Benarkah Marxisme Menentang Konsep Tuhan?

Satu dari sekian banyak omong kosong tentang Marxisme yang digaungkan sejak bertahun-tahun lamanya adalah soal Marxisme yang menegasikan peran agama dan anti-Tuhan. Terutama di Indonesia yang selama puluhan tahun rakatnya termakan oleh propaganda-propaganda rezim orde babe—mengutip Ben Anderson. Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri dalam simposium nasional 1965 tandingan tahun lalu, “Kalau Anda benar-benar baca Marxis, itu jelas-jelas ateis, kok.”

Atau jika Anda menganggap Letjen Kiki terlalu rendahan untuk menjelaskan soal Marxisme, anda bisa melihat tulisan HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Tjokro, dalam buku yang kemunculannya juga berbarengan dengan pecahnya Sarikat Islam (SI) ini, mencoba mengutip perkataan Karl Marx yang menjadi salah satu upayanya untuk menggulingkan tesis Marxisme, “Agama ialah kebingungan otak, yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan hidup yang sukar ini. Agama itu candunya rakyat.”

Pertanyaannya, benarkah Marxisme menegasikan peran agama? Benarkah Marxisme anti-Tuhan? Benarkah apa yang diungkapkan kedua orang tersebut? Untuk menjawab hal itu, ada baiknya kita meninjau langsung teks-teks Marx.

Dalam satu episode perjalanan intelektualnya, Marx pernah berseteru dengan Bruno Bauer. Perseteruan keduanya terjadi saat mempermasalahkan status kewarganegaraan kaum Yahudi di Prusia (Jerman). Perseteruan dua orang yang pada awalnya merupakan sahabat dan pernah sama-sama aktif dalam gerakan hegelian muda.

Bauer dalam tulisannya “The Jewish Question” dan “The Capacity of Present Day Jews and Christians to Become Free”, mengkritik bahwa gerakan Yahudi Prusia yang menuntut status kewarganegaraan penuh tidak memiliki fondasi yang kuat. Menurut Bauer, permasalahannya ada tiga. Salah satunya menyangkut peranan agama terhadap alienasi manusia. Bagi Bauer, agama adalah faktor utama yang menyebabkan manusia menjadi teralienasi sepanjang sejarahnya. Seorang individu yang beragama adalah contoh konkret dari manusia yang teralienasi dalam sejarah. Selama seseorang masih beragama, maka sulit diharapkan mereka bisa melakukan emansipasi dalam hidupnya.

Namun, pendapat ini dikritik oleh Marx dalam tulisannya yang berjudul On The Jewish Question. Marx sependapat bahwa agama memang menjadi faktor alienasi manusia, tapi hal tersebut bukan disebabkan oleh agama saja. Menurut Marx, Bauer luput mempertanyakan jenis emansipasi mana yang ingin diperjuangkan, juga kondisi-kondisi esensial apa yang dibutuhkan dalam emansipasi. Bauer gagal mengenali kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat. Keterbatasan kritik Bauer dikarenakan ia mempertanyakan konsep negara Kristen Prusia, bukan konsep negara itu sendiri.

Marx mengambil contoh Amerika Serikat yang bukan negara agama dan tidak ada agama yang menjadi agama resmi Negara, namun rakyatnya banyak yang tetap beragama. Pertanyaannya adalah bagaimana jika ditemukan suatu negara yang telah komplit emansipasi politiknya, tetapi rakyatnya tetap beragama seperti di Amerika Serikat? Menurut Marx ini membuktikan bahwa emansipasi manusia tak selalu kontradiktif dengan agama.

Intinya, kritik Marx terhadap Bauer adalah bahwa faktor agama bukanlah faktor paling penting yang menghambat emansipasi manusia secara keseluruhan. Menurut Marx, faktor utama  alienasi manusia adalah kapitalisme (Robertus Robet, 2014)

Agama sebagai penyebab teralienasinya manusia harus dilihat tanpa terlepas dari konteks sosial yang ada karena yang terjadi di banyak tempat adalah agama diubah sedemikian rupa sehingga berwajah konservatif. Marx sendiri pun menyadari hal ini. Ia melihat agama memiliki dua sisi yang saling betolak belakang, misalnya agama Kristen pada masa perjalanan intelektual Marx. Ia melihat Kristen diubah menjadi sedemikian konservatif. Agamawan lebih dekat dengan kelas borjuis dan meninggalkan kelas tertindas.

Begitu pula dengan tidak sependapatnya Marx terhadap pernyataan Feurbach bahwa, “Penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Tuhan. ”Feurbach bersikap tidak adil dan tidak konsisten dengan hanya berhenti pada kehadiran Tuhan, yang menurutnya disebabkan oleh penderitaan manusia. Menurut Marx, Feurbach semestinya mencari akar persoalan mengapa manusia sampai menderita dan pada akhirnya memutuskan untuk menciptakan agama sebagai tempat pelarian.

Menurut Marx, manusia dalam konsepsi agama Feurbach masih bersifat abstrak. Sama abstraknya dengan gagasan roh semesta yang disampaikan Hegel. Marx menuduh Feurbach telah melupakan faktor penyebab penderitaan manusia, yaitu sistem kemasyarakatan yang timpang. Bagi Marx, penderitaan yang dialami oleh manusia bukan disebabkan oleh individunya, melainkan oleh sebuah sistem besar yang memaksa manusia harus menderita. (Zainal Munasichin, 2005)

Dari dua buah pemikiran Marx tersebut, saya kira tak ditemukan tesis Marx yang menuduh agama sebagai biangnya masalah alienasi terhadap manusia. Bahkan Marx mengambil contoh Amerika Serikat sebagai satu negara yang telah memiliki emansipasi politik dan masyarakatnya tetap beragama.

Partai Komunis Rusia di tahun 1905, yang saat itu dipimpin Vladimir Lenin pun tak menyatakan penegasian agama dalam program-program mereka karena agama memang bukan penyebab manusia teralienasi. Agama menjadi candu karena, “…Kesempitan cara berpikir borjuis yang lupa bahwa beban agama yang memberati kehidupan manusia, sebenarnya, tak lebih adalah sebuah produk dan refleksi beban ekonomi yang ada dalam masyarakat.”

Di awal tulisan saya telah memberikan contoh Tjokro yang menolak mentah-mentah Marxisme dalam bukunya. Terkait pemikiran Tjokro ini, Zainal Munasichin dalam bukunya Berebut Kiri, habis-habisan mengkritik pemikiran Tjokro tersebut. Menurutnya, Tjokro terlalu terburu-buru dalam mengambilan kesimpulan bahwa Marxisme adalah paham yang anti-Tuhan, padahal akses Tjokro terhadap teks-teks Marxisme begitu terbatas. Ditambah lagi pertentangan “merah” dan “putih” yang terjadi di tubuh SI membuat pernyataan-pernyataan Tjokro tersebut tidak mungkin terlepas dari friksi politik yang terjadi di tubuh SI.

Tuduhan Tjokro tersebut pun sebenarnya sudah terjawab di dalam Hikayat Kadiroen, buku yang ditulis oleh Semaoen beberapa tahun sebelum Tjokro melancarkan tuduhannya. Semaoen menyadari banyak orang yang salah paham dalam melihat Marxisme.

Bahkan, D.N. Aidit sempat mengatakan, “… bahwa jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Tidak hanya di Indonesia, anda pun dapat melihat wajah pertautan antara agama dan Marxisme dalam wujudnya yang revolusioner. Di Amerika Latin, di Timur Tengah, di Asia Tenggara dan banyak tempat lainnya.

Lalu bagaimana konteksnya dengan Indonesia di hari ini? Saya rasa masih sama memuakkan. Bertahun-tahun setelah tumbangnya orde babe tak membuat kita menjadi waras dalam melihat persoalan. Saya telah memberi contoh di atas, dengan pernyataan pekok Letjen Kiki.

Saya sendiri bukanlah seorang Marxis ataupun seorang penganut agama yang cukup baik. Keduanya mungkin terlalu istimewa untuk dilekatkan pada diri saya yang sampai saat ini masih kesulitan untuk menjalankan pesan-pesan revolusioner yang diajarkan keduanya. Namun, saya rasa omong kosong yang memuakkan ini sudah terlalu lama terngiang di kepala kita dan tak ayal kerap kali dimanfaatkan dalam friksi politik elitis yang terjadi.

Bagaimana mengubahnya? Saya tak melihat harapan untuk rezim Jokowi dalam merubah kesalahkaprahan yang telah terjadi turun temurun ini. Bagaimana mungkin melakukan penyadaran jika pembungkaman terhadap diskusi soal Marxisme terus terjadi, buku-buku soal Marxisme terus disita? Dan aparatus negara lah pelaku pemberangusan itu.

Lagipula, perubahan tidak mungkin terjadi jika orang-orang yang bercokol di tampuk kekuasaan adalah kelompok-kelompok yang sempat berkuasa di era orde babe. Maka, memang sudah seharusnya rakyat merebut kekuasaan dari tangan-tangan rezim orde babe tersebut. Barulah kita bisa mengatakan, setop pembodohan dengan mengatakan Marxisme menentang konsep Tuhan.

Skip to content