Judul: Rumah Kertas (Terjemahan dari La casa de papel)
Penulis: Carlos Maria Domínguez
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: IV, Desember 2018
Tebal: 76 halaman
ISBN: 978-979-1260-62-6
Saat kritik dan saran mulai terbelenggu oleh kebijakan, karya sastra menjadi secercah harapan untuk membebaskannya. Kritik dalam karya sastra terkesan lebih cair dan luwes karena unsur fiktif di dalamnya. Tak perlu gusar akan dikejar-kejar, kan hanya cerita fiktif.
Wajar jika karya sastra dianggap lebih mampu melayani rakyat daripada pengabdi rakyat itu sendiri. Oleh karenanya, Mursal Esten (1989) dalam “Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah” menyatakan bahwa karya sastra tercipta untuk mengungkap masalah-masalah tentang manusia dan kemanusiaan. Di antara karya sastra yang berhasil (secara subjektif) mengungkapkannya adalah novel “Rumah Kertas” karya Carlos María Domínguez.
Meski telah terbit beberapa tahun yang lalu, buku ini tetap layak dibaca sampai kapanpun. Bahkan, Critiques Libres, sebuah situs kenamaan tentang ulasan-ulasan buku-buku sastra terjemahan dan berbahasa Prancis, menyatakan bahwa “Rumah Kertas” merupakan sebuah novel yang layak dibaca berulang kali.
Secara garis besar, novel ini berkisah tentang tokoh ‘Aku’ yang yang harus berhadapan dengan penyelidikan misterius tentang asal-usul buku aneh sekaligus berkesempatan menyaksikan seorang lelaki yang ‘cinta sepenuh mati’ terhadap buku.
Selain ceritanya yang menarik dan unik (atau sebut saja di luar batas akal manusia), hal lain yang membuat buku ini layak dibaca dari masa ke masa adalah kandungan kritik sosial di dalamnya.
Meminjam gagasan Horatius, seorang penyair terkenal pada masa Romawi, bahwa sebuah seni (sastra) itu harus mengandung dulce dan utile. Aspek dulce digunakan untuk membahasakan kode estetik, sedangkan kriteria utile dimaksudkan untuk pengungkapan kritik. Lewat kritik, kegunaan dan kemanfaatan dapat dinilai lebih logis.
Satu di antara kritik sosial yang disampaikan oleh Domínguez tentang kemanusiaan adalah gaya merendah manusia yang sejatinya hanya omong kosong belaka. Kritikan ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini,
“Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi ‘sok merendah’ soal jumlah koleksi yang tak seberapa” (halaman 10).
Lewat kutipan tersebut, Domínguez seolah hendak memberikan pemahaman baru bahwa kesombongan tak selalu diungkapkan dengan kemegahan atau kebesaran. Kesombongan bisa saja terjadi dengan cara mengecilkan hal-hal yang memang nyata-nyata besar.
Seperti ungkapan seorang tokoh profesor dalam novel tersebut yang mengatakan bahwa koleksi bukunya tak seberapa. Padahal, hampir satu ruangan penuh dipenuhi dengan rak-rak buku. Sederhananya, kesombongan telah berceceran di mana-mana.
Tak hanya tentang kemanusiaan, Domínguez juga mengkritisi tentang kemuakannya terhadap belenggu kapitalisme. Hal ini tampak pada ungkapan berikut ini,
“Sesuatu yang biasa kulakukan dulu saat tinggal di Buenos Aires, di antara gulungan-gulungan tali tambang, gudang-gudang dari bata ekspos, derek-derek, kapal-kapal, para pelaut, dan burung-burung camar … Namun yang kudapati justru restoran-restoran, kafe-kafe, dan tempat nongkrong mewah dari sebuah dunia yang telah berubah sepenuhnya, dipajang tanpa sungkan, dan amit-amit mahalnya sampai aku merasa tercampak bak sebutir batu” (halaman 14).
Domínguez seolah-olah ingin mencurahkan semua kemarahannya terhadap sistem kapitalisme yang telah merampas semua kebahagiaannya dulu, ketika Buenos Aires masih tenang dengan aktivitas rutin para pelaut dan burung-burung camar.
Kini, semua kebahagiaan itu musnah ditelan tanpa sungkan oleh para kapitalis dengan dalih pengembangan. Puncaknya, masyarakat dengan ‘takdir berbeda’ hanya akan menjadi korban yang tak ada bedanya dengan sebutir batu.
Domínguez juga melancarkan sindiran untuk dunia kepenulisan. Ia beranggapan bahwa aspirasi sastra tak lebih dari urusan ketenaran dan kekuasaan melaui ungkapan berikut ini,
“Beberapa orang teman memberiku novel-novel yang baru mereka terbitkan, tapi cuma sedikit yang mempercakapkannya … memilih penerbit-penerbit kecil yang memperlakukan naskahmu dengan sungguh-sungguh, atau bersinar terang selama sebulan dengan penerbit besar dari Spanyol lantas lenyap bak bintang jatuh dari deretan buku baru … Ada bintang-bintang menyilaukan di peta sastra, orang-orang yang jadi kaya raya dalam semalam berkat buku-buku payah, yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya, di suplemen-suplemen koran, melalui pemasaran, anugerah-anugerah sastra, film-film acakadut, dan kaca pajang toko-toko buku yang perlu dibayar demi ruang untuk tampil menonjol” (halaman 15-16).
Sindiran Domínguez di atas agaknya memang benar-benar akan relevan sampai kapanpun. Tolok ukur kelaikan karya sastra cenderung hanya dilihat dari penerbitnya (mayor atau indie), sering mejeng di toko-toko buku besar atau tidak, hingga faktor remeh-temeh lainnya.
Padahal, (seperti yang ditulis oleh Domínguez) faktor-faktor yang telah disebutkan itu dapat diraih dengan lembaran-lembaran, bukan dengan gagasan. Pada akhirnya, kekayaan dan kekuasaan masih menjadi momok menakutkan untuk perkembangan khazanah kesusastraan.
Novel “Rumah Kertas” memang terlampau tipis, hanya 76 halaman. Namun, kelaikan tidak dapat diukur dengan ketebalan maupun ketipisan, sebab buku yang tipis ini ternyata berhasil menyajikan sebuah gagasan yang kritis.