Bangkitlah Kampus UII

Kita mensahkan kejahatan dan karena perbuatan kita itu, maka kita pun menjadi yang terjahat di antara orang-orang yang berbuat jahat (F Sionel Jose)

Inilah kampus tertua yang telah melahirkan banyak sarjana. Tak hanya sarjana tapi juga cendekiawan. Kini malah banyak dosennya duduk sebagai pejabat negara. Kadang muka mereka dipasang di baliho untuk promosi. Biar orang banyak tahu kalau kuliah disini bisa menjadi seperti mereka. Berpengaruh, berkuasa dan punya kedudukan. Sungguh tak mengherankan jika banyak mahasiswa bangga pernah tinggal di tempat ini. Kampus yang punya sejarah indah, melahirkan banyak aktivis, pekerja hingga pengusaha. Hingga tiap hari jadinya diperingati dengan aneka rupa acara, seperti jalan gembira diantaranya, dengan hadiah berlimpah. Singkatnya kampus ini telah memenuhi harapan sebagaimana keinginan para pendiri, yakni menjadi kampus Islam yang berwibawa dan disegani. Kampus Islam yang megah dan punya pengaruh. Tak cukup dengan pendirian kampus, kini ada keinginan membangun hotel dan rumah sakit. Kampus tak bisa mengandalkan dari dana mahasiswa semata, tapi juga bisa mengembangkan usaha.

UII telah banyak berubah dan mengubah. Tak banyak pertanyaan untuk kampus yang sudah membesar seperti ini. Para dosennya pasti pintar dan berakhlak mulia. Tiap bulan ada kegiatan pengajian yang isinya pasti menyuruh berbuat baik. Suruhan untuk menyantuni mereka yang lemah, memberikan pengajaran yang bermutu hingga menghormati pada yang berbeda. Niscaya dosennya juga memiliki banyak karya karena pastilah pengajian itu mengingatkan akan mandat orang berilmu.

Diantaranya adalah melahirkan karya yang bermutu, mengajar dengan tauladan dan yang lebih penting lagi berpihak pada soal-soal kemanusiaan. Sudah bisa dipastikan dosennya hidup dalam kesegaran gagasan dan piawai dalam mengajak mahasiswa berpetualang. Petualangan untuk menimba pengetahuan dan menjalani kuliah dengan semangat menggali ide-ide alternatif.

Saya bisa bayangkan ruangan kuliah pasti gaduh dengan debat, pertarungan ide dan hidup dengan kekayaan gagasan. Bangga sekali menjadi dosen UII karena didukung segalanya; pengajian untuk memperteguh akhlak, diskusi guna melebarkan ide dan beasiswa sekolah untuk menambah kemampuan. Maka mahasiswa UII sudah pasti hebat segalanya.

Dosennya saja ada yang pernah jadi pejabat, sering dapat pengajian dan berpendidikan tinggi. Mereka pasti anak-anak muda yang gairah dalam membaca, menulis dan diskusi sangat tinggi. Anak-anak muda itu tiap harinya pasti gelisah karena ada banyak ketidakcocokan antara buku kuliah dengan kenyataan hidup.

Mahasiswanya pasti akan marah karena ada banyak yang tak sesuai antara isi kitab suci dengan kenyataan sosial. Tak bisa saya bayangkan mahasiswa UII, terutama aktivisnya, niscaya tak bisa diam menyaksikan keresahan sosial yang kini terjadi dimana-mana.

Mereka pasti iri melihat anak UGM yang sering melakukan demonstrasi. Bahkan tetangga se-Iman mereka, UMY muncul dengan banyak tawaran aksi dan kegiatan. UNY tak beda jauh. Menggerakkan aksi dan menuntut perubahan. Sempat terjadi Rektor dengan pers mahasiswanya berdebat soal selebaran.

Kampus yang menjadi tetangga UII kini sedang berusaha menghela perubahan dan mencoba memastikan posisi kritisnya. Singkatnya UII dikelilingi oleh kampus yang sedang bergerak, bergolak dan berusaha untuk ikut terlibat.

UII mustinya punya semangat yang serupa, terutama mahasiswanya. Tapi mengapa yang terjadi tak seperti ini? Saat kasus tanah meluap di Rembang, Kulon Progo dan juga Kebumen, tak satupun ada protes yang muncul dari dalam kampus UII. Disitu ada pelanggaran HAM tapi kantor Pusat Studi HAM-nya tak mencuatkan protes sama sekali.

Ketika di Papua ada penembakan, penangkapan aktivis Islam yang bertubi-tubi, serta pukulan pada harga BBM juga tak ada suara lantang yang berasal dari sana. Media tak memuat protes dan masa rakyat tak tahu ‘bagaimana’ sesungguhnya sikap UII.

Protes dan gugatan terasa kurang ada gema mungkin karena mereka sedang sibuk ‘mempelajari, mengamati dan menelaah’ apa gerangan yang sedang berlangsung. Mempelajari itu penting agar tiap tindakan yang diambil tidak keliru. Mengamati sangat perlu sehingga masalah itu bisa jelas duduk-soalnya. Dan menelaah jadi pilihan sikap karena nanti bisa jadi keputusan yang lahir tak sesuai dengan kepentingan UII.

Maka lebih baik ‘berbaik sangka’ kalaupun tak ada geliat di kampus ini karena memang tugas kampus bukan melahirkan demonstrasi saja. Tugas kampus mungkin hanya meneguhkan kegiatan kuliah semata. Dimana yang dibutuhkan bukan anak-anak pemberani tapi patuh dan berdiam diri.

[irp posts=”5969″ name=”Kampanye Organisasi Eksternal”]

Dosennya tak perlu menulis buku karena yang penting adalah mengajar dan memberi ujian. Mahasiswanya juga tak perlu demonstrasi karena yang utama adalah kuliah, belajar dan kelak bekerja. Maka suasana yang diperlukan untuk lahir keadaan seperti ini adalah santai, senang dan lazim.

Santai karena mengutuk kekuasaan tak membuat ada perubahan. Senang sebab kuliah yang dibutuhkan adalah gelar dan pergaulan. Lalu jadi lazim sebab perubahan itu niscaya akan terjadi dengan atau tanpa desakan mahasiswa.

Seandaianya situasinya muram seperti ini yang berlangsung maka kampus akan mirip dengan pameran boneka. Dimana mahasiswanya hilir-mudik untuk mendatangi ruangan kuliah dan dosennya kesana-kemari untuk memberi pelajaran.

Disana tak ada gejolak karena pengetahuan mirip dogma dan kuliah seperti kartu tanda masuk tempat hiburan. Kelas akan sunyi dengan diskusi dan kantin akan padat dengan orang yang mengenyangkan perutnya sendiri. Maka kegiatan mahasiswa penuh dengan pesta pora: menghibur, menyihir hingga menidurkan kesadaran kritisnya sendiri.

Waktunya mahasiswa UII untuk bangun dan sadarkan diri. Bahwa di sekitarnya ada banyak persoalan sosial yang sedang menghantui. Tikaman atas KPK, tekanan harga kebutuhan pokok, penyitaan tanah dimana-mana dan para oligarkhi yang mau membajak kedaulatan.

Di ujung sana ada banyak kampus yang telah menyudahi kegemarannya untuk berpesta. Di sekitar sana ada banyak kampus yang tak lagi hanya berkutat pada perolehan juara lomba. Di banyak tempat bahkan ada banyak dosen yang mengorganisir perlawanan dengan membuat gerakan lebih progresif.

Di luaran sana kini muncul geliat gerakan sosial yang mau mengubah kenyataan dan menantang barisan para jahanam. Saatnya UII untuk kembali pada ‘jalan sejarahnya’: melawan yang batil dan mendirikan tata sosial yang adil. Percuma pengajian berulang kali kalau perubahan sosial tak muncul dari sana. Karena kitab suci itu lahir bukan untuk dihapal apalagi jadi bahan ujian melainkan untuk menggerakkan dan mengubah keadaan.

Kini waktunya dan saatnya UII untuk hadir sebagai kekuatan sejarah yang mengubah dan mengilhami. Dan ujung kekuatan ini letaknya ada dimahasiswanya. Waktunya untuk bertanya: jadi kapan mahasiswa UII bergerak? (Eko Prasetyo*)

 


*Penulis adalah Mantan Pemimpin Umum LPM Keadilan FH UII dan Pendiri Social Movement Institute.

**Seri opini untuk mahasiswa baru. Tulisan ini pernah diterbitkan di Kobarkobari edisi 175.

Skip to content