Civic Islam, Upaya Membangun Keadaban

Pada tanggal 7 November 2015 lalu, LPM HIMMAH UII menghadirkan AE Priyono, Direktur Eksekutif LP3ES yang juga seorang peneliti dan alumnus LPM Muhibbah UII. Dalam diskusi yang pada dasarnya tidak direncanakan dengan matangkarena AE Priyono datang ke Yogyakarta untuk menghadiri seminar yang diadakan oleh HMI-MPO UIItersebut, AE Priyono dan kawan-kawan mahasiswa sepakat untuk berdiskusi soal Civic Islam, sebuah agenda gerakan demokrasi partisipatoris yang sedang digawangi oleh AE Priyono dan beberapa peneliti lainnya. Tulisan di bawah ini disusun dari diskusi dan beberapa artikel Civic Islam yang terdapat dalam civicislam.blogspot.com. Selamat membaca.

Dalam salah satu tesisnya, Indonesia’s democratic stagnation: anti-reformist elites and resilient civil society, yang membahas soal stagnasi serta regresi demokratisasi di Indonesia, Marcus Mietzner memperlihatkan bahwa di Indonesia saat ini sedang terjadi sebuah fenomena yang dinamakan konservatisasi politik elit[1]. Hal ini mulai terlihat saat partai-partai, birokrat, dan politisi mulai mengganggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk kepentingan politik elektoralnya, kepentingan politik yang hanya terkonsentrasi pada kompetisi elit. Kita dapat melihat hal tersebut pada banyaknya skandal di tahun 2005, 2006, dan 2007, di mana KPU dikeroyok untuk dijadikan instrumen partai. KPU sebagai pengendali Pemilihan Umum (Pemilu) diperebutkan agar dapat dikendalikan sebagai langkah memenangkan pertarungan. Demokrasi pada akhirnya ditafsirkan sepenuhnya sebagai politik elektoral. Ini jelas tidak sesuai dengan kerangka demokrasi yang substansial, yang sebetulnya lebih menginginkan partisipasi popular ketimbang kompetisi elitis.

Mietzner juga memperlihatkan gejala lain yang masih terjadi sampai saat ini; betapa elit politik tersebut melakukan serangan balik terhadap liberalisasi politik dengan cara merusak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Agenda perusakan KPK ini terjadi karena politik elektoral berbasis partai hanya bisa survive ketika ada anggaran yang diambil dari negara, salah satu yang terbesar adalah melalui korupsi, dengan cara menanamkan orang-orang dari elit partai tersebut ke dalam lembaga-lembaga negara. Kehadiran KPK merupakan salah satu gangguan bagi mereka dan oleh karena itu, KPK harus diperlemah. Lalu, untuk memecahkan perhatian publik dalam mengontrol para bandit politik tersebut, mereka membuat provokasi-provokasi konflik horizontal.

Sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini bukan hanya stagnasi dan regresi demokratisasi, namun juga reversi, yang terjadi sejak tahun 2012[2]. Fenomena reversi ini bisa kita perhatikan pada beberapa pasal undang-undang (UU) Organisasi Masyarakat (Ormas) maupun UU Keamanan Nasional. Terlihat sekali upaya rezim—yang pada saat itu dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono—untuk mengembalikan peranan militer, yang sekarang pun sebetulnya makin terbukti. Baik di posisi-posisi sipil maupun reorganisasi di internal kelembagaan mereka sendiri, betul-betul mencerminkan hasrat mereka untuk menguasai politik kembali.

Tidak hanya itu, para jenderalnya pun bahkan secara personal ternyata berkolaborasi dengan kekuatan bisnis, dalam maupun luar negeri, untuk tetap menjamin kelangsungan kekayaan mereka. Ini harus dilihat sebagai gejala reversi yang sedang dialami Indonesia. Jika kita tidak mengontrol mereka, pada akhirnya supremasi sipil akan digerogoti. Lalu akhirnya, mereka akan menjadi aparat resmi lagi untuk mengatur semuanya.

Pada satu sisi memang tetap ada perlawanan dari masyarakat sipil terhadap arus reversi ini, seperti yang terjadi sejak kemunculan teknologi media sosial yang terus menciptakan ruang publik politik untuk partisipasi masyarakat sipil. Di dunia media sosial, kita dapat melihat gelombang aktivisme sipil. Namun, aktivisme masyarakat sipil di media sosial tersebut saat ini juga mendapat reaksi, terutama Surat Edaran Kepala Polisi Republik Indonesia (SE Kapolri) dengan nomor SE/06/X/2015. SE tersebut akan menjadi reversi yang baru dalam kebabasan sipil dan politik di media sosial. Semua fenomena stagnasi, regresi, dan reversi ini terjadi karena tidak adanya skenario dan skema demokratisasi yang dipikirkan untuk menjadi sarana kekuatan bagi masyarakat sipil, yaitu kekuatan yang aktual dan signifikan secara politik.

Saat ini, partai-partai Islam pun sama-sama terjebak. Islam-politik yang dikerjakan melalui partai-partai Islam pada tingkatan formal tersebut mengalami kebuntuan. Olivier Roy dalam tesisnya, Failure of Political Islam menyatakan bahwa Islam-politik sebagai agenda politisasi agama sebenarnya telah mengalami kegagalan[3]. Kegagalan yang paling fatal adalah ketika Islam-politik tidak bisa merespon dan menciptakan gerakan alternatif terhadap neoliberalisme di satu pihak dan fundamentalisme di pihak lain. Dalam beberapa kasus, Islam-politik mainstream bisa terjatuh menjadi bagian dari agenda neoliberalisme, tapi di pihak lain juga bisa terjebak dalam fundamentalisme.

Di tingkat informal pun Islam-politik saat ini terjebak ke dalam arus fundamentalisme, konservatisme anti politik, dan eskapisme anti sosial. Gerakan fundamentalisme tersebut di antaranya adalah Wahabisme dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI yang agendanya menggantikan demokrasi dengan khilafah, berarti juga telah menolak nation-state Indonesia yang dibangun di atas pondasi demokrasi. Bagaimana mungkin demokrasi bisa dijalankan ketika nation-state juga digerogoti? Ini merupakan gagasan yang tidak masuk akal. Wahabisme dengan agenda anti Syi’ah dan Ahmadiyahnya juga merupakan gerakan yang benar-benar konyol karena menyerang raison d’etre dari demokrasi, yaitu citizenship. Bagaimana mungkin sebuah negara yang dibangun menurut kaidah dan prinsip demokrasi merangsek gagasan soal kewarganegaraan? Gerakan anti Syi’ah dan Ahmadiyah ini telah menegasikan status kewarganegaraan umat Syi’ah dan Ahmadiyah. Gerakan-gerakan fundamentalisme ini telah secara frontal bertentangan dengan gagasan demokratisasi Indonesia, karena mereka, Wahabisme dan HTI menghancurkan dasar negara. Pertama, berupaya mengganti demokrasi dengan khilafah. Kedua, menyerang prinsip demokrasi tentang citizenship.

Gejala lain dari kebuntuan Islam informal adalah eskapisme anti sosial, yaitu golongan-golongan yang hanya melakukan ibadah-ibadah vertikal tanpa memikirkan kondisi sosial. Pertanyaannya, betulkah agenda Islam hanya sampai di ranah transendental saja? Tentu saja tidak. Islam harus punya peranan publik dan peranan civic. Ketika islam ingin berperan secara signifikan dalam kehidupan sosial politik, maka Islam harus berada di wilayah publik, bukan di wilayah privat, dan sifat dari wilayah publik tersebut adalah civic atau kewargaan.

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana caranya melakukan revitalisasi terhadap gagasan-gagasan progresif Islam? Jika arus Islam-politik konservatif bergerak ke takdir sejarahnya sebagai wacana reaksioner yang menolak perubahan struktural, apakah cita-cita emansipatoris Islam masih memiliki peluang untuk diwujudkan kembali? Tentu tidak. Harus ada sebuah sebuah agenda, strategi, dan paradigma baru agar Islam bisa muncul kembali menjadi gerakan alternatif yang strategis dalam kemacetan demokrasi kita. Inilah latar belakang dari pemikiran strategis munculnya Civic Islam.

Civic Islam, Sebuah Agenda Strategis

Gerakan yang disebut Civic Islam ini lahir dari pemikiran yang ilmiah realistis[4]. Berangkat dari kegagalan-kegagalan demokrasi liberal yang hanya melahirkan arus politik elektoral, fundamentalisme, dan eskapisme anti sosial, Civic Islam lahir dengan semangat menghidupkan kembali peranan sipil, civic, dan publik ajaran-ajaran Islam. Pasca reformasi, secara institusional Indonesia memang mengalami demokratisasi. Namun, secara praktik politik kita masih dikangkangi oleh kekuatan-kekuatan patrimonial yang tetap mengendalikan situasi. Akhirnya panggung politik hanya dikuasai oleh elit-elit predatorial.

Gagasan Civic Islam ini pada dasarnya bisa dilacak pada pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, dan Gusdur. Misalnya pada ayat 110 dalam surat Ali Imran soal amar ma’ruf nahi munkar, yang dirumuskan oleh Kuntowijoyo sebagai politik emansipatoris dan upaya liberasi atau pembebasan manusia dari keterkungkungan sosial, ekonomi, dan ketidakadilan. Ada pula gagasan Nurcholish Madjid terkait pluralisme internal dan toleransi eksternal, inklusivisme, sekularisme (dalam pengertian yang dimaksud Nurcholish Madjid), dan post-secularism. Kemudian gagasan-gagasan lain yang sesuai dengan agenda demokrasi alternatif, yang menekankan pada public-virtue, civic-virtue, active-citizenship atau civic engagement.

Selama ini imajinasi Islam-politik hanya terkonsentrasi pada entitas keluarga, lalu bergerak ke entitas negara. Alur imajinasinya dimulai dari keluarga, melalui umat, menuju negara. Akhirnya Islam-politik hanya memperjuangkan Islam di tingkat keluarga dan negara, ia bersikap ambigu terhadap entitas masyarakat maupun entitas bangsa. Robert Hevner, dalam bukunya Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, pernah membayangkan munculnya Islam sipil[5], bukan Islam civic. Namun, bayangan itu mustahil terwujud di bawah hegemoni Islam rezimis. Gagasan Hevner berhenti pada logika politik oposisional terhadap rezim orde baru. Konteks yang terjadi saat ini telah berubah, sekarang Islam harus dibangun di wilayah civic, bukan hanya di wilayah civil. Setelah kita tahu problematikanya seperti itu, sebetulnya kita telah memiliki imajinasi bagaimana Islam harus dibangun. Di bawah bayang-bayang kegagalan demokrasi, cita-cita tentang citizenship yang beradab, baik pada ranah sosial, ekonomi, maupun politik, harus dibangkitkan lagi. Artinya, salah satu tugas Civic Islam adalah membangun civic engagement, pada tingkat sosial, ekonomi, maupun politik. (Nurcholis Ainul R.T. – Mahasiswa Teknik Informatika 2013/Staff Bidang Jaringan Kerja LPM HIMMAH UII)

Kepustakaan

[1] Mietzner, M. (2012). Indonesia’s democratic stagnation: anti-reformist elites and resilient civil society. Democratization, 19(2), 209-229.

[2] Liddle, R. W. (2012). Memperbaiki mutu demokrasi di Indonesia: sebuah perdebatan. Indonesia pasca reformasi: kacamata tiga Indonesianis, 71-94.

[3] Roy, O., & Volk, C. (1996). The failure of political Islam. Harvard University Press.

[4] Manshur, Faiz. “Mengenal Civic Islam Indonesia”. Mengenal Civic Islam Indonesia. Web. 25 November 2015. http://civicislam.blogspot.co.id/2015/03/mengenal-civic-islam-indonesia.html

[5] Hefner, R. W. (2011). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content