Judul: Sepotong Hati di Angkringan
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Diva Press
Terbit: 2021
Tebal: 80 Halaman
ISBN: 9786232933163
Lanskap kota Yogyakarta seperti menjadi atribut yang tidak bisa kita pisahkan dari sajak-sajak Joko Pinurbo. Kita mengenal kalimat terkenal itu datang dari petikan sajak Jokpin (panggilan Joko Pinurbo), bahwa “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”.
Maka kita juga bakal tidak terkejut saat tahun 2021, Jokpin hadir kembali dalam dua buah buku puisi: Sepotong Hati di Angkringan (Diva Press, 2021) dan Salah Piknik (GPU, 2021). Keduanya diterbitkan dalam kurun waktu tak berjauhan. Salah satu di antaranya, yaitu Sepotong Hati di Angkringan, kita pun bisa mendapati nuansa “Kota Pelajar” itu dalam sejumlah puisi-puisi di dalamnya.
Namun, kita mendapati perbedaan dari buku-bukunya terdahulu. Dalam puisi-puisinya itu, selain menampilkan kota Yogya dengan segala keunikannya, Jokpin juga merekam sekian hal yang berhubungan dengan situasi pandemi saat ini.
Perihal kota Yogyakarta, kita mafhum mendapati penggambaran itu dalam puisi yang dijadikan judul buku ini. Jokpin menampilkan paradoks kisah cinta dengan latar sebuah angkringan. Keduanya melebur dalam satu bait puisi yang menggelitik perut sebab mengandung kekocakan, sekaligus menyentil jiwa-jiwa muda yang mengakrabi kisah cinta.
Kita cerap petikannya yang berbunyi begini:
Pada suatu malam yang nyamnyam/ kau menemukan sepotong hati yang lezat/ dalam sebungkus nasi kucing. Kau mengira/ itu hati ibumu atau hati kekasihmu. Namun,/ bisa saja itu hati orang yang pernah kausakiti/ atau menyakitimu. / Angkringan adalah nama/ sebuah sunyi, tempat kau melerai hati, /lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi. (Sepotong Hati di Angkringan, hal. 23)
Dari puisi itu, Jokpin memulainya dengan satu baris yang memainkan suara, yang bisa kita duga menggambarkan malam yang asyik dengan obrolan dan kunyahan lezat pengunjung angkringan. Situasi itu menjadi simbol kota Yogyakarta yang komunal, bawah di setiap tempat, terlebih angkringan menjadi latar berkumpul untuk berdiskusi atau sekadar bercengkraman menghabiskan malam.
Lalu, di baris berikutnya kita mendapati hentakan yang bisa diduga sebagai ingatan atau kerinduaan atas seseorang. Kita bisa membayangkan seseorang ketika tengah berada dalam situasi angkringan yang ramai. Bayangan itu tahu-tahu menyeruak dalam pikiran kita.
Namun, Jokpin langsung menandaskan bahwa itu sesuatu yang wajar di tempat-tempat tertentu, terutama di angkringan. Sebab, ingatan akan sesuatu kerap kali tidak mengenal tempat. Jokpin pula memberi petuah yang sedikit menenangkan dengan dua baris terakhirnya, bahwa situasi komunal yang tergelar di angkringan bisa melerai bayangan menyakitkan dan sepi dalam diri kita.
Masih soal Yogyakarta dan kesepian, Jokpin menggambarkan satu puisi yang melekatkan citra pengarang sebagai sesuatu yang jamak kita dapati di kota tersebut. Ia seperti tengah menggambarkan dirinya yang tiba di fase macet di depan laptop. Kata-kata sulit terangkai, ide mandek, dan saking tak kuatnya, kita cuma bisa meratapinya. Gambaran itu yang ada pada puisi yang berjudul “Sajak Sebutir”. Kita cerap lagi satu baitnya yang berbunyi:
Berjam-jam suntuk di depan laptop/ cuma mendapat sebutir air mata. Ya tidak / apa-apa, disyukuri saja. Ia akan tumbuh menjadi / sebongkah doa: siap ditempa dalam derita. (Hal. 29)
Dengan pemilihan kalimat yang tak terduga, Jokpin memberi petuah mengenai diri yang mesti siap menghadapi berbagai macam derita, seperti saat pekerjaan kita tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya. Ia seolah memberi tepukan pada punggung kita, bahwa hal-hal yang kita pandang sebagai nestapa baik yang dihadirkan dari perasaan sepi saat di angkringan, ataupun saat kita mendapati kemandekan dalam pekerjaan, kita senantiasa memperolah cara lain untuk melewatinya. Kata syukur dan melihat dengan kacamata yang berbeda menjadi hal yang ingin ditunjukkan oleh Jokpin.
Napas serupa juga bisa kita lihat dalam puisi-puisinya yang lain. Terutama, ketika ia mengisahkan situasi terkini saat kita masih berperang melawan pandemi Korona. Jokpin merekam situasi yang kita pernah melakukan work from home, study from home, dan pembatasan sosial yang membuat kita hanya bisa tinggal diam di rumah.
Kesuntukan yang dirasakan sebagian besar dari kita bisa tertangkap dengan baik oleh kacamata penyair ini. Di tangannya, pandemi korona ini dimaknai sebagai jalan panjang yang tak jelas juntrungan, yang menjebak kita, yang ujungnya tidak kelihatan. Seperti yang dikatakan pada puisi “Jalan Korona” berikut ini:
Pandemi mengantar kita ke sebuah jalan/ yang dinaungi sepi dan senja. Jalan yang terasa/ jauh dan entah akan sampai di mana, padahal/ hanya berputar-putar di sekitar rumah kita. (Hal. 58)
Namun, dari situasi yang menjebak tersebut, Jokpin memberi pilihan alternatif untuk membuat kita mengusir kesepian dan lebih mengenal diri serta lingkungan sekitar kita. Kita tahu, tidak banyak yang bisa kita lakukan saat sedang di rumah, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri dipagut kesepian.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di rumah. Seperti dalam puisinya yang berjudul “Berkenalan dengan Rumah”, Jokpin menyikapi rumah bukan saja sebagai benda mati dan tempat tinggal semata, melainkan juga sebagai entitas hidup yang berisi beragam makna. Pada bait pertamanya, ia mengajak kita mengenali setiap sudut dan bagian dari rumah yang, barangkali, selama ini hanya kita anggap sebagai alat semata.
Padahal, bisa saja dari sebuah daun jendela, kamar tidur, kursi, atau toilet, tersimpan nilai akan sesuatu hal yang pernah berarti bagi kita. Barangkali, pernah kita menciptakan kenangan manis saat di kamar tidur, atau kursi yang ada di ruang tamu dulu kita beli dari hasil gaji pertama kita, atau daun jendela kamar, pernah ada kucing kesayangan kita yang saban sore duduk asyik di sana.
Semua hal itu mungkin tampak sepele. Namun, Jokpin mengajak kita mengenali setiap sudut rumah dengan kenangan atau nilai historisnya, sehingga, kita bisa menghadirkan kebermaknaan yang lain dalam hidup kita, terutama saat berada di situasi pandemi sekarang ini.
Sebab, bagi Jokpin, seperti yang digambarkan pada akhir puisinya bahwa:
Rumah bukan hanya tempat tinggal. Rumah adalah/ teman seiring seperjalanan sepengembaraan/ sebelum kamu benar-benar mendapatkan rumah. (hal. 60)
Dia menegaskan eksistensi rumah yang bisa kita pandang bukan sebagai tempat tinggal semata, melainkan sebagai teman yang bersamanya kita pernah berjuang bersama dan melewati banyak rintangan, sebelum kita mendapati rumah (atau peraduan terakhir) dari perjalanan hidup kita sebagai manusia. Ya, patut kita duga, bahwa rumah pada baris terakhir puisi ini merujuk pada rumah atau tempat di haribaan Tuhan, yaitu tempat terakhir kita, tempat yang benar-benar menjadi rumah kita kelak.
Begitulah Jokpin melihat segala sesuatunya dengan perspektif yang berbeda. Dari rumah, angkringan, meja kerja, dan kesuntukan serta kesepian yang menyertai tempat-tempat itu saat kita berada di dalamnya, Jokpin memberi pemaknaan baru atas hal-hal tersebut.
Ada optimisme yang coba ditiupkan Jokpin untuk menyikapi situasi sulit yang sedang kita jalani saat ini. Ia sadar kalau pandemi memberi dampak psikologis terhadap masyarakat, sehingga membuat kita kehilangan semangat, merasa pesimis, dan tidak yakin bisa melewatinya atau tidak.
Namun, lewat puisi-puisinya, Jokpin bukan saja menghadirkan parodi dengan lompatan kata dan kalimat-kalimat tak terduga untuk menghibur kita, melainkan juga meniupkan ruh semangat dan optimisme untuk mensyukuri keadaan, juga untuk meyakinkan diri kita bahwa kita bisa melewatinya.
Seperti pada puisinya yang lain lagi, yang berjudul “Lukisan Natal”, Jokpin meyakinkan kita akan satu optimisme itu dengan:
Sebuah sunyi/ meledak di tengah pandemi./ Sebuah Indonesia/ sedang dilahirkan kembali. (hal. 75)
Kita, juga seluruh masyarakat Indonesia, barangkali memang sedang menghadapi kesunyian kita masing-masing. Kendari demikian, momen itu bisa kita pandang sebagai ajang mengenali diri kita, menerima situasi kita, dan menjadi kesempatan untuk melahirkan diri kita yang baru, yaitu kita yang lebih kuat dan tangguh lagi.