75 Tahun Kemerdekaan: Benarkah Perempuan Sudah Dimerdekakan?

Kemerdekaan Indonesia genap berusia tujuh puluh lima tahun sejak 17 Agustus 2020 kemarin. Namun benarkah semua penduduk Bumi Pertiwi telah dimerdekakan? 

Tak ada lagi kah sekat-sekat yang membatasi gerak-gerik perempuan sebagaimana yang digelisahkan oleh Raden Ajeng Kartini di masa lampau? Memang apa artinya kemerdekaan jika korban dari pelecehan dan kekerasan terus menerus disudutkan? 

Tentu saja jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini perlu menguji berbagai lini yang bersinggungan (secara langsung maupun tidak langsung) dengan kehidupan perempuan. 

Tulisan kali ini tidak akan mengulas semua lini tersebut. Hanya satu di antaranya saja yang sedang hits di lingkungan pendidikan, yakni mengenai kemerdekaan perempuan sebagai mahasiswa sekaligus korban pelecehan seksual untuk meminta perlindungan, jaminan, dan keadilan. 

Apa Artinya Kemerdekaan Jika Korban Pelecehan Terus Disudutkan?

Berdasarkan laporan hasil reportase yang dirilis oleh Tirto.id (bekerja sama dengan Jakarta Post dan Vice Indonesia) yang berjudul Kekerasan Seksual di UIN Malang: Dukungan dan Ancaman bagi Korban, disebutkan bahwa pada tanggal 17 Mei 2019 terdapat laporan tentang ‘dosen predator’ dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Seminggu setelahnya (23 Mei 2019) disebutkan lagi bahwa terdapat laporan tentang kekerasan seksual oleh oknum dosen dari Fakultas Humaniora di universitas tersebut. 

Pada laporan tersebut juga disebutkan bahwa dugaan kekerasan seksual oleh oknum dosen dengan inisial ZH telah beraksi tidak hanya sekali, bahkan diduga sudah beraksi semenjak tahun 2013. 

Mirisnya lagi, korban pelecehan sempat ‘disudutkan’ oleh beberapa dosen (yang seharusnya memberikan perlindungan, jaminan, dan keadilan) dengan menyampaikan pesan yang berisi larangan menyebarkan aib orang lain. 

Satu hal lagi yang benar-benar sangat disesalkan adalah dalih dosen yang mengatasnamakan agama untuk melindungi pelaku selaku rekan sesama dosen lewat ungkapan ‘Allah melarang manusia menyebar aib sesama manusia yang telah ditutupi oleh-Nya’

Lah, ini kan namanya kelewatan. Bukankah agama diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia? Mengapa  sebagian manusia menjadi tidak manusiawi dengan mengatasnamakan agama? Perlu dikoreksi: agamanya tidak salah, interpretasi manusianyalahyang kerap mencari sisi keuntungan pribadi.

Senada dengan kasus pelecehan seksual di UIN Malang, di Universitas Sumatera Utara juga dilaporkan telah terjadi kekerasan seksual pada awal 2018 oleh salah satu oknum dosen FISIP terhadap mahasiswanya.

Laporan ini diperoleh dari penuturan korban dengan samaran Diana pada tim Tirto.id (yang bekerja sama dengan Jakarta Post dan Vice Indonesia) pada tanggal 14 Februari 2019 lalu dan disusun dalam tulisan yang berjudul Pelecehan Seksual di FISIP USU Disimpan jadi Rahasia Jurusan

Tragedi mengerikan tersebut bermula saat Diana mengajukan perbaikan nilai atas mata kuliah yang diampu oleh oknum dosen tersebut. Dosen tersebut mengabulkan pengajuan Diana sekaligus mengajak Diana untuk menemaninya melakukan survei lokasi penelitian. 

Diana tidak langsung menyanggupi ajakan, tetapi ingin bertanya dahulu kepada para kakak kelasnya. Singkat cerita, Diana menyanggupi ajakan Dosen tersebut dengan pertimbangan menambah pengalaman dan wujud terima kasih atas perbaikan nilai. 

Tepat di tanggal 3 Februari 2018, Diana dan Dosen tersebut melakukan perjalanan dari Medan. Dalam perjalanan berkedok surveilokasi penelitian itulah, Dosen tersebut nekat melancarkan aksinya di dalam mobil ketika melintasi jalanan yang cukup sepi. 

Terbesit dalam benak Diana untuk melakukan perlawanan, namun rasa takut terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk (seperti membuatnya marah yang berujung ditendang dari mobil) membuat Diana kian tak berdaya. Diana bisa terbebas dari cengkeraman dosen tersebut ketika tiba di lokasi tujuan dan Diana minta diturunkan di rumah sahabatnya (padahal itu rumah orang yang tak dikenal). 

Selain itu, dosen tersebut juga sempat memberikan uang dua ratus ribu rupiah dengan dalih dapat digunakan untuk ongkos pulang. Diana awalnya menolak, namun dipaksa menerima oleh Dosen tersebut. Demi agar segera terbebas dari cengkeraman Dosen tersebut, Diana segera mengambil uang itu dan segera turun dari mobil. 

Lantas, apa yang terjadi dengan Diana? Pulang dengan menaiki angkutan umum yang disertai derai air mata dan rasa takut yang terus terjaga.

Diana melaporkan kasus tersebut ke pihak Dekanat dan berjalan beberapa bulan Diana tidak pernah mendapatkan kabar tentang pengaduan kasusnya. 

Sebagai korban kekerasan seksual di area kampus, tentu saja Diana membutuhkan perlindungan agar kondisi kejiwaannya tetap stabil; jaminan agar Diana tetap bisa melanjutkan perkuliahan dengan rasa aman; dan keadilan agar pelaku dapat dipastikan tidak mengulangi perbuatan hinanya serta tidak muncul ‘pelaku-pelaku baru’ selanjutnya. 

Sialnyayang diperoleh Diana justru sebaliknya, Diana  masih melihat pelaku berkeliaran di kampus beberapa kali. Diana kembali mempertanyakan keberlanjutan kasusnya ke pihak Dekanat dan pada hari itu juga Diana dipanggil oleh Kaprodi. 

Alih-alihmendapatkan dukungan dan perlindungan, Diana justru mendapatkan teguran dengan kalimat “Apalagi yang kamu tuntut? Dia (pelaku) sudah cukup berani untuk mengakui, harusnya kamu bersyukur.” Potret penyelesaian kasus kekerasan seksual yang seperti ini, apakah menunjukkan 75 tahun kemerdekaan?

Kasus-kasus kekerasan seksual di atas semakin menguatkan pola sistem hukum untuk perempuan sebagai korban kekerasan seksual adalah hinaan bagi yang enggan melakukan perlawanan dan tuduhan pembunuhan bagi yang melakukan perlawanan. 

Hasilnya, perempuan sebagai korban semakin terikat; terjerat; lalu pada akhirnya sekarat. Masih terekam jelas dalam ingatan Ihwal kasus seorang perempuan yang hendak diperkosa dan melakukan perlawanan di daerah Bengkulu pada tanggal 11 Maret 2005. 

Korban yang hendak mengambil daun pisang dibekap mulutnya, lalu diseret ke area kebun. Pelaku mulai melucuti pakaian korban yang mencoba untuk melarikan diri namun tidak berhasil. 

Puncaknya, sang korban teringat pisau yang digunakan untuk memotong daun pisang. Senjata ‘penyelamat’ itulah yang pada akhirnya digunakan untuk melawan dan mempertahankan harga diri seorang perempuan. 

Buah zakar dan punggung kiri pelaku menjadi panggung tempat senjata ‘penyelamat’ itu menunjukkan tariannya. Sayangnya sang korban justru dinyatakan sebagai tersangka kasus penganiayaan, padahalyang dilakukan oleh sang korban sama sekali tidak direncanakan dan semata-mata bentuk pembelaan. 

Sang korban pun akhirnya harus dengan ikhlas menjalani hari-hari di balik jeruji besi karena sebuah pembelaan diri. 

Memang seperti inilahpola sistem hukum untuk perempuan sebagai korban kekerasan seksual di negeri ini. Berada di posisi yang sangat dilematis. 

Berdiam diri saja tanpa melakukan perlawanan dianggap perempuan murahan yang memanfaatkan kenikmatan dalam kesempitan, sementara bertindak melakukan perlawanan dianggap melakukan penganiayaan; pembunuhan; dan sejenisnya. 

Lalu, perempuan harus melakukan apa saat berada dalam posisi seperti itu? Apakah perempuan harus melakukan lamphus diri sebagaimana perempuan-perempuan dahulu untuk membuktikan kesetiaannya kepada sang suami? Atau untuk menjaga harga diri yanglagi-lagi tetap saja menghilangkan penindasan untuk digantikan dengan penindasan yang lain? 

Kembali pada pertanyaan paling awal: Benarkah perempuan sudah dimerdekakan? Hahaha, pembaca sudah pasti tahu jawabannya. 

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content