Pita Merah dan Stigma Masyarakat Indonesia

Himmah Online- HIV/AIDS, sebuah penyakit mematikan yang muncul dan menyita perhatian dunia pada tahun 1980-an. Penyakit ini dianggap mematikan. Sel darah putih menjadi makanan utamanya. Imunitas, energi, dan konsentrasi melemah. Virus pun membiak, masuk ke dalam tubuh, hingga akhirnya membuat orang binasa.

Pada Agustus 1987, James W. Bunn & Thomas Netter melihat bahwa kasus HIV/AIDS masih asing di mata dunia. Kesadaran dan dukungan belum ada untuk HIV/AIDS. Inisiasi menghadirkan hari AIDS pun dilakukan. Hari AIDS lalu diperingati pada 1 Desember 1988 untuk pertama kalinya.

Menurut keterangan WHO, awalnya ditemukan kasus pemakaian narkoba melalui suntik yang dipakai secara bersamaan pada tahun 1980. Selain pemakaian suntik narkoba secara bersamaan, di Amerika Serikat juga marak kasus homoseksual. Penyakit ini lalu dikenal sebagai GRID atau Gay-Related Immune Deficiency. Hingga akhirnya, pada tahun 1983, penyakit tersebut mengubah namanya menjadi AIDS, sebuah penyakit yang datang dari virus HIV. 

Melalui hari AIDS sedunia, pita merah tampil sebagai simbol yang sering tampak di berbagai platform media. Warna merah pada pita yang teruntai melambangkan arti cinta dan belas kasih untuk para pengidap HIV/AIDS. Selain itu, bentuk empati juga menjadi arti yang tersimpan melalui simbol ini. 

Berdasarkan pernyataan Visual AIDS, pemilihan simbol ini didasari oleh warna yang memiliki arti ambisi untuk menggambarkan perjuangan pengidap HIV/AIDS. Cinta juga menjadi bagian dari arti warna simbol pita merah. Bentuk pita yang mudah diikuti membuat semua orang dapat memakainya. Simbol yang awalnya hanya sebuah proyek biasa, berakhir mendunia dan ditetapkan menjadi simbol resmi hari AIDS sedunia. 

Bentuk kepedulian HIV/AIDS lalu mulai dikenal oleh berbagai kalangan. Untuk pertama kalinya, pita merah ditujukan untuk vokalis band Queen, Freddie Mercury. Simbol ini digunakan dalam konser tribute-nya yang diadakan pada tahun 1992. Putri kerajaan Inggris, yaitu Putri Diana, juga menggunakan simbol yang sama dalam konser Concert of Hope tahun 1993 yang diadakan untuk memperingati hari AIDS sedunia.

Namun, dibalik arti simbol yang mencerminkan kehadiran akan cinta dan belas kasih, realita yang ada justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Stigma dan pandangan negatif  yang masih diberikan kepada para pejuang HIV/AIDS malah menjadi bentuk kehadiran yang mereka rasakan. 

Kehadiran melalui stigma yang beredar terasa begitu mencekam bagi mereka. Hal yang berbahaya dan bentuk suatu karma merupakan pemikiran yang masih melekat kuat dalam stigma masyarakat tentang penyintas HIV/AIDS.

Begitu pula di Indonesia, stigma mengenai penyakit HIV/AIDS menunjukkan kenyataan yang tidak sesuai dengan makna pita merah yang sering digunakan setiap tanggal 1 Desember. Karena hal tersebut, makna dalam simbol itu hanya menjadi formalitas semata.

Stigma masyarakat Indonesia dibuktikan melalui peringkat dunia kategori negara dengan stigma negatif tertinggi. Indonesia menduduki peringkat ke-23 dari 125 negara. Data ini diambil dari rentang tahun 1991 sampai 2017. Indonesia memiliki persentase sebesar 0,77% dalam tindakan diskriminasinya. Hal ini juga diperkuat dengan 22 kasus stigma yang terjadi menurut data terkait. 

Melalui rilis Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia, Indonesia menempati tingkatan yang cukup tinggi mengenai stigma negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Data terbaru ini menunjukkan terdapat 644 kasus stigma mengenai HIV/AIDS dari tahun 2016 hingga 2019 yang tercatat oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.

Bahkan di Kabupaten Grobogan, melalui hasil riset Universitas Indonesia, angka diskriminasi cukup tinggi dengan persentase sebesar 49,7%. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki stigma negatif yang besar terhadap pengidap HIV/AIDS. 

Stigma negatif tersebut tidak hanya sekedar berbentuk verbal, namun juga melalui tindakan atau sikap yang didapatkan para penderita HIV/AIDS. Adanya rasa tidak nyaman, sikap pengucilan, juga larangan anggota keluarga untuk berinteraksi dengan masyarakat luar menjadi bentuk diskriminasi yang dirasakan oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Kasus diskriminasi dalam lingkup keluarga ini sendiri dialami oleh para pengidap penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Hasil laporan di atas menunjukkan bahwa belas kasih dan cinta yang ada pada simbol pita merah belum sepenuhnya terealisasikan hingga saat ini. Pita merah terbukti hanya menjadi formalitas belaka, sebagai tanda bahwa seseorang turut peduli terhadap ODHA, padahal tidak.

Editor: R. Aria Chanda Prakosa

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content