Kepentingan Individu Merusak Student Government

Sistem parlementer Student Government (SG) yang diterapkan Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) sejak 1950 bukanlah lagi suatu sistem yang relevan saat ini.

Hal tersebut dapat ditilik dari mekanisme Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) yang berantakan. Ditandai dengan terjadinya pengulangan suara, yang menunjukkan ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) KM UII dalam memberikan sarana bagi mahasiswa untuk melakukan pemilihan.

Ditambah dengan ditayangkannya hasil quick count setiap pukul 00.00 WIB, hal tersebut berpotensi menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tengah keberlangsungan Pemilwa.

Tidak adanya perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun dalam terselenggaranya organisasi internal KM UII dapat pula dijadikan sebagai parameter tidak relevannya SG. Hal tersebut terjadi lantaran sistem SG pada kelembagaan KM UII hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan individu belaka.

Melihat struktur kelembagaan, KM UII acapkali berkaitan dengan golongan tertentu yang selalu menguasai dinamika politik UII. Sehingga tidak ada rotasi kekuasaan oleh orang di luar golongan tersebut.

Rotasi kekuasaan yang dimaksud bukan sekadar pergantian pemegang jabatan demisioner ke pemegang jabatan yang baru. Tetapi juga latar belakang dan keberpihakan pemangku jabatan pada suatu golongan atau organisasi luar kampus (eksternal).

Sehingga tidak heran sistem lobbying selalu disalahgunakan oleh oknum legislatif (Dewan Permusyawaratan/Perwakilan Mahasiswa) yang memiliki kepentingan golongan atau organisasi untuk memberikan posisi strategis kepada calon pemegang kekuasaan eksekutif (Lembaga Eksekutif Mahasiswa).

Hal tersebut berdampak pada mandeknya checks and balances. Lantaran antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif telah dikuasai oleh suatu golongan yang sama, sehingga berpotensi terjadi ”rekayasa politik” dalam lingkungan KM UII.

Hal ini dapat dilihat juga dari jumlah suara hasil pemilihan, calon yang mendapatkan suara terbanyak sama sekali tidak ada jaminan untuk mendapatkan posisi strategis. Sistem lobbying yang diterapkan menjadi sebabnya.

Tahap lobbying hanya dijadikan alat untuk mendapatkan posisi strategis bagi mereka yang membawa kepentingan individu semata bukan kepentingan umum mahasiswa.

Ironi, namun ini terjadi pada dinamika kelembagaan KM UII. Keadaan demikian dirasakan oleh Klimus (bukan nama sebenarnya), anggota DPM tingkat Universitas masa bakti 2021/2022. Hal yang sama juga dirasakan oleh Karla (bukan nama sebenarnya) anggota DPM Fakultas Hukum (FH) UII masa bakti 2021/2022 yang mendapatkan suara cukup banyak.

Hal ini berdampak pada kinerja masing-masing lembaga itu sendiri. Salah satu puncaknya adalah Sidang Umum yang mogok dari waktu yang telah ditentukan. Hal ini berakibat pada proses pergantian kekuasaan yang membutuhkan waktu cukup lama dan terkesan sengaja diperlambat.

Penulis berpendapat jika sistem parlementer SG yang berlaku saat ini masih terus dijalankan (dalam, pada atau oleh) KM UII, maka tidak akan ada perubahan dalam dinamika kelembagaan yang telah usang dan berputar pada dinasti yang itu-itu saja.

Struktur kelembagaan KM UII tidak dapat merepresentasikan suara mahasiswa dalam menunjuk pemangku jabatan pada LEM, mandataris terkesan mengamankan kepentingan golongannya sendiri.

Menurut Aribowo, dkk dalam buku Mendemokratiskan Pemilu, demokrasi bisa berjalan kalau masyarakat (dalam hal ini mahasiswa) sadar bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

Sadar bahwa pencapaian tujuan-tujuan dalam mahasiswa diselenggarakan oleh wakil-wakil mereka, dalam satu representatif government, yang dibentuk berdasarkan hasil satu pemilu. Cara ini menjamin mahasiswa sebagai rakyat ikut serta dalam proses politik tanpa sepenuhnya terlibat dalam proses tersebut.

Selama beberapa tahun terakhir, DPM dan LEM tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai representasi dari mahasiswa. Proses pelaksanaan demokrasi KM UII terkesan lebih menitikberatkan kepada pencapaian tujuan daripada proses pencapaiannya. Lebih menekankan aspek formalitas daripada substansi, sehingga tidak mencapai substantif demokrasi.

Substantif demokrasi dalam ranah KM UII akan tercapai jika LEM sebagai wujud pemerintahan eksekutif di UII telah mewujudkan kebutuhan dan keinginan mahasiswa sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Masalahnya adalah apa yang selama ini dilakukan oleh LEM bukan mewujudkan keinginan mahasiswa. Sebaliknya, mereka hanya mengkhianati mahasiswa karena kepentingan individu belaka.

Hal di atas juga berdampak pada partisipasi mahasiswa dan kesadaran politik pada gelaran Pemilwa. Monotonnya rotasi kekuasaan setiap tahunnya membuat mahasiswa enggan menggunakan hak suaranya.

Hal tersebut akan menjadi sia-sia jika politik praktis semacam ini terus dijalankan, walaupun terus memberikan sosialisasi kesadaran politik kepada mahasiswa. 

Siasat Politik dalam Penggunaan Suara

Secara persentase partisipasi mahasiswa pada Pemilwa tahun ini mengalami kenaikan. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 020/KPTS/KPU II/III/2022 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Periode 2021/2022, Pemilwa tahun ini diikuti oleh 30,55% dari total populasi mahasiswa, artinya meningkat 8,92% dari tahun sebelumnya.

Namun kenaikan 8,92% tidak menjamin adanya perlindungan hak setiap mahasiswa dalam memilih secara langsung. 

Melihat informasi Pemilwa melalui laman pemilwa.uii.ac.id, cara memilih calon wakil mahasiswa cukup menggunakan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan Tempat Tanggal Lahir (TTL) dalam Pemilwa kali ini. Cara seperti ini memiliki potensi besar disalahgunakan.

Sebab, tidak ada jaminan keamanan hak suara mahasiswa apakah digunakan oleh orang yang bersangkutan atau bukan. Selain itu, mudahnya mencari data tersebut menjadi celah adanya pencurian suara bagi mereka yang berkepentingan memenangkan pihak tertentu.

Melalui wawancara, penulis bertanya kepada salah satu mahasiswa menyoal penggunaan NIM dan TTL sebagai data yang digunakan untuk masuk ke sistem Pemilwa.

“NIM dan TTL bukanlah data yang bersifat rahasia. Sehingga sangat tidak aman jika digunakan sebagai akses untuk mahasiswa menggunakan hak pilihnya,” ucap Zhafran, mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2021 saat mengobrol santai dengan penulis pada Kamis (7/7).

Betul dalam kenyataannya, celah ini yang dimanfaatkan oleh calon legislatif dalam perhelatan Pemilwa 2021/2022 seperti tertera dalam artikel himmahonline.id, yang bertajuk Karut-Marut Gelaran Pemilwa 2021/2022.

Pencurian suara dialami oleh 73 mahasiswa Prodi Farmasi angkatan 2021, salah satunya Divani Estafiana.

Divani menceritakan bahwa ia tidak dapat memilih caleg karena suaranya telah digunakan sebelumnya. “Setelah aku mau milih lewat tautan resmi Pemilwa, kan disuruh masukin NIM (Nomor Induk Mahasiswa) dan TTL (Tempat Tanggal Lahir), tapi tiba-tiba tidak bisa dan tulisan di lamannya ‘NIM sudah memilih’,” tutur Divani kepada reporter himmahonline.id pada Jum’at (10/06).

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat Zhafran menyoal penggunaan NIM dan TTL mahasiswa sebagai kunci akses untuk menggunakan hak pilih benar adanya. Bahwa penggunaan NIM dan TTL merupakan hal yang tidak aman dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak.

Oleh karena itu, penulis memberikan pandangan untuk sistem Pemilwa dapat menggunakan ID dan Password, seperti yang digunakan pada UII Gateway.

Pihak KPU semestinya dapat melakukan sinkronisasi pada laman pemilwa.uii.ac.id dengan Internet Datagram Protocol (IDP) UII yang biasa digunakan untuk mengakses Gateway dan Zoom Student dengan berkoordinasi dengan pihak Badan Sistem Informasi (BSI).

Belajar dari bobroknya sistem Pemilwa dan positioning struktur kelembagaan KM UII. Menjadi penting adanya perubahan mendasar terhadap mekanisme Pemilwa serta restrukturisasi kelembagaan dan sistem pemerintahan pada KM UII. 

Reformasi Lembaga Mahasiswa

Matinya demokrasi dalam dinamika politik KM UII dapat dilihat dari rendahnya kesadaran politik mahasiswa UII. Keadaan demikian tidak hanya disebabkan oleh sikap apolitis dari mahasiswa itu sendiri. Namun juga dipengaruhi rotasi kekuasaan yang berputar pada golongan itu-itu saja.

Antusias mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pemilwa dimatikan oleh kenyamanan penguasa yang menduduki empuknya jabatan struktural kelembagaan kampus. Hilangnya kesadaran politik mahasiswa menjadi pelumas bagi para administrator parlemen untuk melegitimasi kekuasaannya. 

Parlemen tidak bersikap netral dalam membentuk kabinet DPM dan/atau LEM. Mereka cenderung memberikan jabatan strategis kepada yang sejalan dengan kepentingan pimpinan parlemen. Cara demikian justru mematikan pesaing-pesaingnya dalam dinamika politik UII sendiri.

Pemilwa saat ini dapat dikatakan identik dengan kata formalitas saja, sebab dijalankan hanya untuk melengkapi syarat materiil setiap tahunnya.

Perubahan harus dilakukan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya, tidak ada toleransi lagi untuk mempertahankan sistem yang digunakan saat ini. Bukan hanya sistem pemerintahan dan sistem pemilihannya saja, tetapi juga hierarki kelembagaan KM UII.

Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dijalankan dengan sistem pemerintahan presidensial akan menciptakan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. DPM tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang sepenuhnya menjalankan kedaulatan mahasiswa.

DPM dan LEM dapat saling kontrol, harapannya dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika hanya mengubah sistem pemerintahan tanpa mengubah konsep pembagian kekuasaan, hal tersebut dapat menjadi distribution of power, DPM akan tetap memiliki kekuatan untuk melakukan reshuffle kabinet dengan mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet.

Dengan berjalannya sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan KM UII, penentuan pemegang tertinggi jabatan dalam LEM harus dipilih secara langsung. Dengan demikian, mahasiswa sebagai pemegang kedaulatan tertinggi benar-benar dapat menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang akan memimpinnya.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Skip to content