Sepak Bola dalam Pusaran Politik dan Semangat Nasionalisme

Judul: Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965

Penulis: R. N. Bayu Aji 

Penerbit: Kendi 

Tahun: Pertama, 2022

Tebal: 211 Halaman 

ISBN: 6239671954

“Sports has something to do with politics! Indonesia proposes now to mix sports with politics.” Begitulah antitesis Soekarno menanggapi pernyataan Frankly, wakil dari Komite Olimpiade Internasional. Suatu ketika Frankly pernah berujar “Sports are sports, do not mix sport with politics”.  Bagi Soekarno, itu tidak benar. Justru dengan wataknya, olahraga menjadi semacam konvergensi yang mempertemukan berbagai kepentingan, termasuk politik. 

Bukan tanpa dasar Soekarno mengatakan seperti itu. Ia melihat adanya kontradiksi setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional serta dilarangnya sebagian negara komunis bergabung dalam Olimpiade mencakup China, Vietnam, dan Korea Utara. Sejak saat itulah Soekarno kian tegas dan jelas mendeklarasikan bahwa olahraga selalu bertaut dimensi politik.

Apalagi di saat Soekarno harus menelan pengalaman pahit ditolak bergabung sebagai anggota perkumpulan sepakbola karena berasal dari kalangan inlander. Melalui Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Cindy Adams bercerita bahwa Soekarno kerap mendapat perlakuan rasis dari anak Belanda. “Hei, kau,, bruine,,, hei, anak kulit coklat goblok yang malang, bumiputera,,, inlander,,, anak kampung,,, hei kamu lupa memakai sepatu,,,”. Demikianlah umpatan rasis yang ditujukan kepada Soekarno. 

Melalui pengalaman pahit inilah Soekarno jelas semakin tidak percaya bahwa olahraga adalah bagian yang terpisah dari dunia sosial dan politik.  Justru olahraga dari waktu ke waktu kian memperlihatkan keterkaitannya dengan politik, terutama dalam pembentukan dan penerapan nilai nasionalisme, baik sebelum kemerdekaan maupun di awal-awal kemerdekaan. 

Secara periodik, R.N. Bayu Aji menarasikannya dalam Politik Nasionalisme Sepak Bola Era Soekarno 1950-1965. Kita bisa melihat perkembangan awal sepakbola Hindia Belanda yang ditandai dengan kemunculan tiga bond (perkumpulan) pada masa kolonial, yakni Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB), dan Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI). 

NIVB menjadi satu-satunya organisasi sepakbola bentukan kolonial yang secara gradual dianggap tidak bisa mewadahi aspirasi keberadaan bond sepakbola selain orang Belanda maupun Eropa. Di saat yang sama, kemunculan bond sepakbola Tionghoa juga terus dinamis. Puncaknya, ketika HNVB didirikan pada 1930 sebagai bentuk nyata impian orang Tionghoa mempunyai induk organisasi tertinggi. 

Dari golongan Bumiputera, induk organisasi sepakbola tertinggi juga turut didirikan sebagai bagian dari tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Pada 19 April 1930, utusan-utusan dari tujuh bond sepakbola Indonesia membentuk Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai bentuk persatuan sepakbola nasional. Ir. Soeratin terpilih sebagai ketua dalam pembentukan pertama PSSI itu. 

Setelah PSSI terbentuk, keinginan kuat agar sepakbola Indonesia tidak terintervensi kepentingan pemerintah Kolonial pun berlangsung sengit. Salah satunya ketika terjadi pembatalan gentlemen’s agreement antara PSSI dengan NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie), nama baru NIVB terkait nama kesebelasan yang akan dikirim ke Prancis jelang Piala Dunia 1938. Meskipun PSSI bersikukuh bahwa wakil di Piala Dunia adalah PSSI, namun FIFA mengakui bahwa NIVU lah sebagai wakil Dutch East Indies (Hal-40). 

 Kehadiran PSSI bagi Indonesia membuat sepakbola Indonesia dapat diorganisir dengan baik. Setelah Indonesia merdeka, PSSI kian dinamis mengurus persepakbolaan Indonesia. Pada kongres ke XII di Semarang tahun 1950, namanya berubah menjadi “Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia” dengan mengikuti perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Pada kongres itu pula lah, R. Maladi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan Soekarno terpilih menjadi ketua. 

Juga di era Maladi ini, Timnas Indonesia ikut serta dalam ajang Asian Games 1951 di India untuk pertama kalinya. Kendati kalah 3-0 dari tuan rumah, Maladi sadar bahwa PSSI mesti berbenah. Ia kemudian menekankan adanya pembangunan fisik dan mental yang menjadi modal utama PSSI seiring bergulirnya zaman. Sebagai salah satu paradigma gerakan, aspek historis latar belakang perjuangan dan pergerakan nasional di tahun 1930 berulang kali diingatkan Maladi agar PSSI senantiasa mengedepankan semangat perjuangan dalam tiap dinamikanya. 

Sebab, mengedepankan perjuangan PSSI bagi Maladi, adalah sebentuk kekuatan olahraga yang berasaskan dimensi persatuan dan kekeluargaan, jiwa dan semangat kebangsaan, kesucian amatirisme, kerakyatan, dan semangat “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Melalui prinsip inilah dirinya digadang sebagai peletak dasar sepak bola modern. Di bawah kepemimpinan Maladi juga Indonesia masuk menjadi anggota FIFA setelah berhasil lepas dari belenggu kolonial sebagai negara merdeka dan berdaulat. 

Masing-masing kepengurusan PSSI di era Soekarno memiliki ciri khas tersendiri. Era Abdul Wahab Djojohadikusumo (1959-1964) misalnya selalu berpegang pada motto iklim yang sehat dalam sepak bola. Bagi Abdul Wahab, PSSI merupakan alat negara, baik dalam ide dan teknis. Karena itu, di eranya inilah pembinaan bibit-bibit usia muda sepak bola di bawah 16 tahun bernama Gawang terus digalakkan. Sama halnya dengan era Maulwi Saelan (1964-1967) yang menjadikan PSSI sebagai ruang pengabdian pada kebanggaan dan semangat nasionalisme. 

Sepak bola adalah ruh bangsa. Di dalamnya, dimensi praksis nasionalisme terus digencarkan, seperti yang diperagakan oleh tiga kepengurusan PSSI di masa Soekarno. Ketiganya memiliki kesamaan, sama-sama memandang sepak bola dan juga PSSI sebagai alat pemersatu bangsa dan ruang memperkenalkan Indonesia di mata internasional. Upaya macam inilah yang membuat Indonesia terus eksis di kancah internasional kala itu. 

Eksistensi sepak bola Indonesia dalam pelbagai kompetisi turut disorot oleh penulis. Mulai dari keikutsertaannya dalam Asian Games, Olimpiade Melbourne 1956, Piala Dunia, Ganefo (Games Of the New Forces), dan beberapa pertandingan persahabatan Tur Eropa Timur. Eksistensi Timnas pada berbagai perhelatan internasional selalu diiringi wacana politik. Ganefo, misalnya, dijadikan oleh Soekarno sebagai sarana untuk mendukung politik luar negerinya yang beraliran anti kolonialisme-imperialisme, atau saat tur ke Eropa Timur yang hendak menunjukkan eksistensi Indonesia setelah merdeka dalam dunia internasional. 

Demikianlah sepakbola selalu berkelindan dengan dimensi politik, baik untuk tujuan positif maupun negatif. Di sisi lain, sepak bola menjadi sarana efektif penyaluran semangat nasionalisme. Seperti diungkap Sartono Kartidirjo bahwa prinsip nasionalisme, salah satunya, adalah artikulasi dalam bentuk prestasi yang diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara bangsa. (Hal-188)

Meski begitu, semangat nasionalisme mesti terus dikawal agar tidak mengalami pasang surut, seperti yang terjadi pada skandal suap yang menimpa dunia sepak bola kita di tahun 1962-1965. Di titik ini idealisme para pemain dipertaruhkan. Jangan sampai idealisme tergantikan oleh hasrat kepentingan dalam bentuk apa pun, kecuali hanya satu; nasionalisme. Salah satu penyangga terbentuknya prinsip idealisme adalah sejarah. Melihat masa lalu sebagai entitas  sublim sumber pembelajaran inspiratif. Dan kita bisa belajar dari buku ini. 

Skip to content