Ramadhan merupakan madrasah bagi umat Islam. Disebut madrasah, karena di dalamnya terdapat proses pendidikan yang melatih manusia menjadi insan yang sesungguhnya, sekaligus memupuk kepedulian sosial antar sesama. Karena itu, bulan mulia ini adalah momentum berharga untuk bersungguh-sungguh menepis segala bentuk sifat-sifat negatif seperti sombong, egoisme, tamak, serakah, dan kikir.
Syariat utama dalam bulan Ramadhan adalah melaksanakan puasa. Puasa secara bahasa maknanya al-imsāk, yang berarti menahan. Dalam definisi syar’inya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan berhubungan biologis suami istri, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, yang disertai dengan niat. Yang demikian ini adalah makna dalam pengertian ilmu fiqih.
Artinya, dengan mengamalkan puasa sesuai pengertian di atas, dengan memenuhi syarat dan ketentuannya, maka seseorang dapat dikatakan telah sah melaksanakan puasa.
Namun demikian, untuk mendapatkan keutamaan dan mencapai nilai substansial puasa, maka tidak cukup dengan pengertian di atas. Hal tersebut harus diiringi dengan upaya imsak (menahan) diri dari segala perbuatan dosa; baik dosa terhadap Allah, maupun dosa kepada orang lain.
Termasuk juga melaksanakan segala sesuatu yang disunnahkan di dalamnya, serta meninggalkan segala sesuatu yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa itu sendiri. Misalnya, menahan dan mengendalikan diri kita dari semua bentuk perbuatan tercela, seperti egoisme, kekikiran, serakah, sombong, berdusta, menyakiti orang lain, berkata kotor, dan lain sebagainya.
Karena itu, orang yang berpuasa secara dhahir dengan tidak menghiraukan hakikat dari puasanya, maka tidak akan mendapatkan keutamaan dari puasanya. Rasulullah saw. menegaskan, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga saja,” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang belum mampu meninggakan perkatan dan perbuatan dosa dan sia-sia (qaul al-zur) maka sesungguhnya Allah tidak membutuhkan ia yang hanya meninggalkan makan dan minumnya,” (HR. Bukhari).
Mendidik Jiwa
Berpuasa di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini tentu berbeda dengan puasa pada kondisi normal seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi masyarakat yang kian sulit di tengah krisis tersebut membuat mereka harus bersabar dan menahan diri dalam menuruti setiap keinginan dan kebutuhannya.
Karena itu, berpuasa Ramadhan di tengah kondisi sulit seperti ini merupakan momentum sekaligus sarana untuk mendidik ketahanan jiwa (tarbiyah ruhiyah).
Dengan kata lain, bulan Ramadhan melatih kita untuk menjalani pola hidup sebagai insan paripurna, mengalahkan hawa nafsu hewani yang ada di dalam diri, dan mendekatkan mutu insani dengan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Allah Swt.
Kaum muslim seolah-olah melakukan suatu penataran yang cara dan tata tertibnya dibuat oleh Allah Swt. Kita tidak makan di siang hari dan beribadah melebihi hari yang lain selama bulan Ramadhan, bertarawih, membaca al-Quran, juga menjalani ibadah-ibadah lain yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. (Hamka, 2017).
Kecenderungan manusia, dengan nafsu hewani dalam dirinya, ingin selalu memenuhi hajat dan keinginannya. Namun, kecenderungan nafsu tersebut selalu mengajak manusia melakukan segala sesuatu yang secara dhahir menyenangkan, walaupun hakikatnya dapat merusak dan menjerumuskan ke lembah kenistaan.
Ibarat fatamorgana, keinginan-keinginan nafsu selalu menipu manusia. Biasanya, manusia yang selalu terpedaya oleh nafsunya akan mengalami penyesalan di akhirnya.
Oleh karena itu, puasa sesungguhnya melatih jiwa manusia untuk kuat bertahan melawan hawa nafsunya. Karena menahan nafsu adalah pondasi awal untuk menggapai kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya, menjadi budak hawa nafsu adalah awal dari kehancuran dan kebinasaan. Kasus-kasus korupsi, kejahatan, kenakalan, kekerasan, pornografi adalah akibat dari tidak ketidakmampuan menahan hawa nafsunya.
Nabi Muhammad saw. menegaskan dalam hadisnya, “Tidak dikatakan sempurna iman seseorang sampai hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang datang dariku.”
Semangat Filantropi
Dalam bulan Ramadhan ini juga, kita didik dan dilatih untuk memupuk semangat filantropi antar sesama manusia. Semangat cinta untuk berbagi sesama manusia ini akan mengokohkan solidaritas sosial di antara mereka.
Menolong sesama, berbagi dengan fakir miskin, shadaqah, zakat, dan ibadah-ibadah sosial lainnya. Semua itu merupakan ibadah-ibadah yang senantiasa hadir bersamaan dengan masuknya bulan Ramadhan.
Problemnya, ada beberapa ibadah yang mungkin kurang sempurna pelaksanaanya di bulan Ramadhan karena ada kebijakan social dan psysical distancing selama pandemi Covid-19.
Hal ini membuat suasana kehidupan sosial di bulan Ramadhan kali ini tentu berbeda. Tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak massa. Namun demikian, kondisi demikian tidaklah menjadi penghalang dalam melakukan ibadah-ibadah sosial.
Secara ideologis, ajaran untuk saling berbagi di bulan Ramadhan telah dikuatkan dalam hadis Nabi, “Barang siapa yang memberi buka orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun,” (HR. Al-Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan spirit untuk membangun rasa cinta kepada sesama dan membuang sikap kikir, tamak, dan egoisme.
Apalagi di tengah kondisi krisis Covid-19 ini, semangat berderma mestinya lebih ditingkatkan. Utamanya bagi mereka yang memiliki kelebihan rezeki. Hal ini mengingat kondisi perekonomian masyarakat mengalami penurunan yang signifikan, khususnya mereka yang bekerja di sektor usaha mikro atau para pekerja harian.
Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya pengangguran yang cukup banyak. Berdasarkan perhitungan pemerintah, untuk skenario berat bakal ada penambahan 2,9 juta orang menganggur di Indonesia. Adapun untuk skenario yang lebih berat, jumlah pengangguran bakal meningkat hingga 5,2 juta orang. Kesungguhan untuk membangun kepedulian sosial dengan sesama ini bisa kita sebut sebagai ‘jihad sosial’. Maknanya, mengerahkan segenap kemampuan baik secara lahir maupun batin untuk berbagi dengan sesama. Dengan inilah kesempurnaan iman bisa dicapai di bulan penuh berkah ini. Hubungan dengan Allah Yang Maha Kuasa (hablun minallah) dan hubungan sesama manusia (hablun minannaas) dapat terwujudkan (QS. Ali Imron: 112). Inilah yang disebutkan dalam Al-Qu’ran dengan kalimat la’allakum tattaqun, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa, sebagai pencapaian puncak dari ibadah puasa (QS. al-Baqarah: 183).