Fasik dan Bajik, Tegangan Berhala Kelakar Era Teknofil

Alkisah sebagaimana cerita purba dari Pasuruan, Jawa Timur. 

Suatu sore si kusir delman dari Madura asyik mengantar penumpangnya mengelilingi Kota Pasuruan. Ia berkeliling dengan santai hingga tidak terasa jika delman yang dikendarainya membuat kendaraan di belakangnya antre mengular. Macet tak terkira. Kemacetan menjadi-jadi membuat seluruh antrean mobil di belakang delman melontarkan umpatan dan makian.

Hingga tatkala seorang sopir mobil di belakang delman berhasil menyalip delman. Sembari menjalankan mobilnya dengan pelan melewati delman, si sopir melantang teriak kepada si kusir, “Dasar Madura! Gara-gara kamu jalanan jadi macet.” 

Dengan tenang si kusir pun menyahut, “Oalah, Pak! Saya memang dari Madura, tapi kuda delman yang bikin macet ini berasal dari Jawa.”

Humor, kelakar, atau lelucon ini disegarkan kembali Fariz Alniezar dalam kitab Homo Homini Humor (Basabasi, 2019) ketika gerakan literasi dongeng nusantara sepi dari tegangan spiritualitas hidup. Alih-alih, Fariz ingin menggenjot sisi kearifan lokal di Indonesia yang kian hari kian menepi, memudar, dan luntur untuk perbincangan gen milenial. 

Teroka jauh, masihkah kita mengisahkan para nabi agung nan kudus 1400-2000 tahun silam untuk anak-anak kita? 

Sudikah kita menuturkan figur BJ Habibie buat kelola inspirasi anak? 

Beranikah kita menguarkan jiwa populis Presiden Soekarno yang legendaris mampu berbicara minimal sepuluh bahasa? Ada apa di balik nama Kusno, Karno, dan sapaan Bung (bungkusno? dan bungkarno?) untuk Indonesia? 

Kapan kita gaungkan Gus Dur yang mempunyai indra keenam? 

Bob Sadino yang dulu hidup di kontrakan kini jadi miliarder. Ciputra yang awalnya biasa menjadi luar biasa. Bahkan, Susi Pudjiastuti menjadi pelatuk figur teladan yang visioner. 

Intinya, mendongenglah secara logika out of the box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap adab abad XXI.

Konon, ujung kulon Sumatra hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, dongeng mengarsip. Pedalaman adalah lumbung dongeng. 

Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun hingga pusar metropolis, dongeng menjelma kurcaci perlente. Pesona kancil menjadi arkais. Kancil tak lagi parabel dengan pak tani. Kancil kekinian trendi, klimis berkerah dan berdasi. 

Ada apa di balik konon dan kini tradisi gen dongeng kancil?

Era teknofil ini membunuh tradisi keluarga membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Keran televisi seperti tsunami, aneka gim gawai ibarat monster, produksi buku-buku kian menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.

Membacakan dongeng adalah ibadah. Dongeng tidak harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos kancil. Mendongeng adalah suluh komunikasi ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan. 

Mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur, tetapi menularkan moralitas dan spiritualitas hidup inti cerita. Nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya. 

Tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mapel sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas anak. Apabila tahap ini anak senang menikmati dongeng, tentu bergairahlah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. 

Usia emas merupakan satu masa keemasan singkat yang pasti dialami oleh setiap manusia. Periode vital menentukan tahap perkembangan. Masa emas berkisar pada usia 0-6 tahun. Beberapa riset membuktikan bahwa kecerdasan anak mencapai 50% pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasan meningkat hingga 80% dan puncaknya 100% pada usia 18 tahun. 

Usia 3-5 tahun cocok untuk ide dongeng tentang lingkungan, binatang, dan tumbuhan sekitar. Hindarilah dongeng mistis. Usia 5-8 tahun cocok untuk tema imajinasi bebas, negeri khayalan. Si anak mulai bertanya tentang adanya Allah, malaikat, jin, setan, raksasa, kurcaci, dan alam dunia lain. 

Usia 9-12 tahun cocok dengan tema romantisme, petualangan, kepahlawanan yang baik dan bertujuan mulia. Usia 12-18 (fase remaja puber) cocok romantisme, detektif, dan heroik dalam pencarian jati diri. Usia 19 tahun ke atas cocok untuk tema idola yang mematri kehidupan pribadi.

Penanaman nilai dongeng tepat sasaran justru terjadi pada rentang usia 3-8 tahun. Anak masih mudah tergugah emosi. Anak cepat menangkap gambaran akibat baik dan buruk suatu perbuatan. Setidaknya ada empat nilai hakiki yang mematri benak anak, yaitu persahabatan, kepahlawanan dan perjuangan, pesan jangan berbuat jahat, serta nilai akibat durhaka kepada orang tua. 

Berani mencukil berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.

Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang bahela sangat intim dengan fase kanak-kanak, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. 

Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang. Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut “mentimun ranum”. Pejabat tidak berpikir “mentimun” itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.

Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting dulce et utile.

Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, menjelma dalam kehidupan. Para politisi yang bertabiat fasik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku pun layaknya kancil. Para orang tua zaman gawai wajib mengemas dongeng edukatif sehingga anak-anak aman meneladan kisah.***

Skip to content