Kenangan-Kenangan yang Terbelah

*Naskah “Kenangan-Kenangan yang Terbelah” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 02/Thn. XXXVII/2005 dalam rubrik Dialog di halaman 56. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk melepas kepulangan Siti Dyah Sujirah atau Mbak Sipon yang mangkat kemarin, 5 Januari 2023. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.


Sehimpun cerita dalam suatu percakapan ringan yang disampaikan Sipon, istri dan penyair Solo, Wiji Thukul.

Siti Dyah Sujirah, atau lebih akrab disapa Mbak Sipon, bingung sendirian sepanjang perjalanan di atas kereta yang menuju Jakarta. Ia tak tahu-menahu mesti berkata apa kepada Saiyem, ibu mertua suaminya. la tahu selama ini ia telah berbohong kepadanya. Juga Wito, bapak mertuanya. Meskipun yang ia lakukan demi kebaikan, namun saat itu rupa-rupanya ia merasa amat bersalah.

Sipon gamang. Terdampar dalam persimpangan di antara dua pilihan. Apakah harus ia katakan secara terbuka saat itu juga, ataukah memendamnya saja dan mereka mengetahuinya dari mulut orang lain. Karena, pikir Sipon, tanpa ia utarakan langsung, toh mereka bakal mengetahuinya sewaktu perhelatan di hari penghargaan tiba, untuk tujuan itulah mereka pergi ke Jakarta.

Perempuan kelahiran 21 September 1966 itu teramat mengerti bahwa jika ia mengatakannya secara jujur maka sekaligus ia telah menghancurkan perasaan kedua orang tua suaminya. Bagi kedua mertuanya, keberangkatan ke Jakarta kali ini karena menyangka akan bertemu si anak sulung tersayang. Karena sekian tahun mereka tak pernah bertemu. Karena sekian tahun mereka tak pernah bertemu. Karena itu mereka rindu. Sangat rindu.

Mereka hanya tahu melalui kabar yang disampaikan oleh si menantu bahwa si sulung tersayang dalam keadaan baik. Mereka tak menduga terlalu jauh bahwa Sipon selama ini rupanya telah berbohong.

Jauh sebelumnya, ketika sepasang mertua itu bertanya mengenai kabar anaknya, Sipon selalu menjawab bahwa suaminya baik-baik saja. Tak lupa, sewaktu ia berkunjung ke rumah mertua, untuk menutupi kesalahannya sekaligus meyakinkan mereka supaya percaya, ia kerap membawa oleh-oleh seraya bilang yang dibawanya itu adalah kiriman dari anak sulung mereka. Dan peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang.

Sampai akhirnya tibalah suatu hari yang menentukan berupa undangan penghargaan buat anak sulung tersayang. Sampai akhirnya terbitlah di dada Sipon sebuah situasi perasaan bimbang yang menekan. Suatu perasaan bersalah dan bingung setengah mati.

“Udah kayak kesobek dadaku,” begitu kenangnya.

Sipon yang duduk di bangku kereta itu sejatinya sangatlah gelisah. Ia dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Sehari di kereta itu pikirannya cuma disibukkan buat berkata jujur bahwa sebetulnya ia tidak pernah bertemu sama sekali dengan suaminya. la ragu hendak bercerita serupa apa tentang si suami tercinta. Sebelum sempat terucap, cerita yang akan ia utarakan itu seakan terhenti lebih dulu di ujung kerongkongan. Akhirnya, Sipon mengambil sikap diam.

“Wah, itu aku kayak orang gila.” la berkata mengenang. “Aku merasa, aku membohongi mertuaku sekian tahun.”

Selain kedua mertuanya, dalam keberangkatan itu turut juga Wahyu Susilo, adik lelaki suaminya. Sipon membawa pula kedua anaknya. Si sulung seorang perempuan bernama Fitri Nganthi Wani, sedang yang bungsu, yang saat itu berumur 9 tahun punya nama Fajar Merah.

Si sulung, yang kala itu masih berusia 13 tahun akan membacakan puisi karyanya sendiri dalam penghargaan itu. Sebelumnya , puisi itu sudah dikirim lewat faksimile. Sipon kemudian mendapatkan balasan: “Ini Mba Sipon, puisinya beneran apa nggak?”

Terang dari jauh menanyakan hal itu, karena selepas hari puncak penghargaan tersebut tergelar dan si sulung telah selesai membacakan puisinya, Todung Mulya Lubis, seorang pendiri Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham)–sebuah lembaga nonpemerintah yang berkonsentrasi pada isu-isu HAM di tanah air, seperti yang ditirukan Sipon kepada saya, berkata, “Itu kemarahan anaknya Mbak Pon.”

Si penerima penghargaan itu adalah Wiji Widodo alias Wiji Thukul. Tapi sosok wadag Thukul tak ada. Thukul tak pernah naik podium itu.

Sementara Todung mengumumkan nama Thukul sebagai si penerima hadiah, Saiyem terkesiap di tempat duduknya. Ia menggigit lengan Sipon sembari berujar, “Kamu ngapusi (bohongi) aku.”

Lampu sorot kamera merekam kejadian ini. Seluruh keluarga itu terlihat tak mampu lagi menahan emosi.

“Videonya ada itu. Aku kayak orang gila. Aku merasakan diriku bukan diriku. Aku melihat mataku itu kok kosong, gitu loh. Jadi aku melihat di video itu kayak bukan aku. Aku bener-bener kayak orang gila. Shock betul.”

Sebelum penyerahan sertifikat kehormatan diserahkan, Sipon diberi waktu tiga puluh detik untuk naik ke atas panggung. Sipon naik ke podium namun hanya sebentar. Selepas berkata, “Jangan sampai terulang lagi kejadian hal seperti ini…”, ia pun bleg. Sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Jatuh pingsan. Akhirnya, Wahyu Susilo yang mewakili proses penyerahan tersebut.

Puisi dengan judul “Untuk Bapakku dan Orde Baru” yang dibacakan si sulung pun rupanya menerbitkan rasa kaget tak dinyana oleh Sipon. la sampai bilang, “Lho, kok serem, Nduk?”

Besok harinya Todung berkomentar “Yang kemarin itu bukan puisi. Tapi itu kemarahan anaknya Mbak Pon. Biarin ajalah supaya dia nggak down. Kalau nggak, mungkin dia pingsan juga.”

Begitulah, acara puncak penghargaan Yap Thiam Hien kesepuluh, 10 Desember 2002.

Ilustrasi: HIMMAH/Pandu Lazuardy P.

Penghargaan tersebut diberikan bagi orang-orang yang dinilai telah berjasa besar dalam tegaknya keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Di tengah-tengah wajah moyak kekuasaan Orde Baru yang kerap melakukan tindakan tak senonoh di luar batas akal waras yang biadab dan kurang ajar, Thukul adalah salah satu miniatur korbannya. Ia perwakilan absolut yang menentang segala macam mulut besar para penguasa otoritarian, yang doyan melahap doyan menguap orang-orang yang dianggap penyempal.

Dalam kata-kata sambutannya, Todung Mulya Lubis berucap bahwa Thukul sangat layak mendapatkan penghargaan ini. Thukul semacam representasi dari sosok pejuang kemanusiaan sejati, karena ia tidak hanya berjuang untuk hak-hak kemanusiaan, melainkan juga mengangkat daya martabat manusia.

Todung berkata, “Di negeri yang hak-hak hidupnya dikhianati, Wiji melawannya lewat kata-kata. Beberapa dari hasil kerjanya itu menjadi senjata ampuh bagi para aktivis dan pelajar dalam setiap gerakan.”

Kemudian Todung memberi penilaian, “Puisi-puisi Wiji dipenuhi bahasa sederhana dan bijaksana, penuh perenungan, terasa pahit, peka, dan dalam beberapa hal, sangat berbau politik. Suara Wiji menyiarkan ketidakadilan dan menyingkap wajah asli otoritarianisme.”

Sebelum perayaan tersebut dimulai, yang digelar di gedung Museum Nasional Jakarta Pusat, Sipon berkata mengenai suaminya, “Hari-hari pahit ketika rumah kami dirampok dan diawasi telah selesai, walaupun keluarga saya akhirnya harus rela membayarnya dengan hilangnya seseorang yang begitu dicintai oleh anaknya, kedua orang tua, dan adiknya.”

“Bagaimanapun,” lanjut Sipon, “saya beruntung karena saya masih bisa menyaksikan anak-anak saya tumbuh besar, tetapi saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suami saya yang tidak dapat menyaksikan anak-anak kesayangannya.

Wani berkata, “Saya bangga terhadap ayah saya tapi saya tidak ingin seperti dia. Dia tidak kembali dan itu yang menyebabkan nenek dan ibu saya sangat sedih.”

Dari penghargaan ini, Sipon merasa sangat bersyukur. 

“Aku terima kasih sekali bantuan teman-teman. Sangat kuat sekali buat saya. Saya melihat, aku punya banyak teman, karena ternyata saya tidak sendirian.”

Masa Kehilangan dan Pencarian

Sipon dan Thukul menikah pada 21 September 1988. Mereka hanya butuh setahun untuk berpacaran dan setahun selepas menikah itu pula mereka butuhkan buat memiliki momongan. Selang lima tahun kemudian Fajar Merah lahir.

Dalam ingatan Sipon, sewaktu Fajar masih kecil, Thukul pernah berkelakar, “Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya dengan kamu.”

Sipon menganggap sepi ucapan tersebut, dan hanya menimpali, “Wah, kaya arep mati wae (seperti ingin meninggal saja). Sapenake dhewe, kene sing meteng, ha.. ha..ha.. (seenaknya sendiri, sini yang mengandung).”

Di sekian tahun kemudian, setelah sang suami tak juga kembali, Sipon mengenang dan berpikir, “Mungkin dia keroso (terasa).”

Benar atau tidak dugaan Sipon itu, rupa-rupanya kenyataan yang menimpa suaminya telah bikin catatan sejarahnya sendiri.

Tahun 1992, bersama warga Jagalan-Pucang Sawit lainnya, suami Sipon ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil Sariwarna Asli. Tahun-tahun berikutnya ia terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang jadi bagian Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tahun 1994, Thukul bergabung dalam aksi perjuangan petani di Ngawi, la ditangkap dan dipukuli militer.

Maret 1995 adalah mimpi buruk baginya. Kala memimpin aksi pemogokan buruh PT Sritex di Sukoharjo, Surakarta, sebelah mata Thukul nyaris buta akibat dipopor seorang tentara. Kelopak mata kanannya sobek dan retina matanya terganggu. Ia harus beberapa kali menjalani perawatan di rumah sakit mata Dr. Yap di Yogyakarta.

Lalu terjadilah peristiwa celaka itu. Sabtu, 27 Juli 1996, massa bayaran yang riuh didukung aparat polisi dan tentara, dengan mengenakan kaos bertulis “PDI Pro Soerjadi”, menyerbu markas besar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengambil alih secara paksa sambil ditingkahi pengrusakan dan pembakaran.

Suhu politik nasional kemudian amat panas. Genting. PRD terkena imbasnya. Dituduh sebagai dalang dari penyerangan itu. Para aktivisnya lalu banyak diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara yang pengap. Pemerintah Soeharto melalui Soesilo Soedarman, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, lantas mengumumkan nama-nama aktivis itu sebagai orang yang diburu. Thukul termasuk di antaranya. 

Cepat-cepat Thukul mesti bersigegas, menyeret nyawanya, dan menghilang. Di sekian hari kemudian, oleh teman-teman sesama aktivis, ia hanya berwujud puisi yang muncul di internet. Nada puisi masa pelarian itu terkesan murung. Tak lagi pekik sorai membahana seperti sebelumnya yang kerap menghiasi aksi-aksi di jalanan. Tak lagi menggelora.

Puisi-puisi itu seakan jadi arah petunjuk untuk melacak jejak Thukul berada. “Hayati”, salah satunya.

hayati
bapak mamak ingin bawa kau
ke madura
tanah bapaknya bapakmu
tanah mamaknya mamakmu

tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati
dari pontianak
ke madura
ratusan kali
pulang pergi

tapi kapal-kapal sudah berangkat hayati
karena beaya
selalu tertunda-tunda
karena beaya hayati

lebaran sepuluh hari lagi

Ada kata Madura dan Pontianak tertera di situ. Tak ada yang tahu Thukul menulisnya di mana. Tapi ini cukup bisa untuk dibayangkan. Dalam kumpulan puisinya, Aku Ingin Jadi Peluru, terbitan Indonesia Tera, 2004, tertulis 6 Januari 97 sewaktu puisi itu dibuat. Ini sepenggal rentang masa pelarian Thukul.

Linda Christanty, seorang kawan semasa di PRD, yang kini jadi perempuan penulis cerita pendek dengan karya-karyanya yang sudah dibukukan dalam Kuda Terbang Mario Pinto, dalam artikel “Wiji Thukul dan Orang Hilang”, menulis bahwa “Thukul pergi ke Kalimantan dan hampir setengah tahun tinggal di sana”.

Sekembalinya dari Kalimantan, seperti yang ditulis Linda, Thukul kemudian diminta membantu kawan-kawan di Jakarta. Linda lantas bekerja kembali bersama Thukul. November 1997, Thukul meminta izin pulang ke Solo pada Linda dengan maksud menemui keluarganya.

Linda tak menyangka bahwa saat itulah terakhir kali ia akan berkontak dengan Thukul. Linda hanya mampu mengenang. 

Desember 1997, Thukul secara diam-diam menemui Sipon dan kedua anaknya.

Awal Februari 1998, Sipon hanya bisa meyakini suaminya masih hidup lewat sehimpun suara di ujung telepon. Namun secara bersamaan, itulah kontak terakhir kalinya dengan Thukul.

Di masa pelarian suaminya itu, Sipon mengenang bahwa ia hanya bertemu beberapa kali. “Tidak bisa lama,” kata Sipon, “mirip kucing ditembak peluru.”

Situasi perjumpaan mereka pun terasa berat. Hanya lewat bahasa tubuhlah mereka saling melepas dan menangkap rasa kangen.

“Inginku ketemu langsung dan bisa enak, tapi nggak tahunya sulit.”

Mei 1998, Soeharto jatuh. Kerusuhan etnis merebak ke mana-mana. Bermula di Jakarta, lalu seperti api yang melantak kota tanpa rasa belas kasihan, menyebar ke segala arah. Situasi kemudian agak mereda. Tapi Thukul tak lekas kembali. Tak berbentuk suara. Tidak juga jasadnya. Thukul seakan tersesat dalam riuh rimba kekacauan itu.

Sipon menanti cemas. Perasaan rawan mendadak menyergapnya. 

Masa-masa kritis pun dimulai. Sipon sampai tak mengenal mana kawan mana lawan. Orang-orang di lingkaran aktivis suaminya saling melempar tanya: ke mana larinya Thukul?

Kawan-kawan suaminya mengira Sipon tahu–mungkin saja disembunyikan. Sipon mengira mereka malah yang lebih tahu. Ia bertanya ke teman-teman yang pernah bertemu dengan Thukul. Mungkinkah suaminya pernah sempat bersinggah ke tempat mereka? Kalau ya, lantas ke mana? Serupa dengannya, mereka pun tak tahu. Tak ada yang lebih tahu. Segalanya serba sumir.

Sementara di luar tanda-tanda kemunculan suaminya tak kunjung berbekas, di rumah, Sipon kebingungan harus berusaha menenteramkan kedua anaknya. 

Ia berusaha memberikan apa saja yang diminta oleh anak-anaknya. Ia berusaha keras supaya mereka merasa tenang. 

“Tapi kalau minta ketemu bapaknya,” ucap Sipon mengenang, “matilah aku.”

Suatu kali, Wani hanya diam membatu sepanjang hari. Sipon ingat betul Wani saat itu masih kelas dua sekolah dasar. Wani selalu bertingkah seperti itu jika ada sesuatu menggelisahkan hatinya. Karena bingung, Sipon menyuruh Wani menulis di kertas buku.

“Kamu tulis aja keinginan kamu apa, kalau itu akan bisa bantu, Ibu akan bantu.” 

Wani ketiduran di atas halaman buku tulis yang baru selesai ditulisnya. Sigap Sipon membacanya. Rupanya, Wani teramat rindu bapaknya. 

Dalam ingatan Sipon, tulisan itu berbunyi: Pak, kowe neng endhi, ora mulih-mulih. Aku pengen sinau karo kowe, aku pengen garep PR karo kowe. Pak, kowe ora mulih-mulih. Sesuk mulih yo, aku kangen, ibu kangen… (Pak, kamu di mana, tidak pulang-pulang. Aku ingin belajar sama bapak, aku ingin mengerjakan PR dengan bapak. Pak, kok tidak pulang-pulang. Besok pulang ya, aku rindu, ibu rindu…).

Sipon terhenyak. Ia menangis tersedu.

Tak ingin seterusnya berdiam menunggu, Sipon mencari lagi. Sekeras-kerasnya. Sesekali di simpang jalan ia terhenti, tapi itu hanya perhentian sementara. Sebab selanjutnya ia pun berpusing lagi. Menemui teman-teman yang pernah bersentuhan dengan kehidupan suaminya. Semua-muanya.

Ia telah menancapkan tekad, dan sebab itu ia bersikukuh, bahwa selama jasad suaminya belum terlihat dengan mata kepala telanjang sendiri, maka sepanjang itu pula pencariannya tetap tiada henti. Sekeras-kerasnya.

Namun Sipon tetap saja manusia. Ia memiliki keterbatasan. Seperti yang lain-lainnya. Seperti halnya Thukul. Suaminya berbadan kurus, ringkih, dan tak berotot. Tapi justru karena itulah Thukul melawan kaum penindas tidak lewat belulang kecil tersebut, melainkan dengan kata-kata. Penguasa kemudian takut. Terancam. Mereka marah. Lantas membungkam sesuara kebenaran; sesuara yang bernada lapar yang telah terkuras tandas buat mengganjal perut buncit kaum penindas.

Sebab tubuh Thukul kurus, dan ia amat mengerti keterbatasannya itu, maka perlawanannya lewat cara lain. Jalan lain. Semampu-mampunya. Tapi manusia tetap memiliki keterbatasan. Dan pada titik itulah Sipon terhenti. Bukan berarti ia menyerah. Sama sekali bukan! Hanya capai. Sangat capai.

la bilang, “Memang sulit untuk menemukan Thukul.” Kemudian dengan suara tertekan, ia melanjutkan, “Yah…, akhirnya aku kembali lagi. Apa ya…, ehmmm… pasrah ya. Aku harus pasrah dan mau menerima.”

Di rumah, anak-anaknya sudah mulai menyadari bahwa mereka juga bingung menemukan keberadaan ayahnya. Mereka bilang, “Udahlah, itu terserah ibu, tergantung ibu.”

Sipon agak lega mendengarnya, sebab alasan utama ia mencari-cari suaminya juga dikarenakan mereka.

April 2000, Sipon lalu melaporkan hilangnya Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Beberapa bulan kemudian KontraS mengumumkan bahwa Thukul termasuk korban praktik penghilangan orang yang dilakukan pemerintah rezim Orde Baru.

Inilah rupa-rupanya “politik penghilangan orang secara paksa”. Inilah kejahatan maha celaka. Inilah Crimes Against Humanity.

Thukul tertelan ke dalam pusarannya. 

Sipon berkata, “Bayanganku, kalau dia masih hidup, mungkin dia sekarang jadi orang yang disembunyikan, atau dihormati atau dihargai, yang tidak bisa ke mana-mana. Terus apa mungkin dia jadi gelandangan yang harus menyamar jadi orang gila? Terus apakah dia memang benar-benar mati? Kadang aku nggak bisa inilah…, karena aku nggak tahu pasti.”

“Kepastian itu sulit,” kata Sipon kemudian, lirih.

Masa Perkenalan

Sipon anak kelima dari enam bersaudara. Ia mengenal Thukul sewaktu berteater. Kalau Thukul sempat bersekolah sampai kelas dua Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), sedang Sipon hanya mencicipi pendidikan sampai kelas lima sekolah dasar.

Mereka bertemu kali pertama di Sanggar Teater Jagad, pimpinan Cempe Lawu Warta di Kampung Jagalan. Mereka sama-sama anggota teater itu. Pertemuan tersebut diawali dalam suatu lokakarya teater di Pantai Glagah, Yogyakarta, yang diselenggarakan Emha Ainun Nadjib dan Halim HD.

Ada suatu sebab yang bikin Sipon kepincut hati dengan Thukul. Selain karena mereka sama-sama menyukai aktivitas membaca dan menonton teater, juga karena Sipon melihat Thukul punya cara lain dalam memandangi tiap persoalan.

Bagi Sipon, Thukul memiliki cara berpikir yang jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Ini terkait dengan puisi-puisi Thukul yang berisi sekumpulan gugatan buat penguasa. Bahwa teman-teman mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik, tukang parkir dan penarik becak, bukanlah karena perkara takdir semata, melainkan mereka bekerja seperti itu disebabkan pembagian ekonomi yang sangat tidak adil, sehingga menciptakan jurang teramat lebar antara golongan si miskin dan si kaya; semacam eksploitasi dan perampasan hak-hak kehidupan layak. Sementara penguasa makin getol saja menggelembungkan kekayaannya, rakyat banyak hidupnya malah kian tersisih.

Tentu saja, Thukul tidak sedang berteori. Ia merasakan sendiri kehidupan pahit sekaligus keras ini. Beragam puisinya adalah jeritan hatinya, fragmen kehidupan dari lingkungan sekitar.

Ia berpuisi bukan berdasar dari pengalaman melihat saja, melainkan ia merasakannya sendiri, menanggungnya sendiri. Puisi yang lahir dari tangannya berasal dari tubuh yang sakit. Tubuh yang diterjang penderitaan hidup dan hancur dikebiri oleh tangan jahat kaum penguasa.

Di sinilah Thukul sebagai seorang yang selalu gelisah. Pribadi yang getir ketika bersitentang dengan kesewenang-wenangan. Di sinilah Sipon masuk ke dalam kehidupan Thukul. Dan keduanya bersikap.

Untuk soal ini, Sipon mengenang dengan sebuah canda, “Mungkin aku menyalahi takdir ya, ha..ha..ha…”

Karena semasa pacaran dengan Thukul, Sipon kerap diingatkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Temannya pernah bilang, “Kamu jangan dekat-dekat dengan Thukul, kamu nanti menyesal.” Ia heran. Dalam batinnya, “Kok nggak boleh dekat sama Thukul. Thukul itu punya masalah apa?” Bahkan almarhum ayahnya, Atmojuhari, melarangnya untuk berhubungan.

Sipon tambah tidak mengerti. Pikirnya, “Lho, Thukul itu tidak ngapa-ngapain kok!”

Sampai suatu ketika Thukul melamar Sipon. Thukul bilang, “Maukah kamu jadi istriku?” Sipon tergeragap, “Oh, gila kamu! Kacau kamu!” Hingga beberapa bulan lamanya, Sipon tak menanggapi lamaran tersebut.

Lain waktu, saat sedang tidak punya pekerjaan, Thukul pernah berkata, “Aku itu sulit cari pekerjaan.”

Sipon lalu menanggapi, “Tidak ada yang sulit kalau ada niat. Kerja apapun bisa kalau ada niat.”

Thukul kemudian jadi tukang pelitur. la menunjukkan kerjaannya itu kepada Sipon. Sipon pun tambah kagum.

Ada peristiwa lucu yang bikin Sipon semakin bersimpati dengan Thukul. Waktu itu mereka tengah latihan teater. Cerita teaternya tentang raja-rajaan Jawa. Thukul yang jadi rajanya. Ia diharuskan untuk berteriak lantang. Padahal Thukul tidak bisa mengucapkan huruf ‘r’. Ia dikenal sebagai penyair cadel.

Teman-temannya kemudian mengisenginya. Sipon disuruh mendengarkannya dari jarak jauh. “Coba dengarkan. Kamu dengar nggak suaranya?” Sipon lihat Thukul di kejauhan bersusah-payah mengucapkan: “Akulah Raja Jawa… Akulah Raja Jawa…”

Melihat ini, Sipon menimpali ke temannya, “Gila! Dia bisa mati.” 

Awak teater sudah istirahat, tapi Thukul masih saja berteriak-teriak. Timbul di benak Sipon rasa kasihan. Ia lantas menghampiri Thukul.

“Udah kita keluar aja. Kita makan ke manalah,” ajak Sipon. Lalu mereka makan di warung. Thukul merasakan sikap Sipon yang amat perhatian. Secara bersamaan, Sipon juga begitu kasihan dengan Thukul. Benih cinta pun kian berkembang.

Sipon mengenang, “Lama-lama aku kasihan. Karena setiap orang membenci dia. Setiap orang harus menjauhi dia. Mungkin di situ ya, karena kasihan itu, saya punya ehmmm… empati. Masak sih tidak boleh bergaul dengan Thukul?”

Ilustrasi: HIMMAH/Pandu Lazuardy P.

Akhirnya mereka menikah. Pada saat acara pernikahan itu, rupanya teman-teman Thukul yang seniman jalanan datang menghadiri. Mereka datang dari banyak tempat. Ada yang dari Solo, Klaten, dan yang paling banyak dari Yogyakarta. Kota-kota ini pernah Thukul sambangi sewaktu mengamenkan puisi-puisinya.

Sipon terperanjat alang-kepalang melihat teman-teman suaminya itu. Bukan karena mereka melakukan tindakan macam-macam, tapi karena penampilan mereka yang aneh-aneh.

“Ya…, pengamen Malioboro itu dua… teng semua ke sini pas mantenan itu,” aku Sipon tergelak.

Sesaat sebelum pernikahan, Atmojuhari memberi restu kepada Sipon. Merasa dulu bekas tentara pejuang, Atmojuhari amat paham soal aktivitas calon menantunya ini. Dirasa rentan bagi kehidupan keluarga anaknya di tengah kekuasaan model Orde Baru.

Atmojuhari berpesan, “Udah, ini pilihan kamu sendiri. Aku nglihat dari suamimu itu yang harus kuat kamu. Yang bisa memilih itu kamu. Kalau suamimu itu orang politik, kamu siap ditinggal pergi. Tapi kalau suamimu seorang seniman, kamu siap mempunyai suami sebagai orang gila.” 

Sipon terperangah. “Mati! Padahal dua-duanya…”

Ia terngiang terus akan ucapan itu. Sipon agak bingung. “Wah ini dua-duanya…,” pikirnya, lagi. Ia lantas memberitahu pesan ayahnya itu kepada Thukul. 

“Wah…, nggak lah, aku bukan siapa-siapa,” timpal Thukul singkat.

Hingga kini nasehat tersebut selalu diingat Sipon. 

“Mungkin sampai mati pun aku ingat terus,” ucap Sipon.

Masa yang Terbelah

Sipon sungguh bahagia menjalin kehidupan rumah tangga bersama Thukul. Ia bangga punya suami seperti Thukul. Bangga bukan sebatas suaminya bisa membikin gerah kaum penguasa, namun sosok yang amat dikenalnya ini jika berada di tengah keluarga begitu penyayang, sangat pengertian, dan penyabar.

Bersama kedua anaknya, Sipon merasakan betul kasih sayang yang diberikan Thukul. Bagi Sipon, Thukul adalah suami yang baik, pengertian, dan bertanggungjawab kepada anak-anaknya. Karena itu, ketika Thukul jauh dari rumah semasa pelarian hingga perlahan-lahan menghilang tak tentu rimba, ia dan kedua anaknya sangatlah terpukul.

Benar-benar terpukul. Seperti ada palu hitam besar menggodam jantungnya. Melumat kehidupan yang telah ia bangun sedari lama tiba-tiba jatuh berkeping. Serasa dunia di selingkar kehidupannya menyempit, semakin menyempit, hingga sejenak ia tak bisa bernapas lega, sesaat ia tak mampu berpikir jernih.

Waktu kemudian terbelah: ada masa sebelum kehilangan, ada masa sesudah kehilangan. Namun kesemuanya menerbitkan ketidakwajaran. Menghujani segenap perasaan yang hambar dan sakit yang tak tertahan. 

Sipon mencatatnya sebagai kenangan-kenangan.

la ingat betul, setiap kali Thukul pulang ke rumah setelah pergi berhari-hari ke suatu tempat yang ia sendiri kadang tak tahu benar untuk apa, selalu yang hadir di ambang pintu adalah sepotong pakaian kumal yang membungkus tubuh kurus suaminya itu.

Ia melihat Thukul begitu capai. Ia melihat pakaian yang melekat di sekujur tubuh suaminya dan pakaian lain yang dibawa dalam kepergian itu seperti berhari-hari saja tak pernah tersentuh air.

Dengan sigap dan ramah, Sipon lantas menyiapkan air panas dan menuangkannya ke dalam bak cucian yang sebelumnya telah terisi air dingin hingga air itu terasa hangat. Barulah kemudian ia merendam semua pakaian suaminya itu yang telah lama bersahabat dengan udara kotor di luar sana, agar kuman-kuman yang menempel di kain-kain pakaian itu lebih cepat terangkat.

Dengan cara yang sama pula, bak mandi yang berisi air hangat telah ia siapkan. Suaminya lantas mandi. Selesai membersihkan sekujur tubuh yang kotor, yang beraroma keringat bercampur daki, suaminya jatuh tertidur. Lelap sekali. Mirip orang yang tak mengenal nikmatnya tidur sekian lama.

Di sela-sela terjaga, suaminya tiada henti menulis. Isi tulisan-tulisan itu bercerita tentang penderitaan. Lewat tulisan itu, Sipon tahu ke mana saja suaminya pergi.

Urip awak dhewe wis rekoso (hidup kita sendiri sudah susah), nulis penderitaan kayak gitu-gitu lagi,” pikir Sipon, separuh bercanda.

Di sela-sela tidurnya, Thukul lantas membagi pengalaman berpergiannya. Bercerita tentang penderitaan yang ia saksikan dan rasakan. Sipon tak tahan mendengarnya. Tubuhnya tak kuat ia gerakkan.

Suatu kali suaminya menangis kala bercerita itu.

Saat itu, lebih dari sebelumnya, Sipon melihat suaminya sangat capai. Sembari terisak di hadapannya, suaminya berkisah bahwa di pelosok sana ada banyak orang yang makan masih pakai garam dengan nasi jagung, banyak dari mereka yang tidak sekolah dan kekurangan makan, padahal jaman sudah merdeka. Dari kondisi yang diceritakan itu, Sipon paham. Bahwa penderitaan buruk yang dijumpai suaminya itu harus dimengerti setiap orang; bahwa pemerintah selama ini selalu berbohong di tiap siaran tiap pertemuan tentang Indonesia yang kaya raya.

“Dari situ,” ungkap Sipon, “suamiku sosial banget.”

Sewaktu Thukul memperoleh uang dari aktivitas berkesenian, meski tak seberapa, uang itu pun dipotong. Diberikan sebagian uang itu kepada Sipon. Thukul bilang jujur kepadanya, sebagian lagi akan digunakan buat membeli kertas bagi anak-anak, entah yang berada di sekitar lingkungan rumah maupun di tiap tempat yang jadi persinggahan aktivitasnya. Sipon senang mendengarnya. Karena ia nilai itu baik. Sebuah tindakan yang sangat mulia.

Rasa solidaritas Thukul itu tidak kemudian membuatnya lupa dengan rumah. Malahan dia rajin melakukan apa saja yang kiranya bisa meringankan beban dan menyenangkan hati Sipon. Padahal semasa masih lajang, Thukul pernah bilang tak ingin direpotkan pada urusan kerja-kerja rumah.

Kenyataannya, ketika telah menikah, Thukul dengan sangat murah hati membantu Sipon mencuci pakaian, menyapu dan membersihkan rumah, serta memandikan anak-anak.

Sipon bilang, “Aku enak punya suami dia.” Selanjutnya ia berucap, “Kita saling menghargai bahwa itu kewajiban kita.”

Suatu malam, di saat Sipon tengah mengandung Fajar, karena tahu kebiasaannya yang suka ngidam malam-malam, suaminya pergi diam-diam membeli makanan. Setelah dapat nasi angkringan dan segelas air hangat, Thukul kembali dan membangunkannya, lantas menyuruhnya untuk cepat makan.

Sipon pun lantas makan dengan kedua mata yang masih terpejam-pejam. Nasi angkringan, yang ukurannya cuma sekepal tangan dan terbungkus daun pisang, tanpa sambal. Padahal orang ngidam biasanya amat suka makanan pedas. Rupanya suaminya ini hati-hati sekali akan tiap makanan yang masuk ke perutnya, sebab hal itu bisa berpengaruh terhadap kondisi si janin.

Ini akhirnya berlanjut pada pembawaan si bayi. Kalau Fajar masih sering sakit-sakitan sampai usia kelas dua sekolah dasar. Kalau Wani, karena sempat lebih lama mencicipi kebersamaan dengan ayahnya dan waktu dulunya terbiasa dimanja, punya kekebalan tubuh yang agak rentan sampai sekarang. Terkena kesiur angin sedikit saja si sulung sudah menggigil dingin. Sedang bagi si bungsu, bepergian ke mana pun dengan naik bus dan digendong ibunya sambil mengayuh sepeda dijemur panas matahari, dirasa santai saja.

Anak-anak inilah yang sering di saat-saat tertentu ingin sangat bertemu dengan Thukul.

Semisal Desember menjelang perayaan natal. Mereka kerap mengajak ibunya untuk pergi ke mana saja asalkan nantinya mereka bisa berjumpa.

Maka, tiap Desember itu Sipon selalu bilang kepada anak-anaknya, “Kita nggak mungkin ketemu bapak lagi. Walaupun orang bilang bapakmu masih, bapakmu belum meninggal, tapi nggak jelas di mana dia. Kita harus menerima saja kenyataan ini, bahwa kita memang harus bisa mengerti, memahami….” 

Sipon melanjutkan, “Kita hanya kita, tanpa bapak. Jadi hanya ada kamu dan aku. Aku ibumu, kamu anak-anakku.” Terkadang, ketika dalam kondisi kelelahan hebat yang amat berat, Sipon tak kuat memahami semua peristiwa yang menimpa suaminya. 

Kenapa suaminya mesti diburu-buru? Kelakuan semacam apakah yang telah diperbuat? Kekuasan macam apa yang tega menyebabkan suaminya mesti berlari sejauh mungkin dari rumah?

Ia kenal sosok suaminya melalui sesuatu yang terasa dekat; sebuah kesan mendalam dari tindakan-tindakan sederhana yang tercipta di rumah. Dan tiba-tiba saja, seakan tanpa isyarat, ihwal semacam itu lenyap, hilang, menanggalkan bekas berupa lubang hitam yang menganga lebar di hatinya yang tak mungkin bisa terbayar tak dapat tertebus, bahkan meski lewat pergantian kekuasaan.

“Demi Allah, aku nggak ngerti. Yang aku tahu, aku adalah ibu rumah tangga. Suamiku aktivis. Seniman. Yang aku tahu gitu, karena aku kenal dia sudah seperti itu. Yang aku tahu dia baik di rumah.”

Sejatinya, Sipon harus melewati berbilang tahun untuk mencapai pada batas kesimpulan mengenai kekuasaan sekejam apakah yang menghilangkan suaminya. Keinginan seperti apakah yang diidam-idamkan Thukul.

Suatu hari sewaktu masih bersama, suaminya pernah ditangkap gara-gara menggelar acara kesenian yang isinya menggugat pemerintah. Sipon datang ke penjara untuk menjenguknya.

Batin Sipon, “Apa salah dia ditangkap?” 

Jauh setelah kejadian itu, Sipon kemudian menyadari.

“Ternyata, setelah lama dan dipelajari sampai sekarang, saya tahu bahwa dia menginginkan sebuah demokrasi.”

Masa pelarian suaminya, yang dilanjutkan dengan masa kehilangan, hanya dipisahkan oleh sekeping pintu rumah. Sebuah rumah di mana Wani dan Fajar lahir, di mana anak-anak mengenali dunia kali pertama, dan di mana Sipon bersama Thukul menghidupi mereka dengan penuh ketekunan.

Keduanya menumbuhkan kesadaran pada mereka bahwa rumah adalah selasar tanah lahir, tempat yang menarik-narik si penghuninya agar bersicepat pulang ketika berada di luar.

Dalam puisi-puisi Thukul sewaktu ia jauh dari rumah, kesan kerinduannya akan tempat yang tetap itu terasa sekali. Ia sangat ingin untuk kembali, meski hanya sesaat. Kemewahan untuk jadi diri sendiri di sebuah masa kekuasaan yang penuh tipu daya rupanya amat mahal harganya. Menjadi diri sendiri adalah semacam tindakan subversi. Meski kemudian harus memakai baju dan celana lain, nama dan identitas lain, buku yang dibaca dan bahan percakapan lain, namun Thukul tetap menolak untuk patuh.

Sekeping pintu tak hanya sekadar pelengkap; satu dari rangkaian bagian yang menyusun sebuah tempat bernama rumah. la tidak hanya berfungsi sebagai pengusir udara jahat, debu jejalan, atau penghalang tetamu yang punya niat melukai si penghuni rumah. Sekeping pintu adalah juga pemisah; sesuatu yang menandakan mana yang privat dan yang publik.

Tetapi semua-muanya itu telah dihancurkan oleh sejenis hantu terkutuk bernama kekuasaan; kekuasaan yang bertabiat buruk melenyapkan warganya dengan cara mana suka, yang gemar mengontrol siapa saja atas dasar phobia, tak peduli dari orde apa saja.

Di titik inilah, saya ingin menyitir fragmen alegoris mengenai makna sebuah rumah; tentang pemahaman liris yang mengandung ironisitas yang amat banal antara kehidupan di dalam dan luar rumah.

Beginilah bunyinya:

“…dunia di dalam rumah dan dunia jalanan terpisah hanya oleh sekeping pintu… Sebuah rumah memungkinkan seseorang makan tanpa dilihat orang lain–dan makanan yang dimakan tanpa dilihat orang lain terasa enak, serta sanggup mengajarkan kebijaksanaan. Sebuah rumah memberi rasa aman dari keadaan yang tetap, memberi jaminan bahwa penghuninya selalu diterima oleh masyarakat… Sebaliknya: jalan. Jalan terasa sebagai sebuah dunia yang goyah, berbahaya, penuh kejadian, palsu bagaikan kaca–tempat suci umum untuk mencuci kain-kain semua penduduk yang terkotor.”

Saya mendapati rangkaian kalimat itu dari nobelis sastra asal Guatemala, Miguel Angel Asturias, melalui sebuah novelnya, El Senor Presidente. Novel ini diterjemahkan menjadi Tuan Presiden dari edisi bahasa Inggris, Mr. President, diterbitkan Pustaka Jaya, 1985.

Bagi saya, Asturias tidak sedang bermain-main dalam ruang hampa. Sebab, meski Tuan Presiden bercerita mengenai suatu negeri dari kawasan Amerika Latin yang diperintah seorang pemimpin diktatorian, namun ia bisa jadi anasir menarik bagi sebuah pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Seorang presiden yang gemar benar menguapkan sesuatu yang berbau menentang. Kaum oposisi diberangus, arus informasi warga diatur dengan membungkam suara kebebasan pers, lalu militer dibariskan rapat sembari memacak mata siaga di tiap tempat tiap wilayah.

Sementara itu ia membangun tembok kukuh di sekeliling kekuasaannya. Dan hanya kerabat juga menteri-menteri yang dipercaya olehnya saja yang boleh masuk ke lingkaran tersebut. Dari tempat semacam itu, bertahun-tahun lamanya, kekayaan dari hasil berkongsi serta menguras keringat jerih payah kaum papa ditimbun, bertumpuk-tumpuk, dan mirip kue dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan saudara, sejawat dan kenalan yang loyal.

Suami Sipon kemudian berpuisi:

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
(Bunga dan Tembok, Solo 87-88)

Orde Baru hancur, memang. Namun ia memakan korban. Amat banyak.

Mei 1998 itu, Soeharto limbung. Menyusun kekuatan militernya. Lalu lewat Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dipimpin menantunya, Prabowo Subianto, membentuk sebuah regu bernama Tim Mawar. Tim ini kemudian menculik orang-orang pro-demokrasi, sebagian lantas dilenyapkan, sebagian hilang tak berjejak.

Data KontraS menyebutkan, sepanjang periode 1997/98 setidaknya 23 orang telah diculik. Sembilan orang telah kembali, satu ditemukan meninggal, dan selebihnya dinyatakan hilang, termasuk Thukul.

Di akhir tahun 1998, Mahkamah Militer menggelar pengadilan militer untuk mengungkap kasus penculikan disertai penghilangan itu. Namun rupanya hanya perwira muda Kopassus saja yang diadili. Sementara perwira dari golongan elit, yang jelas-jelas merancang kebijakan membentuk Tim Mawar, melenggang seenaknya.

Muncullah kemudian Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang beranggota para jenderal, untuk menanggapi kesimpang-siuran itu. Tetapi kejadian berikutnya mereka dicopot dari jabatan dengan alasan yang tak jelas. Seolah-olah kejahatan terkutuk itu terjadi karena faktor kebetulan semata. Seakan-akan pelakunya hanya dilekatkan pada sekumpulan orang bernama “oknum”.

Kini telah dua pemilu tergelar, sudah tiga presiden berganti, dan telah banyak sederetan peristiwa penting politik yang berkejar-kejaran dalam rentang masa itu.

Pada pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan Abdurrahman Wahid lewat impeachment di parlemen, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terbentuk. KKR ini digunakan buat menyelesaikan beragam perkara kejahatan politik masa lalu. Bukannya disambut hangat, KKR ini malah memunculkan beragam tanggapan negatif. Karena dengan memakai KKR ini, sangat mungkin para aktor dan lembaga yang terlibat bisa terhindar dari kejahatannya. Rantai impunitas mudah saja terjadi.

Kata Sipon, “Setiap ada pengulangan baru akan ada korban baru. Ada pengulangan baru, ada korban baru. Selalu ada kayak gitu. Paling tidak kan saya melihat keseriusan mereka untuk menemukan, mencari fakta-fakta walaupun belum ditemukan.”

“Apa Mba Sipon tidak capai bercerita tentang suami Mba?” Tanya saya.

“Ya…, karena aku mikirnya kaya gini: jangan sampai mereka mengalami hal-hal seperti saya. Karena imbasnya, kalian sendiri. Karena kalau aku punya pengalaman kayak gini aku diam, aku malah nggak suka. Mungkin bisa juga orang lain yang nggak mau menceritakan itu, tapi kalau ada korban yang lain lagi, bagaimana? Kan lebih parah itu…”

Masa Bertahan dan Berusaha

Kini sudah tujuh tahun berlalu selepas Mei 1998. Belum banyak kemajuan berarti yang didapat. Sipon masih tetap berusaha mengetuk pintu-pintu keadilan.

Di rumahnya yang kecil di Kampung Kalasan, sebuah pemukiman padat di jantung Kota Solo, ia selalu berusaha, berusaha, dan berusaha.

la membuka usaha menjahit. la taburi kesehari-hariannya dengan menyibukkan diri lewat kerja. Ia melampiaskan kekesalan dan kegundahan serta rasa sakitnya lewat kerja. Ia memohon kepada Tuhan supaya selalu diberi pekerjaan dikasih kekuatan. la tak ingin kekecewaan terhadap orang-orang yang dirasa telah bikin hidupnya menunggu yang berlarut-larut itu berdampak pada kedua anaknya.

Ia bekerja untuk membiayai Wani dan Fajar. la masih punya tanggung jawab kepada mereka. Ia tak ingin terus-menerus diam dan menangisi sesuatu yang lewat. Ia kuatkan jiwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, minta bantuan untuk dibimbing, diarahkan, agar tidak selalu bingung dan bingung.

16 Desember 2004 silam, saat kami datang ke kediamannya, Sipon terlihat sering mengumbar tawa. Ia bercerita, berkisah, tentang kenangan-kenangan, tentang hari-hari lewat, tentang suatu masa yang terbelah, tentang waktu sebelum dan sesudah suaminya hilang.

Sesekali ucapannya mendadak terhenti. Sesekali melaju cepat. Sesekali sepasang matanya menerawang. Sesekali wajahnya lepas, berseri, lalu terhenti, dan ia kemudian tergelak-gelak.

Rumahnya kini diberi bilik dari kayu tipis, membagi ruangan depan dan dalam. Di ruangan depan itu kami berempat duduk di atas selembar karpet merah menutupi sebagian lantai bersemen.

Ada lukisan wajah suaminya terpasang menempel di tembok. Ada sosok suaminya berupa patung perunggu, pemberian pematung Dolorosa Sinaga, di atas meja kayu kecil di sudut ruangan.

Suaminya itu dipahat tengah menelengkan muka ke atas, dengan mulut terbuka, menatap lembaran kertas yang terpegang oleh salah satu tangannya dan tangan lainnya mengepalkan tinju ke udara. Seperti tengah memekik. Seperti tengah menggugat.

Lalu kursi-kursi merapat ke tembok di ruangan yang sempit itu. Lalu seperangkat alat jahit terpacak kaku membelakangi pintu rumah yang terbuka lebar itu. Ada gundukan kain-kain bekas jahitan dekat pintu, di muka lorong, di mana rak buku memanjang berdiri di dinding lorong tersebut.

Buku-buku yang berderet dan berserak itulah salah satu benda istimewa Thukul.

Kenangan-kenangan bergulir. Kenangan-kenangan mengendap. Kenangan-kenangan melekat di tiap-tiap benda di rumah itu.

Tujuh tahun berlalu? Itu masih bisa dihitung jari, bukan?!

Penulis: HIMMAH/SF. Salam

Reporter: HIMMAH/Nugroho Nurcahyo, Tri Atika Wijaya, dan Adhitya Awan

Pengalih media: HIMMAH/Zalsa Satyo Putri Utomo dan Pranoto

Skip to content