Ambisi Israel di Timur Tengah

*Naskah “Ambisi Israel di Timur Tengah” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 01 /Thn. XV/1981 halaman 54. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk melihat upaya Israel menguasai Timur Tengah. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.

Salah satu keberhasilan politik Imperialisme Barat di Timur Tengah adalah pencaplokkan tanah-tanah milik bangsa Arab oleh orang-orang Yahudi, dan berdirinya negara Israel pada tahun 1948, yang didukung oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Belanda, dan negara-negara lainnya.

Sejak kepemimpinan Perdana Menteri dan Presidennya yang pertama, David Ben Gurion dan Dr. Chaim Weizmann sampai sekarang, Israel terus menerus, baik secara terselubung maupun terang-terangan, berusaha keras untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan jalan merampas dan menduduki wilayah-wilayah bangsa Arab. 

Peperangan antara Arab-Israel tidak tidak dapat dibendung. Di antaranya pada konfrontasi militer antara kedua negara pada tahun 1956, pasukan Israel berhasil menduduki wilayah jalur Gaza. Dan pada tahun 1967 meletus lagi enam hari, yang secara gemilang Israel berhasil merampas tanah-tanah Arab yang sangat luas. Sehingga Israel bertambah lebih dari 300%, seperti gurun Sinai milik Mesir, tetapi barat sungai Yordan milik Yordania, dan jalur Gaza milik Suriah.

Para pemimpin Arab secara intensif dan amat rahasia berunding menyusun strategi baru untuk mengadakan serangan militer besar-besaran terhadap Israel, dalam rangka memulihkan citra dan nama baik bangsa Arab untuk menebus kekalahan perang 1967. Maka meletuslah perang Arab-Israel pada tahun 1973, yang terkenal dengan “Perang Badr Modern”, menurut versi Mesir. Perang “Yom Kippur”, menurut versi Israel. Dan “Perang Oktober”, menurut versi Amerika Serikat.

Kalau saja Amerika Serikat tidak mensuplai dengan segera senjata-senjata mutakhirnya kepada Israel, maka negara Yahudi itu akan berbalik pada kondisi sebelum tahun 1948. Kendatipun demikian, dapatlah dikatakan bahwa secara moral-psikologis kemenangan ada di tangan pasukan Arab, dan mereka telah memulihkan kembali nama baik bangsa Arab di forum dunia internasional.

Kekuatan yang Berubah

Israel merupakan negara kecil di Timur Tengah, yang dikelilingi oleh negara-negara Arab front depan, seperti Libanon dan Suriah di sebelah Utara dan Mesir serta Yordania di sektor barat dan timur, yang semuanya itu merupakan musuh-musuh tradisionalnya.

Tetapi setelah diadakannya Perjanjian Perdamaian Camp David, tanggal 5-7 September 1978, Israel telah menarik Mesir menjadi kawannya, yang semula merupakan musuh utamanya yang paling kuat dan salah satu negara Arab yang memiliki potensi manusia, politik dan militer yang besar. Hal ini patut kita catat karena sepertinya Israel setahap telah berhasil mencapai sasaran strategisnya; dan mengurangi beban politik dan militernya di Timur Tengah khususnya, dan di forum internasional secara keseluruhan.

Sebelum ditandatanganinya Perjanjian Camp David tersebut, Mesir menempatkan pasukan-pasukan tempurnya di front depan yang berbatasan langsung dengan Israel. Angkatan Bersenjatanya selalu dalam keadaan siap tempur dan kewaspadaan yang tinggi, kalau sewaktu-waktu Israel secara mendadak menggempur dan mencaplok lagi wilayah Mesir yang mudah terjangkau oleh gempuran eskadron-eskadron Israel dan pemboman skuadron-skuadron tempurnya. Begitu juga Israel terus mendeteksi gerak langkah pasukan Mesir dengan Instalasi Radarnya yang paling mutakhir yang berpangkal di gunung Umm Hashiba berketinggian 2500 kaki. Dengan radarnya yang ultra modern itu, Israel dapat mengetahui setiap serangan yang akan dilakukan oleh musuh, sehingga Angkatan Bersenjata Israel dapat sedini mungkin menyerang musuh terlebih dahulu.

Masjidil Aqsa sebelum diduduki secara paksa dan tidak sah oleh Israel jamaahnya sampai membludak ke halaman masjid. Sekarang konon jadi tempat berdansa. Sumber: Pelita Himmah

Oleh karena itu dengan adanya Perjanjian Perdamaian Camp David, maka antara Israel dan Mesir secara kontemporer tidak akan terjadi lagi konfrontasi militer frontal, kendatipun tidak dapat dikesampingkan adanya konfrontasi politis yang terselubung di antara kedua negara tersebut.

Dengan demikian pasukan Mesir yang semula ditempatkan di daerah perbatasan dengan Israel, dapat ditarik ke wilayah front barat yang berbatasan langsung dengan beruang Afrika, Libia yang dianggap oleh Anwar Sadat sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Mesir. Karena ambisi politik Muammar Khadafi ingin menyatukan Libya dengan Mesir dalam satu kesatuan politik dan militer yang utuh. Tetapi gagasan Khadafy ini ditolak mentah-mentah oleh Sadat.

Dengan sikap Politik Mesir yang kaku dan mengundang kecaman pedas dari sahabat-sahabatnya bangsa Arab, maka kekuatan politik dan militer di Timur Tengah telah berubah secara tajam. Dan ini menuntut kepada negara-negara Arab untuk menyusun kembali dari nol strategi perjuangan baru melawan Israel. Sudah barang tentu langkah inipun mengundang perpecahan yang kronis di dalam tubuh bangsa Arab. Kalau konfrontasi militer dan rivalitas politik di antara para pemimpin negara Arab terus memuncak dan menajam, maka ini berarti mempercepat penghancuran dunia Arab itu sendiri; dan mempercepat bagi terwujudnya sasaran strategi politik nasional Israel di Timur Tengah.

Langkah Israel

Bagi Pemerintah Israel sudah cukup merasa lega dengan adanya ikatan perdamaian dengan Mesir, karena berarti beban politik dan militer sedikit berkurang. Dan seperti telah disinggung di atas bahwa ini pun berarti selangkah lebih maju bagi terealisasinya sasaran strateginya di Timur Tengah untuk memecah belah dan menghancurkan bangsa Arab.

Kini konsentrasi militer secara khusus tidak ditujukan terhadap Mesir, tetapi sasaran strategis militernya diarahkan terhadap negara-negara Arab yang berpotensi ekonomi, politik dan militer yang tinggi, seperti Suriah, Arab Saudi, Yordania, Irak dan Libia, walaupun negara ini cukup jauh dari jangkauan militer Israel.

Sudah dari dahulu Israel mengincar Libanon sebagai batu loncatan untuk mengepung dan menguasai Yordania, Suriah dan Irak. Para ahli politik dan strategi militer Israel menyadari sepenuhnya, bahwa kondisi dalam negeri Lebanon amat labil dengan adanya perang saudara antara golongan Sayap Kiri Muslim dan Sayap Kanan Kristen; ditambah lagi dengan bercokolnya serdadu-serdadu Suriah sebagai pasukan perdamaian Liga Arab. Maka peluang untuk ikut “andil” dalam kemelut Libanon itu amat besar bagi Israel, dengan dalih untuk menyelamatkan masyarakat Kristen dari gempuran-gempuran pasukan Sayap Kiri Muslim, Gerilyawan Palestina, dan tentara-tentara Suriah yang cenderung memihak golongan Sayap Kiri Muslim. 

Keikutsertaan pasukan dalam kemelut Lebanon itu, berdasar atas alasan politis dan militer berjangka panjang.

Dari segi politis, Israel memandang pasukan Perdamaian Suriah sudah tidak berfungsi lagi sebagai pasukan pelerai, karena dianggapnya terus menggempur kantong-kantong golongan Kristen di Libanon Selatan, di bawah pimpinan Mayor Saad Haddad. Dari alasan ini Israel bisa menunjukkan kepada masyarakat internasional, bahwa ikut campurnya pasukan Israel hanyalah “pertolongan manusiawi” untuk menolong saudara-saudaranya di Lebanon.

Dari sudut militer, Israel bermaksud untuk menggempur basis-basis militer Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan mengenyahkan mereka dari bumi Lebanon. Karena wilayah Lebanon dijadikan sebagai pangkalan utama Gerilyawan Palestina untuk menyerang daerah-daerah pemukiman Yahudi di sebelah Utara.

Impian Israel Raya

Kalau Lebanon sudah berada dalam cengkeraman kuku Zionis Israel, maka secara geopolitik dan geostrategi tidak akan terlalu sulit bagi Israel untuk menyerang dan menguasai negara-negara Arab sekitarnya. Dan bila momentum yang tepat telah tiba, maka peluang untuk manuver politik dan ekspansi militer terhadap Yordania, Arab Saudi, Suriah dan Irak terbuka lebar. Tetapi tidak berarti serangan Israel itu serempak ditujukan terhadap negara-negara Arab tersebut, hanya saja yang menjadi sasaran pertama adalah Yordania sebagai jalan pintas untuk mencaplok Arab Saudi.

Strategi politik Israel ini dikuatkan oleh pendapat Shalih Masud Abu Yasir dalam bukunya “Jihadu Sya’bi Falestin”, dia mengatakan bahwa Israel berambisi untuk menciptakan “Israel Raya” yang membentang dari sungai Nil di Mesir sampai ke sungai Euphrat di Irak. Negara serta wilayah Arab yang harus dirampas adalah Libanon, Yordania, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan beberapa wilayah Mesir, seperti gurun Sinai, kota Ismailia, dan Iskandariyah.

Persatuan Arab Terganggu

Perjanjian Camp David mempunyai efek politis yang luas dan tajam di kalangan negara-negara Arab. Sehingga akibatnya dunia Arab Arab terkotak-kotak dalam tiga kelompok yang eksklusif. Kelompok pertama, adalah Golongan Arab Radikal yang dimotori oleh Libya, Suriah dan PLO. Golongan radikal ini dengan lancang dan tandas mengakui eksistensi dan hak hidup Israel di Timur Tengah, dan mereka pun amat anti Amerika Serikat serta tidak mau berkompromi dengan Pemerintah Washington, yang dianggapnya sebagai penyokong dan pembela gigih Zionis Israel.

Kelompok kedua, adalah “Golongan Moderat” yang dipelopori oleh Arab Saudi, Yordania, Yaman Utara, Kuwait dan negara-negara Arab Teluk Parsi yang kaya minyak. Golongan ini pun berapi-api menentang keras Israel, tetapi mereka mau berkompromi dan bersahabat dekat dengan Amerika Serikat, kendatipun negara super power ini merupakan tulang punggung kekuatan militer, politik dan ekonomi Israel.

Kelompok yang ketiga, adalah “Golongan Super Moderat” yang mau mengakui dan menghormati eksistensi serta hak hidup Israel di Timur Tengah, sekaligus juga mau berkompromi dengan Amerika Serikat. Golongan ini dipimpin oleh Mesir, Sudan dan Maroko. Kendatipun kedua negara ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi mereka secara diam-diam menyokong langkah Mesir ini. Malahan Raja Hassan dari Maroko-lah yang membantu sepenuhnya pertemuan bersejarah yang kontroversial antara Anwar Sadat dan Manechem Begin. 

Bagi Israel, Perjanjian Camp David merupakan kemenangan politis yang besar, karena secara tidak langsung telah mengotak-kotak dunia Arab dalam kelompok-kelompok yang labil dan konfrontatif. Dan Israel pun berbangga hati karena tanpa sebutir peluru pun, mereka telah mengoyak-oyak tubuh angsa Arab dalam kepingan-kepingan nasionalisme yang rapuh.

Rencana organisasi Zionis Sedunia yang diajukan kepada Konferensi Perdamaian Paris 1919. Sumber: Pelita HIMMAH

Bagi Mesir Perjanjian Perdamaian itu harus dibayar dengan mahal. Memang Mesir secara bertahap akan menerima kembali wilayah-wilayahnya yang dirampas Israel dalam perang 1967. Tetapi ada sisi lain yang amat berharga dan terhormat, adalah sahabat-sahabat Arab lainnya yang kini telah mengucilkannya secara total, baik dalam forum Liga Arab, Konferensi Negara-Negara Islam, maupun pada forum Gerakan Non Blok.

Sedangkan bagi negara-negara Arab yang menentang keras Perjanjian Camp David, memandang Mesir telah sampai pada klimaks penghianatan yang tidak termaafkan, karena telah menodai perjuangan suci bangsa Arab dalam melawan kecongkakan dan agresi Zionis Israel. Tetapi kecaman keras dari negara-negara Arab tersebut, berbeda dalam alunan dan nadanya. Nada keras dan kasar datang dari Golongan Radikal dengan corongnya Kolonel Moammar Khadafy. Sedangkan nada keras dalam alunan yang etis datang dari Golongan Moderat, yang disuarakan oleh Arab Saudi.

Sokongan Super Power

Dalam kenyataannya seperti sekarang ini, dapatlah kita catat bahwa kawasan Timur Tengah berada dalam ajang perebutan pengaruh negara-negara super power. Dua strategi global negara-negara super power tersebut, kini sudah berhadap-hadapan dalam satu titik kawasan yang rapuh dan eksplosif. Uni Soviet telah menanamkan pengaruhnya yang cukup kuat di Yaman Selatan, Libia dan Suriah. Dan Soviet pun telah menjadikan Ethiopia sebagai benteng pertahanannya di benua Afrika; juga sebagai batu loncatan bagi gerak maju pasukan Soviet untuk mengekspor Revolusi Komunismenya ke belahan benua Hitam dan negara-negara Timur Tengah.

Berpijak dari kenyataan adanya bahaya penyebaran Komunisme ke Timur Tengah, maka Amerika Serikat “berpesan” kepada Israel untuk menangkis agresi Uni Soviet; dan sekaligus menjadi negara penangkal yang dapat diandalkan bagi ambisi Soviet di Timur Tengah. Oleh karenanya Amerika Serikat tidak segan-segan mensuplai Israel dengan senjata-senjata yang paling mutakhirnya. Tetapi di balik itu ada maksud terselubung Amerika Serikat, adalah untuk mempertahankan eksistensi Israel dari kemungkinan serangan negara-negara Arab; dan untuk menyerang negara-negara Arab itu “bila saatnya yang tepat telah tiba”.

Dapatlah kita catat bahwa Israel telah menciptakan satu dimensi baru dalam dunia politik dengan memberikan konotasi yang sama pada istilahnya “mempertahankan” dan “menyerang”. Bila Israel ingin mempertahankan negaranya, maka ia harus menyerang negara lain. Dan jika Israel menyerang negara lain, maka ia berdalih untuk mempertahankan negara dan bangsanya.

Pemboman atas Pusat Reaktor Nuklir Osirak di Irak, dan pembantaian rakyat Libanon serta rakyat Palestina merupakan satu langkah mempertahankan diri, menurut Kamus Politik Israel. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai dan mempercepat sasaran strategisnya, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang, Israel tidak pernah memperdulikan seruan dan resolusi-resolusi PBB, serta himbauan masyarakat internasional.

Penutup

Dari beberapa pembahasan yang telah kita soroti, maka kita dihadapkan pada satu pernyataan, yaitu: Sudahkah Pemerintah Amerika Serikat memberi lampu hijau kepada Israel untuk mewujudkan gagasan Israel Raya yang membentang dari sungai Nil sampai ke sungai Eufrat. Kiranya masih terlalu pagi bagi kita untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti. Karena saat ini Amerika Serikat masih membutuhkan minyak dari negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi. Sedangkan kalau Amerika Serikat secara terang-terangan mendukung gagasan Israel ini, itu berarti Pemerintah Washington merestui pemusnahan enam negara Arab.

Dalam dunia politik sudah menjadi kebiasaan, bila hari ini dia kawan akrab, esok akan menjadi musuh bebuyutan. Jika saat ini dia musuh laten, hanya beberapa saat saja dia bisa menjadi sekutu utama. Kalau kini negara-negara Arab yang kaya minyak bermesraan dengan Pemerintah Washington, pada suatu kala Amerika Serikat akan mendepaknya. Ini berarti pula lampu hijau telah menyala bagi terwujudnya Israel Raya. Bisakah itu? Marilah kita to wait and see.

Penulis: A. Fadlil Munawar M.

Pengalih Media: HIMMAH/Nurhayati dan R. Aria Chandra Prakosa

Skip to content