Pandemi belum memberikan tanda-tanda ingin pergi, sehingga pembelajaran berbasis dalam jaringan menjadi metode yang tak bisa dihindari. Siswa mulai bosan dengan model pembelajaran virtual, sementara tak sedikit juga pendidik yang mulai kehabisan akal.
Perangkat telepon pintar lebih sering menyesakkan hati daripada memberikan solusi. Baru saja beberapa menit memulai kelas virtual menggunakan aplikasi telekonferensi Zoom, sang telepon pintar mendadak “kehilangan nyawa” gegara usia yang sudah terlalu tua.
Ruangnya sangat terbatas untuk diisi aplikasi dengan kapasitas besar. Akibatnya, sang telepon pintar mendadak pingsan tak sadarkan diri selama beberapa saat.
Masalah “pingsan secara tiba-tiba” ini akan bisa teratasi jika pendidik bersedia mengganti perangkat telepon pintar tuanya dengan perangkat yang lebih muda–dengan kapasitas ruang yang lebih luas. Padahal, untuk menghidupi telepon pintar tuanya dengan paket internet saja harus berhemat dengan ketat. Alih-alih mengganti yang tua dengan yang lebih muda.
Akhirnya, pembelajaran virtual “cukup” dilanjutkan melalui percakapan di grup WhatsApp yang notabenenya bisa dilakukan sembari bermain bola di halaman. Materi pembelajaran akhirnya harus bernasib sama dengan percakapan-percakapan ringan di pinggir jalan yang mudah saja terlupakan. Sementara pendidik tak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan segala aspek, mulai dari keterbatasan sumber daya hingga keterbatasan komunikasi.
Hidup di daerah yang jauh dari ingar bingar kemajuan teknologi memang menjanjikan dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi menawarkan ketenangan, sementara di sisi lain menampilkan potret ketertinggalan. Sisi yang terakhir inilah yang mulai dirasakan dampaknya kala pembelajaran di tengah kepungan pandemi seperti saat ini harus ditunjang kemajuan teknologi.
Berbeda lagi dengan kisah pendidik di belahan daerah lainnya yang jauh lebih beruntung dengan ketersediaan perangkat telepon pintar yang kekinian dan penghasilan yang bisa disebut lumayan. Sayangnya, ketersediaan itu berbanding terbalik dengan kemampuan dalam menggunakan teknologi.
Google Classroom, Zoom, Google Form, dan sejenisnya masih terkesan asing bagi mereka. Telepon pintar yang kekinian itu hanya sering digunakan untuk berbalas pesan, bertelepon, dan mengumpulkan foto selfie terbaik untuk dijadikan foto profil akun WhatsApp-nya.
Namun tak sedikit juga pendidik yang dianugerahi dengan sempurna, yakni ketersediaan sumber daya yang menunjang pembelajaran online, serta memiliki tingkat kemelekan teknologi yang tinggi.
Pada dasarnya untuk kelompok yang kedua dan yang terakhir tidak terlalu menjadi masalah. Kelompok terakhir bahkan bisa disebut tidak memiliki masalah yang berarti karena segala yang dibutuhkan telah terpenuhi.
Kemudian kelompok yang kedua hanya perlu berlatih dan belajar dengan tekun untuk meningkatkan level kompetensi teknologi informasi dan komunikasinya (TIK), karena sarana yang dibutuhkan telah tersedia. Ditambah lagi, pemerintah juga kerap kali mengadakan webinar-webinar tentang peningkatan kompetensi TIK agar para pendidik bisa segera beradaptasi dengan situasi pandemi yang mengharuskan pembelajaran berbasis dalam jaringan.
Justru yang menjadi dilema dalam masalah ini adalah kelompok yang pertama, sebab sarana untuk mencapai tujuan yang tak laik untuk digunakan. Sementara membeli sarana baru sama saja bertaruh dengan kelangsungan hidup mereka selama beberapa bulan. Lalu dalam situasi yang tak menguntungkan ini, apa yang bisa dilakukan oleh kelompok yang pertama?
Sebuah Ironi
Kelompok yang pertama kerap dialami oleh guru berstatus honorer. Dengan gaji yang pas-pasan–bahkan sebenarnya sangat jauh dari kata “pas”–membeli perangkat telepon pintar yang lebih canggih tentu saja menjadi sebuah dilema.
Satu sisi memang harus dilakukan untuk mengefektifkan pembelajaran berbasis dalam jaringan. Sementara di sisi yang lain, uang yang ada hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Para pendidik dengan jenis ini seolah sedang memakan buah simalakama. Artinya, semua pilihan yang ada sama-sama menimbulkan bencana. Tak berlebihan jika ada sebuah ungkapan yang berbunyi: kini guru hanya dituntut untuk berjuang, sementara segala kebutuhannya sama sekali tidak ditunjang.
Sejatinya sangat disayangkan jika guru yang digadang-gadang sebagai tombak kecerdasan bangsa, ternyata justru menjadi pihak yang harus ketar-ketir atas ketersediaan beras di dapur untuk setiap bulannya.
Dalam kondisi seperti ini, satu di antara cara untuk menyelesaikannya adalah rasa solidaritas antarsesama guru. Beberapa guru yang telah memiliki telepon pintar dengan kapasitas mumpuni untuk pembelajaran berbasis dalam jaringan, sudah seyogianya membantu rekan-rekan guru yang masih memiliki telepon pintar dengan kapasitas yang terbatas.
Bantuan yang diberikan dapat dengan cara meminjami telepon pintar untuk sekadar memberikan instruksi lewat aplikasi Zoom. Bisa juga memberikan bantuan dalam skala yang lebih besar, seperti penggalangan dana untuk membeli telepon pintar baru bagi beberapa guru yang telepon pintarnya tidak bisa digunakan untuk pembelajaran berbasis dalam jaringan–bahkan masih ada beberapa guru yang masih menggunakan telepon genggam jadul.
Jadi, jangankan melakukan pembelajaran via Zoom atau sejenisnya, mengirim pesan saja masih menggunakan metode short metode service (SMS), bukan via WhatsApp atau sejenisnya. Memang benar, di tengah badai pandemi yang tak kunjung reda seperti saat ini, hanya sifat dan sikap kemanusiaan yang akan membantu manusia tetap bertahan.
Pendidik Harus Melek Teknologi?
Pandemi telah menyadarkan banyak hal pada dunia pendidikan, satu di antaranya adalah urgensi kemelekan teknologi. Peralihan segala aspek ke dalam model virtual telah menyadarkan segala pihak (khususnya pendidik) bahwa pendidik bidang studi apapun membutuhkan kemampuan olah TIK yang mumpuni.
Senada dengan yang termaktub dalam Kepmendiknas Nomor 16 Tahun 2007, bahwa standar kompetensi yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi pedagogis; kompetensi kepribadian; kompetensi profesional; dan kompetensi sosial.
Berdasarkan standar kompetensi tersebut, seorang guru yang berkompeten setidaknya menguasai pembelajaran secara teoretis dan praktis serta yang mampu mengelola tugas sehari-harinya–terlebih dengan metode dalam jaringan kala pandemi seperti saat ini.
Oleh sebab itu, secara pedagogis, guru perlu memanfaatkan TIK untuk urusan pembelajaran dan secara profesionalitas, guru memerlukannya untuk berkomunikasi sekaligus mengembangkan diri.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Pusdatin Kemendikbud Ristek) mengadaptasi framework kompetensi TIK milik UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai standar peningkatan kompetensi TIK guru dalam tingkat nasional.
Pusdatin Kemendikbud Ristek membagi kompetensi TIK guru ke dalam 4 level. Pada level 1, guru mulai melek dengan teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian pada level 2, guru mulai mengimplementasikannya ke dalam pembelajaran. Berlanjut pada level 3, guru sudah bisa membuat kreasi ke dalam pembelajaran. Puncaknya pada level 4, guru mampu untuk berbagi dan berkolaborasi.
Guru memang dituntut untuk melek teknologi, namun tak harus melek yang sampai ke taraf “melotot”. Paling tidak, guru sudah berada di level 2 yang berarti sudah mampu mengimplementasikan teknologi ke dalam praktik pembelajarannya.
Hal ini disebabkan oleh tugas guru itu sendiri yang harus mengajarkan bidang studi tertentu. Jika guru hanya berfokus pada TIK, maka dikhawatirkan akan mengganggu penguasaan bidang studi yang diajarkan. Tidak berarti guru dilarang sampai pada level 4.
Jika ada guru yang berhasil sampai pada level 4, tentu saja itu menjadi modal yang lebih baik untuk proses pembelajaran berbasis dalam jaringan. Namun jika ada guru yang hanya bisa sampai di level 2, itu sudah bisa dianggap cukup untuk menunjang proses pembelajaran berbasis dalam jaringan.
Sederhananya, standardisasi capaian level TIK guru adalah level 2. Sementara level 3 hingga level 4 dapat dijadikan sebagai ajang penghargaan. Setiap pendidik yang berhasil mencapai level 3 hingga level 4 mendapatkan apresiasi dari pihak sekolah maupun penyelenggara pendidikan nasional. Hal ini agaknya menjadi terkesan “lebih bersahabat” bagi para pendidik.
Akhir kata, pembelajaran berbasis dalam jaringan tak hanya menjanjikan keamanan, tetapi juga memicu kegamangan bagi beberapa pendidik antara mengembangkan kompetensi dan menjaga kehidupan diri.
Solidaritas antasesama gurulah yang dapat menjadi jalan tengah dalam kondisi dilematis tersebut. Tuntutan melek teknologi untuk para guru di masa pandemi memang perlu, namun guru tak perlu dipaksa untuk “membelalakkan mata”, karena guru hanya perlu “membuka mata” atas urgensi teknologi yang sebelum-sebelumnya cenderung lebih “menutup mata”.
*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.