Agama Sebagai Wacana Eksotik Komoditas Politik

Indonesia, negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia yang katanya sangat toleran akan kebebasan beragama ini ternyata tidak seindah yang semestinya. Kita tentunya akrab dengan mencuatnya wacana-wacana kekerasan bernuansa agama yang terjadi beberapa tahun belakang ini. Penyerangan jemaah Ahmadiyah Cikeusik, isu pelarangan jilbab dan sulitnya pendirian rumah ibadah di Bali, konflik komunal Islam-Kristen di Maluku dan masih banyak lagi. Logika hukum alam –yang kuat adalah yang menang– masih sulit untuk dipadamkan. Penindasan kaum mayoritas kepada kaum minoritas –konsep ini juga termasuk kekuasaan politik– masih kerap terjadi. Terlebih negara sebagai pihak yang harusnya menjamin keamanan warga negaranya belum sepenuhnya berarti.

Esensialitas Agama

Agama sebagai gabungan dari kata “A” yang berarti penegasian dan “Gama” yang berarti kacau harusnya menjadi hal yang fundamental bagi setiap individu –yang katanya– beragama untuk menghindari segala tindakan yang berindikasi ke arah kekacauan. Namun realitas yang terjadi pada konteks sosial-budaya yang ada di Indonesia bahkan dunia adalah, hampir setiap orang yang ada, beragama bukan karena kesadaran spiritual dalam jiwa masing-masing individu. Namun lebih karena fakta genealogis sehingga kesadarannya akan esensialitas agama belumlah terjamin. Setiap orang yang memiliki agama belum tentu beragama.

Selain itu jika di masukan ke dalam konteks Islam, Hassan Hanafi bependapat bahwa terma “Agama” yang di pakai Islam tidak sepenuhnya sesuai. Hampir semua kamus bahasa mendefinisikan kata agama hanyalah berhubungan dengan domain supernatural, magis, ritual, kepercayaan, dogma, dan lainnya. Padahal Islam secara terminologi lebih dari hal yang sifatnya ritualistik seperti diatas. Islam adalah etika, wawasan kemanusiaan, ilmu sosial dan ideologi. Sehingga menurutnya terma tersebut kurang sesuai, namun jika kita mengkaji pemahaman ini lebih lanjut pendapat Hassan Hanafi yang mengatakan bahwa Islam lebih sesuai dengan terma Ideologi, maka hal ini pun menjadi suatu hal yang kontradiktif pula karena ideologi lebih cenderung kearah politik yang sarat akan kekuasaan. Sehingga akan mengkerdilkan makna islam itu sendiri.

Namun yang perlu digaris bawahi dari pendapat itu bahwa agama, khususnya Islam adalah gambaran manusia dalam bermasyarakat, komitmen moral, dan perbuatan sosial. Sehingga dengan alasan apapun kekerasan yang berasaskan agama tidak mungkin dibenarkan.

Retorika Kekerasan

Jika kita mengacu pada kenyataan yang paling mendasar terjadinya kekerasan yang ada di Indonesia, perbedaan adalah salah satu penyebab terjadinya kekerasan. Namun jika mengacu kepada konsep Al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal dan memahami bukan untuk saling mengintimidasi. Maka jelas adanya bahwa perbedaan merupakan suatu keniscayaan bagi umat manusia dan bukan menjadi alasan untuk timbulnya kekerasan. Dan untuk menciptakan perdamaian tidak memerlukan penyatuan agama. Seperti yang terjadi di Spanyol beberapa abad silam. Pada 500 tahun pemerintahan Islam di Spanyol, Islam hidup berdampingan secara rukun bersama Kristen dan Yahudi serta bersama-sama menciptakan peradaban yang gemilang. Maka ketika ada wacana tentang formalisasi agama dalam suatu pemerintahan, ini jelas bukan merupakan perjuangan yang murni, namun hanya tendensi politik semata.

Politisasi Agama

Ada yang menarik jika kita melihat laporan tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi yang disusun oleh Wahid Institute. Tren kekerasan bernuansa agama pada tahun 2014 mengalami tingkat penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.



Ketika melihatnya secara kasat mata, ini merupakan suatu prestasi bagi Indonesia. Namun ketika mengkajinya lebih jauh, kita bisa melihat bahwa ini dapat menjadi indikasi bahwa tindak kekerasan bernuansa agama hanyalah suatu komoditas politik semata. Mengapa? Karena kita semua tahu bahwa tahun 2009 dan 2014 merupakan tahun politik di Indonesia. Di dalam laporan tersebut terlihat bahwa naik turunnya kekerasan bernuansa agama di Indonesia sejalan dengan atmosfer politik di Indonesia. Hal lainnya yang membuktikan pula bahwa pola intoleransi beragama dan berkeyakinan di Indonesia sesuai dengan laporan tersebut adalah mencuatnya kasus-kasus intoleransi di tahun 2015, seperti di Tolikara, Singkil, dan pelarangan hari Asyura bagi penganut Syiah di Bogor.

Maka hal ini nampaknya perlu menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk berhati-hati ke seluruh retorika politik bernuansa agama. Karena memang banyak kekerasan berkedok agama yang cenderung mengarahkan kita ke ranah politik. Sebut saja kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Polisi sebagai aparat keamanan yang seharusnya menjaga keamanan seluruh warga Negara Indonesia malah bertindak sebaliknya. Apakah ini wajar, ketika suatu institusi keamanan negara takut dengan ormas sekelas FPI. Jelas ada indikasi negatif dibaliknya.

Dalam Laporan tersebut (laporan tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi yang disusun oleh Wahid Institute) pun disebutkan bahwa polisi berada pada tingkat pertama pelaku intoleransi, dan yang paling sering terjadi adalah tindak pembiaran terhadap kekerasan.

Ada beberapa rumusan penyelesaian masalah yang terjadi pada persoalan ini. Mulai dari pendidikan kepada masyarakat terkait esensialitas agama sampai yang menurut saya paling “radikal” adalah sekularisasi. Namun yang paling penting disini adalah peran negara. Negara harus serius menangani permasalahan ini. Tidak bisa dipungkiri, negaralah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Jangan malah bermain dibelakangnya. (Nurcholis Ainul R. T. – Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika 2013/Staff Bidang Jaringan Kerja LPM Himmah UII)

*Topik ini pernah dibahas di Himmah Berbicara Minggu 22 Maret 2015.

Skip to content