kehidupan baru yaitu dijalankannya pengedaran narkoba dari dalam sel. Penulis yang seorang wartawan ini pula menceritakan bagaimana barang terlarang itu dapat masuk, diolah, dan dikemas dari balik jeruji. Tokoh Arimbi serta suaminya, Ananta, dijadikan alat selanjutnya untuk mendistribusikan narkoba ke berbagai wilayah nusantara.
Sejak awal mendekam di penjara, Arimbi bertemu Tutik, seorang tahanan senior sekaligus pengedar sabu-sabu. Tutik menawari Arimbi untuk bergabung di bisnis haramnya, spotan Arimbi tak tertarik pekerjaan tersebut namun kembali lagi keadaan memaksa. Ibu Arimbi mengidap penyakit ginjal yang mengharuskan cuci darah seminggu sekali. Arimbi menyadari posisi dirinya tidak memungkinkan untuk menghasilkan uang selagi ia berada di balik jeruji besi, menjadi pengedar narkoba hanyalah opsi yang ia miliki.
Tutik mengajak Arimbi bekerja pada seorang produsen sabu-sabu di dalam penjara bernama Cik Aling. Sipir-sipir penjara dibayar Cik Aling agar segala kebutuhan mengenai ramuan narkoba dapat diselundupkan ke kamarnya lalu diolah dan jual kembali. Urusan mengedarkan narkoba dalam kawasan lembaga pemasyarakatan telah menjadi tanggung jawab Tutik, tersisa dunia luar bagi Arimbi. Arimbi memutar otak menemukan metode tepat membawa barang terlarang itu ke luar lapas. Terbawalah sang suami, Ananta, dalam lingkaran setan ini. Saat Ananta menjenguk Arimbi, tak lagi hanya kerinduan yang dilepas namun narkoba juga dipegangnya sampai ke tangan konsumen Cik Aling. Upah dua ratus ribu Arimbi genggam sesaat Ananta berhasil sekali terbang. Terhitung dalam satu minggu, tiga kali transaksi cukup untuk menutupi biaya pengobatan ibu Arimbi. Ketika ibunya telah sehat, niat berhenti tak terealisasikan karena semua telah menjadi kebiasaan.
Hal yang lumrah terjadi apabila kerinduan melanda seseorang yang terpisah jarak, waktu, serta ruang. Dalam ceritanya, tokoh Arimbi yang lama di balik jeruji serta hanya sesekali dijenguk Ananta, melampiaskan rasa kerinduan dan kenyamanannya bersama Tutik yang notabene seorang wanita pula. Setiap malam, mereka saling memuaskan syahwat ketika penghuni lain telah terlelap dan lampu dimatikan. Waktu tak mungkin abadi, Arimbi mendapat kesempatan terlebih dahulu untuk keluar sel dibanding Tutik. Layaknya pasangan, masalah muncul sebelum mereka diharuskan berpisah. Tutik tak rela ditinggalkan Arimbi seorang diri, Arimbi pun merasa bersalah. Namun dunia luar serta Ananta tak dapat ia hiraukan. Terlalu menyakitkan jika dilepas begitu saja, Arimbi akhirnya tetap menjalin hubungan dengan Tutik menggunakan urusan bisnis Cik Aling sebagai alibi.
Mengangkat isu yang bisa dikatakan menyerempet ke arah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) seperti ini sungguh mencerminkan keberanian yang luar biasa dari penulis. Secara tersirat dan singkat, pesan mengenai bagaimana bisexual menjalani kehidupannya di Indonesia disampaikan Okky Madasari kepada pembaca tanpa menggiring kepada opini tertentu.
86 mengandung konten dewasa, untuk itu novel ini tidak disarankan bagi pembaca di bawah umur. Kasus yang berat pula harus dipahami dengan baik dalam menelaahnya, perlu pemilahan dalam mengambil poin-poin yang disampaikan oleh Okky Madasari. Buku ini juga lebih berat dibanding novelnya Maryam. Dalam Maryam, cerita romansa yang mengharu biru tidak akan disajikan dalam 86. Semua kisah yang ada dituliskan secara tegas dan mengalir cepat.
Secara keseluruhan, buku ini mengajarkan anti penting dari korupsi, komitmen, serta iman. Zaman sekarang, semua orang dapat membuat alasan untuk menyintesis suatu kebenaran. Nilai-nilai yang dikatakan buruk, akan dianggap lumrah saja ketika semua orang menggangpnya biasa, padahal hal yang lumrah belum tentu benar. Keimanan dan komitmen menjadi hal pokok yang tak boleh digoyahkan dalam kasus ini. Mudah memang mencapai suatu hal dengan cara kotor, tetapi cara tersebut tidaklah bermoral. Manusia tidak akan ada bedanya dengan hewan saat tidak memiliki moral dan hanya mengikuti nafsu duniawinya. Tidak ada jalan pintas untuk memperoleh kebahagiaan sejati.