Ujaran Kebencian di Ranah Digital dan Dampaknya

Himmah Online Menurut laman indonesiabaik.id, ujaran kebencian diartikan sebagai tindakan berkomunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, dan penghinaan yang ditujukkan kepada suatu individu ataupun kelompok lain.

Praktik ini sebetulnya bukan hal baru. Akan tetapi menjadi semakin masif seiring dengan bertambah cepatnya perkembangan teknologi digital. Praktik ujaran kebencian di ranah digital kerap terjadi di media sosial.

Gawai yang semakin canggih dan penetrasi internet ke banyak daerah, namun tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang baik, menjadi salah satu penyebab maraknya praktik ujaran kebencian di ranah digital.

Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, organisasi yang berfokus pada upaya memperjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara, membagi praktik serangan di ranah digital menjadi dua jenis. Yakni praktik serangan kasar dan serangan halus.

Praktik serangan kasar dapat berupa peretasan, penyadapan secara ilegal, maupun pengawasan tanpa izin. Sementara praktik serangan halus contohnya seperti pengungkapan identitas pribadi tanpa persetujuan untuk menjatuhkan (doxing), komentar secara membabi buta (trolling), dan ujaran kebencian (hate speech).

Terdapat beberapa aspek yang mendorong terjadinya ujaran kebencian. Seperti politik identitas, isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), disabilitas atau orientasi seksual seseorang.

Susan Benesch dalam laporan Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya menuturkan, jika suatu ujaran membuat orang lain terinspirasi untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang ataupun kelompok lain, maka ujaran kebencian tersebut berhasil dilakukan.

Dalam pendapat ahli yang lain di laporan yang sama, Brink menyebutkan bahwa ujaran kebencian lebih buruk dari sekadar pernyataan yang bersifat diskriminatif. Yaitu sang pengirim hate speech memakai simbol tradisional untuk melecehkan seseorang karena memiliki hubungan dengan kelompok tertentu. Penghinaan tersebut sebagai bentuk ekspresi agar korban mengalami kesengsaraan secara psikologis.

Melansir kanal okezone.com, Dedy Permadi selaku Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) menuturkan bahwa sejak tahun 2018 hingga awal tahun 2021 Kominfo telah melakukan pemutusan akses atau takedown terhadap 3.640 konten yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

Menurut laporan Ujaran Kebencian di Ranah Digital: Korban, Pelaku, dan Metode Penanganan yang diterbitkan SAFEnet, saat ini ujaran kebencian masih belum menjadi kesadaran bersama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyebaran informasi terkait bahaya ujaran kebencian belum merata (edukasi); minimnya orang yang mau melakukan pencegahan ujaran kebencian (keterlibatan); dan minimnya orang yang mau merancang lebih banyak inisiatif warga untuk meredam ujaran kebencian (kepemilikan terhadap sebuah isu).

Selain itu, Pipit Djatma, Fundraiser Consultant & Psychosocial Activist IBU Foundation, dikutip dari industry.co.id, menyebutkan dampak dari ujaran kebencian kepada para korban adalah mendapatkan diskriminasi dari masyarakat, hilangnya nyawa atau keinginan bunuh diri dari korban, terjadi kekerasan, konflik sosial antar masyarakat, sanksi sosial hingga berujung rasa malu, hingga hilangnya reputasi baik.

Guna mencegah diri sendiri menulis ujaran kebencian di media sosial, setiap orang harus mengerti tentang bagaimana beretika di ranah digital. Seperti menyadari bahwa manusia tidak hidup sendirian, berpikir dulu sebelum menulis komentar, menggunakan bahasa yang baik, menggunakan media sosial untuk berbagi kebaikan, tidak mengganggu privasi orang lain, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan yang terakhir berusaha memaafkan kesalahan orang lain.

Indriyanto Seno Adji dalam Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya juga menyebutkan salah satu cara untuk menghentikan ujaran kebencian adalah dengan mengembangkan budaya toleransi sebagai bentuk pencegahan dan melalui instrumen peraturan pemerintah.

Senada dengan itu, dijelaskan dalam penelitian SAFEnet bahwa cukup banyak cara yang efektif untuk mencegah ujaran kebencian dari masing-masing daerah. Salah satunya menyesuaikan turunan peraturan pemerintah pusat ke daerah dengan konteks lokal dengan melibatkan semua pihak, terutama kelompok-kelompok yang kesulitan mendapatkan akses.

Reporter: Magang Himmah/Aqila Nuruttazkia Ahsan, Rizky Nadya Salsabila, Sandria Retno Pramesti

Editor: Pranoto

Skip to content