Mengelola Sampah, Menepis Bencana

*Naskah “Mengelola Sampah, Menepis Bencana” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 03/Thn. XXXV/2003 halaman 40-41. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk menilik permasalahan sampah di awal tahun 2000-an, yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.

Sampah adalah masalah klasik kota. Setiap pemerintahan kota selalu saja mengalami kesulitan mengatasinya. Masyarakat harus berperan lebih besar untuk mengatasi masalah ini.

Piyungan, tempat pembuangan sampah dari wilayah Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul masih tetap tak berubah. Masih penuh dengan sampah organik dan non-organik. Itulah sampah hasil konsumsi masyarakat kota, yang tidak mau diganggu oleh kotoran yang mereka produksi sendiri. Setiap harinya, tak kurang 1.600 m3 pada musim kemarau dan 1.800 m3 pada musim hujan, jumlah sampah yang ia tampung dan olah kembali ke alam. 

“Dan TPA Piyungan memiliki waktu pakai efektif 7 tahun lagi,” ujar Kasam, MT, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (JTL UII). 

Itu terhitung mulai 2002. Kota besar terbentuk, salah satunya, oleh urbanisasi. Sementara urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya akan mengakibatkan timbulnya masalah, yakni kemacetan, polusi, dan daerah kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Hans-Dieter Evers & Rudiger Korff, dalam buku Southeast Asia Urbanism: The Meaning and Power of Social Space.

Sampah adalah salah satu sumber polusi. Untuk Kota Yogyakarta, “Produksi sampah pada tahun 2001 kita asumsikan sebesar 1.593 m3/hari. Namun, yang mampu kita angkut hanya 1.264 m3/hari saja,” ujar Suroso, Kepala Seksi Pengangkutan Sampah Kota Yogyakarta.

Hal ini terjadi akibat kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pihak Dinas Kebersihan, keindahan, dan Pertamanan (DKKP) Kota Yogyakarta. “Bayangkan saja, kita membutuhkan sekitar 40 dumptruck untuk mengangkut sampah-sampah yang ada. Namun ternyata, kita hanya memiliki 27 dumptruck dan yang berfungsi hanya 23 dumptruck,” jelas Suroso sembari menerima telepon diponselnya.

Gagasan yang disampaikan kepada setiap pemerintah kota dimanapun untuk mengatasi gangguan sampah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakatnya ini–tempat pembuangan sampah. Jika tak terkelola menimbulkan bencana telah cukup banyak. 

JTL UII misalnya, memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) agar dalam pengelolaan sampah diperlukan pendekatan sosial kultural. Hal ini sejalan dengan yang pernah ditawarkan oleh Hasan Purbo dalam Jurnal Prisma.

Ia mengatakan, pendekatan penanganan lingkungan dengan ilmu dan teknologi saja lebih merupakan penanganan lingkungan secara mekanistik-deterministik. Apalagi pihak dinas kebersihan memiliki keterbatasan dalam sarana dan prasarana pengelolaan sampah.

Masalah sampah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Kota Jakarta dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang-nya dan Kota Surabaya dengan TPA Sukolilo-nya telah memperoleh pelajaran yang cukup berharga ketika Pemerintah Daerah (Pemda) melakukan penghentian sementara operasi kedua tempat tersebut. Kedua kota itu menjadi kumuh.

TPA Bantargebang Jakarta, kini diserahkan kepada investor agar para investor tersebut dapat memanfaatkan sampah, yang berjumlah ribuan kubik terlahirkan setiap harinya. Semua itu untuk mengurangi beban pemerintah kota dalam menanggulangi sampah. Selain menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentunya.

Pemda Jakarta selama ini layak pusing karena dengan tidak terkelolanya sampah akan dapat mengganggu masyarakat yang ada di sekitar TPA. Sementara sampah yang tidak terangkut, menumpuk dan terbuang di sungai-sungai yang melintasi Kota Jakarta. Akibatnya, seperti yang terjadi awal tahun 2002 lalu, Kota Jakarta menjadi banjir. Walaupun bukan satu-satunya penyebab banjir, tetapi sampah yang tidak dibuang pada tempatnya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap timbulnya banjir.

Pemda Bantul tidak mau kalah. Walaupun sampah yang ada di TPA Piyungan tidak memberikan kontribusi terhadap kemungkinan banjir, tetapi Pemda tetap berkeinginan agar sampah-sampah yang ada di Piyungan dapat dimanfaatkan. Maka pada Oktober 2002 dirintislah usaha untuk memanfaatkan sampah tersebut.

Pemda Bantul menghubungi investor dari Australia dan Jerman. Harapannya, sampah-sampah tersebut dapat dijadikan energi pembangkit listrik dan dijadikan pakan ternak. Namun, sampai kini masih belum ada keputusan yang pasti. Menurut Bupati Bantul dalam Harian Kedaulatan Rakyat, “Hal itu sedang dibicarakan secara intensif.”

Usaha yang dilakukan oleh Pemda Bantul untuk memanfaatkan sampah yang ada di Piyungan memang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah juga. Namun, mungkin perlu ada gagasan yang lebih agresif dalam menangani sampah. Misalnya saja pengelolaan sampah dengan pemberdayaan masyarakat.

Dengan begitu, pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator, bahkan sebagai konsultan saja. Sementara, inisiatif dan pelakunya adalah masyarakat. Jadi, masyarakat juga ada andil dan bukan sebagai pihak yang diberi kemanjaan. 

“Selama ini peran masyarakat hanyalah berupa buang sampah ke tempat sampah saja. Itu pun belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat,” keluh Suroso, laki-laki yang lahir di Yogyakarta ini.

Padahal sampah-sampah tersebut bisa diolah sendiri oleh masyarakat. Misalnya saja dengan mengolah sampah dengan cara composting yang cukup menyediakan lubang pada tanah yang siap timbun atau dengan incenerator, yaitu dengan melakukan pembakaran sampah dengan mesin atau masyarakat berperan dalam memisahkan antara sampah kertas, sampah plastik, sampah mudah membusuk, dan sampah logam. 

Menurut Kasam, dengan begitu, sampah-sampah tersebut dapat dijual ke pihak-pihak yang membutuhkan. “Kalau kita menengok pengalaman di Surabaya, dari sampah plastik saja, pendapatan yang bisa diperoleh mencapai tiga juta rupiah perminggunya.”

Namun, menurut Mudjito (47), warga Jogoyudan, mengelola (red-sampah) sendiri itu sangat sulit. Sebab, tidak ada lahan untuk menimbun dan tidak ada dana untuk membeli mesin pembakar sampah. Namun saat ini, warga Jogoyudan telah membuang sampah di tempat sampah yang mereka sediakan sendiri. 

“Tiga kelompok RT di tempat kami berinisiatif untuk membuat tong sampah yang setiap harinya diangkut oleh truk sampah milik pemerintah,” ujarnya.

Namun, peran mereka dalam pemisahan sampah diakui oleh Mudjito belum dilakukan. Tampaknya, hal itu terjadi akibat masyarakat kurang mengetahui gagasan tersebut.

Sumber: DKKP Yogyakarta dan diolah oleh Redaksi HIMMAH

Berdasarkan catatan DKKP, sampah yang ada di Kota Yogyakarta selalu bertambah 5 persen setiap tahunnya (Lihat tabel di atas). Hal ini terjadi sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang tiap tahunnya meningkat rata-rata 1,7 persen. 

Hal ini dibenarkan oleh Trisnowiyono, seorang kuli sampah harian di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah Wilayah Sagan, Yogyakarta. Bersama lima rekannya, mereka selalu bekerja membersihkan sampah- sampah tersebut. “Dalam satu hari, jumlah sampah yang terkumpul di TPS Sagan bisa nyampe 2 truk,” ceritanya. Ini berarti mencapai 20 m3.

Penempatan sampah Kota Yogyakarta di TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, memang telah menjadi kesepakatan tiga kabupaten, yaitu Kab. Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Masing-masing kabupaten tersebut menyumbang sampah 6,63%, 93%, dan 0,04% sampah (Kasam, 2002).

Gangguan yang diakibatkan oleh sampah cukup merugikan masyarakat. Terutama gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungannya, gangguan terhadap kesehatan udara, air, tanah, dan gangguan sampah terhadap laju air (jika dibuang di saluran air seperti got atau sungai), serta segala kerugian ini akan diderita sendiri oleh masyarakat kota.

Dari tiga macam gangguan sampah ini saja, dampak akibat masing-masing parameter sangatlah besar. Lihat saja kejadian yang terjadi di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta sendiri. Kesehatan tubuh masyarakat terganggu, baik itu akibat udara yang tak sehat, kenyamanan penglihatan yang terganggu, dan yang lebih parahnya lagi, akibat sampah yang menggenangi dan menghambat laju air sungai. Nyawa masyarakat manusia dan hewan ternak pun melayang.

Untuk itulah, perlu ada kebijakan pemerintah yang menyentuh lapisan bawah dan bahkan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat agar masyarakat juga dapat terlibat dalam pengelolaan sampah. Bahkan dilibatkan dalam penanganan sampah yang mereka hasilkan sendiri selama ini atau sampah itu akan mengendap-endap mengotori lingkungan kita.

Penulis: HIMMAH/IB. Ilham Malik

Pengalih Media: HIMMAH/Jihan Nabilah dan Nurhayati

Skip to content