Jalan Khidmad Mas AE

Anang Eko Priyono atau saya biasa sebut Mas AE menghembuskan nafas terakhir pada Minggu 12 April siang di Rumah Sakit Polri, Jakarta. Indonesia kehilangan seorang tokoh intelektual gerakan masyarakat sipil yang otentik, konsisten dan prinsipil.

Saya tahu Mas AE pertama kali saat saya menginjak masuk organisasi Pers Mahasiswa HIMMAH di tahun 2000-an. Saat itu saya masuk kepengurusan organisasi sebagai staf redaksi. Saya tidak kenal Mas AE secara langsung, namun senior – senior kami yang menyambungkan masa kepengurusan kami saat itu dengan generasi kepengurusan Mas AE, sekira 20 tahun sebelumnya.

Dokumentasi Majalah HIMMAH dan sebelumnya, yang bernama Muhibbah, sebagian masih tersimpan di kantor kami, yang dulu terletak di tepi jalan Cik Di Tiro, sebelum dibongkar menjadi area pelataran parkir Bank Mandiri Syariah. Melalui manuskrip-manuskrip tersebut terbayang betapa dahsyatnya kepengurusan majalah mahasiswa UII pada masa itu.

Sejarah memang mencatat bahwa ada yang janggal pada transisi pergantian Majalah Muhibbah menjadi HIMMAH, periode tahun 1982-1983. Sebagaimana disebut oleh Hamid Basyaib dalam obituarinya mengenang meninggalnya Mas AE, Majalah Muhibbah dibredel oleh rezim Orde Baru pada 9 Desember 1982, sehari sebelum dunia Internasional merayakan Hari HAM sedunia.

Pada struktur Majalah Muhibbah saat dibredel, Mas AE adalah Pemimpin Redaksi, sedang Pemimpin Umum dijabat oleh Moh. Mahfud MD. Sejumlah aktivis saat itu dan belakangan menjadi deretan intelektual top masuk dalam jajaran kepengurusan, seperti Hamid Basyaib dan Priyambudhi, jika tidak salah.

Apa dasar gerangan pembredelan oleh Pemerintah saat itu? Saya tak tahu persis. Menurut senior kami, langkah pembredelan bersumber pada dimuatnya sebuah artikel rubrik internasional yang mengulas tentang kesamaan sistem politik Indonesia–tentu di bawah Orde Baru–dengan pemerintahan junta militer di Myanmar. Sama-sama negara otoritarian dipimpin militer, mengontrol penuh kebebasan warganya dan tak kenal oposisi.  

Benar – tidaknya kabar itu, bagi generasi kami tidak tahu secara pasti. Jarang sekali ada yang mengulas bagian sejarah ini, termasuk sebuah memoar bernada marah oleh Iman Masfardi di buku Api Putih di Kampus Hijau, yang disunting Mas AE, terbit sekira tahun 2013. Iman Masfardi selaku penulisnya sendiri tidak mengupas kasus itu secara lugas. Namun dengan nada eufemistik dia menggugat keabsahan kepengurusan HIMMAH yang dia anggap sebagai bagian dari deal-deal pragmatis antara sebagian pengurus Majalah dengan pimpinan kampus atas represi dari aparat.

Pragmatisnya adalah alih-alih memperjuangkan kembali surat izin penerbitan yang dianggap seperti nyawa pers, termasuk pers mahasiswa, oleh Pemerintah saat itu, pengurus baru merestui permintaan untuk mengeluarkan sejumlah nama dari struktur kepengurusan Majalah Muhibbah. Tentu alasannya adalah mengancam kepentingan Pemerintah. Nama Mas AE masuk dalam daftar terlarang yang masuk dalam struktur HIMMAH terbaru yang di luar sepengetahuannya sebagai bagian dari barter dari deal-deal tersebut. Demikian cerita yang pernah saya dengar dari almarhum. Benar-tidaknya hal ini perlu klarifikasi banyak pihak tentu saja.

Yang saya tekankan di sini adalah bagaimana sifat non komprominya Mas AE terhadap kekuasaan. Pilihan ini dia pilih hingga akhir hayat, sebagaimana juga tersirat dalam memori Denny JA mengenang almarhum. Dalam beberapa tahun terakhir dia aktif mendalami sufisme ketimbang ikut keriuhan politik nasional, meski dia punya kesempatan besar sebagai bagian dari pendukung Jokowi Jilid 1, mungkin juga Jilid 2. Namun dia tetap setia di trek independen, jalur masyarakat sipil dengan memprovokasi gagasan dari luar kekuasaan.

Secara rendah hati sikap non komprominya itu yang sering saya perhatikan dalam percakapan di antara kami. Saya membayangkan dia lebih senang menyelesaikan tulisan dengan menginap di kantor berhari-hari, dibanding menghabiskan waktu rapat-rapat pimpinan manajemen perusahaan atau perkantoran, misal. 

Cara khidmad yang ditempuh Mas AE memang demikian. Dan saya kira Muhibbah saat itu menjadi saksi konsistensi sikapnya di masa lalu. Lewat jalan itu dia tumbuh dan berkembang, mengembara mengarungi cakrawala pemikiran luas. 

Selamat jalan Mas AE.

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content