“Pak, bagaimana cara kita sebagai generasi muda muslim Indonesia agar bisa terhindar dari pengaruh liberal seperti feminisme?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh salah seorang Mahasiswa UII kepada narasumber pada salah satu acara kuliah umum dalam rangka Milad ke-24 FPSB (Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya). Sontak, sebagian peserta acara yang kaget terlihat cengengesan dan ada juga yang terlihat serius mendengarkan seolah mendukung pertanyaan tersebut.
Kejadian menarik lainnya, ketika adanya pembatalan secara sepihak kajian feminisme yang diadakan oleh WMYK (Women March Yogyakarta) bekerja sama dengan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII yang rencananya akan mengangkat tema isu kekerasan dan pelecehan seksual di kalangan kampus dan masyarakat. Selain itu, juga mendukung pengesahan RUU-PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) sebagai payung hukum bagi korban dan masyarakat dari pelaku tindakan kekerasan seksual. Berdasarkan press release, pihak WMYK mendapatkan kabar jika pihak kampus tidak menyetujui adanya kajian tersebut dan membatalkan secara sepihak satu hari sebelum acara karena tema yang diangkat masih menjadi pro dan kontra di masyarakat
Berdasarkan dua contoh diatas, penulis lalu bertanya, memangnya ada yang salah ya dengan feminisme?
Ketakutan yang tidak mendasar
Secara bahasa, feminisme berasal dari kata femme, yang dalam bahasa Perancis berarti perempuan. Dalam kamus Merriam-Webster, feminism berarti: “the theory of the political, economic, and social equality of the sexes.” Sederhananya, feminisme adalah sebuah teori atau paham yang memperjuangkan kesetaraan dalam dimensi politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Gerakan ini muncul karena dalam sejarah dunia, banyak aspek kehidupan yang selama ini selalu didominasi oleh laki-laki, seperti penulisan teks religius, akses terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dan soal kepemimpinan. Urusan domestik sepenuhnya diserahkan kepada perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki menjadi lebih superior dalam relasinya dengan perempuan sehingga menciptakan lingkungan yang patriarki. Ada glass ceiling atau atap kaca yang menghalangi perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam karirnya, sebuah atap kaca yang dibentuk secara sosial. Feminisme pun muncul guna memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini ditindas.
Terdapat berbagai mitos dan kesalahpahaman terhadap feminisme seperti; feminisme benci laki-laki, feminisme pasti ateis, feminisme melarang perempuan untuk mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya. Feminisme seolah dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya bagi peradaban umat islam. Anggapan ini muncul dikarenakan banyak pihak yang memahami feminisme berasal dari budaya barat yang tidak relevan dengan ajaran Islam. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, Agama Islam memiliki “nafas” yang sama dengan feminisme. Yaitu menciptakan perdamaian dan keadilan setiap insan, baik itu kepada laki-laki maupun perempuan.
Seorang duta besar Uni Emirat Arab untuk Rusia, Omar Saif Ghobash dalam bukunya berjudul “Letters to a Young Muslim” mengatakan bahwa, tidak ada contoh terbaik dalam hal emansipasi perempuan selain sosok Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW. Khadijah juga merupakan seorang pebisnis wanita independen yang kaya raya. Hartanya yang melimpah digunakan untuk membantu proses dakwah Rasulullah.
Maka dari itu, kekhawatiran terhadap feminisme dapat diibaratkan seperti sebuah fobia. Dalam pengertiannya, fobia merupakan ketakutan berlebihan terhadap suatu hal yang berasal dari pemikiran yang irasional. Dalam konteks ini, pemahaman yang keliru terhadap feminisme, menimbukan miskonsepsi yang menakutkan dan diyakini oleh beberapa kalangan.
Perempuan dalam pusaran ketidaksetaraan
Sebagai sebuah institusi pendidikan yang didirikan oleh para tokoh bangsa, UII menamai gedung-gedung yang ada di kampus dengan nama para tokoh nasional. Seperti perpustakaan pusat yang dinamai gedung Moh. Hatta dan gedung auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir. Hal ini merupakan bentuk penghargaan atas perjuangan dan jasa para pahlawan. Penamaan tersebut juga diharapkan mampu menjadi inspirasi dan acuan bagi mahasiswa.
Dari semua gedung yang ada di kampus, apakah kalian sadar, ternyata sama sekali tidak ada nama gedung yang diambil dari nama tokoh perempuan! Apakah memang tidak ada tokoh dari kalangan perempuan yang namanya layak dijadikan nama gedung agar menjadi inspirasi dan acuan bagi mahasiswa?
Berdasarkan pengamatan singkat yang dilakukan penulis, saat ini kampus kita memiliki kondisi dimana dominasi laki-laki sangat mudah ditemui, khususnya dalam aspek kepemimpinan. Jika diperhatikan, dari awal berdiri hingga sekarang, seluruh Rektor UII merupakan laki-laki. Belum ada satupun perempuan yang pernah menjabat. Hal ini tentu berbeda dengan kampus tetangga terdekat kita yaitu UGM, yang pernah memiliki rektor seorang perempuan.
Kondisi yang sama pun terjadi di lembaga mahasiswa, dimana terdapat ketimpangan dalam posisi strategis di suatu organisasi. Pada periode 2018-2019, di tingkat universitas, hanya terdapat 1 orang perempuan dari 12 orang yang menjabat di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U). Di Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM-U), posisi jabatan strategis (ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum serta kepala bidang) mayoritas diisi oleh laki-laki, dimana hanya ada 1 orang perempuan dari 10 orang yang menjabat. Kondisi ini semakin buruk di tingkat fakultas, dimana dari 8 fakultas yang ada, seluruh ketua DPM Fakultas maupun ketua LEM Fakultas adalah laki-laki!
Apakah memang hanya sedikit mahasiswi UII yang memiliki kapabilitas sebagai pemimpin?
Pada kegiatan sehari-hari di kampus misalnya, mungkin kalian pernah mendengar ungkapan seperti; “Ketua organisasi haruslah laki-laki!” atau “Kenapa ngga perempuan aja yang jadi bendaharanya? Kan perempuan lebih teliti!”. Meskipun terkesan sepele, ungkapan tersebut sangatlah diskriminatif karena telah mendiskreditkan peran perempuan.
Penulis yakin bahwa secara struktural di kampus kita memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk menjadi pimpinan instansi maupun ketua organisasi. Namun secara kultural, ada kemungkinan terdapat konstruksi sosial bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin. Sehingga hal ini secara langsung maupun tidak langsung menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin. Belum lagi narasi yang sudah terbangun mapan terkait perjuangan tokoh universitas, hampir semua yang sering kita dengar didominasi oleh tokoh laki-laki.
Secercah harapan itu masih ada
Memang sudah menjadi tempatnya, kampus sebagai ruang untuk mengkaji berbagai fenomena sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Peran utama seorang akademisi juga untuk mempelajari berbagai fenomena sosial dari berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini bertujuan agar kita memiliki kebijaksanaan dalam bersikap. Terlebih sebagai seorang terpelajar, kita harus mampu menjelaskan fenomena sosial kepada masyarakat dengan ilmiah, bukan sekedar berdasarkan prasangka dan emosi belaka.
Kampus seharusnya tidak boleh bersikap eksklusif serta menutup diri dengan berbagai perbedaan pemikiran yang ada. Seorang akademisi juga harus berperilaku adil, tidak boleh bersikap seolah kebenaran itu berasal dari kelompoknya saja. Harus kita sadari, bahwa perbedaan merupakan Sunnatullah. Lagipula, tidak semua hal yang berasal dari luar ajaran islam tidak memiliki nilai kebaikan sama sekali. Dalam Q. S Al-Hujurat ayat 13, telah dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-berbeda, bukan untuk bermusuhan, tapi untuk saling mengenal. Bisa saja Allah menciptakan kita semua sama, namun Allah justru menciptakan kita berbeda-beda, lalu kenapa kita sebagai makhluk-Nya malah sering menuntut untuk sama?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab seluruh pihak untuk saling bekerjasama guna menciptakan ruang diskusi yang demokratis dalam mengkaji secara ilmiah berbagai fenomena di masyarakat. Peran para pemangku jabatan struktural Universitas maupun kelembagaan mahasiswa haruslah menjamin terpeliharanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat di kampus.
Penulis yakin, sebenarnya banyak mahasiswi UII yang memiliki potensi terpendam, termasuk dalam kompetensi kepemimpinan. Diperlukan terciptanya lingkungan kampus yang mampu mendukung para mahasiswi untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Peran berbagai organisasi, khususnya kelembagaan mahasiswa sangatlah penting. Lembaga mahasiswa diharapkan mampu menginspirasi para mahasiswi untuk berkontribusi lebih dalam aspek kepemimpinan organisasi. Jika hal ini terlaksana dengan baik, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita dapat melihat semakin banyak perempuan yang terlibat lebih dalam roda organisasi
Hj. Rasuna Said, seorang Ulama perempuan dan Tokoh Nasional pernah berkata:
“Perempuan haruslah mandiri, bukan hanya pada pendidikan melainkan punya peran besar terhadap apa yang boleh, apa yang tidak boleh untuk negara dan bangsa”
Bukan saatnya lagi kita melihat kompetensi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Maka dari itu, sudah saatnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peranan sentral dalam berbagai aspek kehidupan. Jika lingkungan kampus cenderung bersifat eksklusif, lantas, apakah UII akan tetap menjadi kampus yang rahmatan lil alamin?
Oleh: Inda N Sembiring dan Kenny Meigar (keduanya merupakan mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia dan juga merupakan akademisi pemerhati isu Hak Asasi Manusia)
*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.