Merawat Keberagaman dan Persatuan di Dunia Maya

Revolusi Industri 5.0 menuntut kita untuk terus bergerak serta beradaptasi. Ketika saya kecil, doktrin dari orang dewasa kala itu adalah bahwa dunia dibagi menjadi dua. Pertama dunia nyata yang saat ini kita tempati sekaligus tempat berinteraksi dengan manusia lainya, kedua dunia akhirat yang akan menjadi lahan kehidupan setelah hari akhir tiba. Rasa-rasanya doktrin itu mulai bergeser, yakni kehidupan kita terbagi antara dunia nyata dan dunia maya. Maka tidak heran jika kakek-nenek, remaja, bahkan balita sudah dikenalkan dengan smartphone bukan smart people ala Deddy Corbuzier.

Patut disayangkan ketika masyarakat Indonesia berbondong-bondong melakukan life and work transformation dari dunia nyata menuju dunia maya, tetapi tidak dibarengi dengan human transformation. Hal itu menjadi penting mengingat ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap media sosial sangat tinggi. Lembaga survei global Ipsos for Reuters News merilis temuannya bahwa pengguna media sosial masyarakat Indonesia adalah yang tertinggi di antara 24 negara dan menyumbang persentase 83%, menyisihkan China dan India.

Di tengah euforia dunia maya, saya akan mengajak melakukan kilas balik terhadap dinamika dunia maya. Ketika masih bekerja di Semarang awal 2017, saya pernah mengikuti kegiatan kajian dakwah. Hampir 95% jamaah adalah anak muda, bahkan anak muda yang populer termasuk didalamnya. Beriringan dengan itu 80% jamaah aktif melakukan dakwah di media sosial, termasuk forum kajian juga melakukan live streaming tentu untuk menjangkau kalangan yang lebih luas.

Saya aktif menjalin komunikasi sekaligus mengikuti perkembangan media sosial beberapa jemaah yang sudah saya kenal. Di sinilah naluri pikiran saya merasakan kejanggalan karena konten dakwah yang disebarkan bernada provokatif. Belakangan saya ketahui bahwa afiliasi komunitas ini adalah Jemaah Islamiyah, yakni gerakan bawah tanah yang menjadikan barat sebagai musuh dan tentu kita bisa menebak komunitas ini mencita-citakan negara apa? Jelasnya bukan negara demokrasi.

Kebalikan dari peristiwa di atas, banyak masyarakat yang terhipnotis dengan supremasi kaum nasionalis populisme, yakni orang-orang berpengaruh yang serampangan dalam menerjemahkan sikap nasionalisnya. Hal itu justru menggiring opini publik menuju diskriminasi rasial. Salah satu contohnya adalah xenophobia. Menurut Cambridge Dictionary, xenophobia adalah ketakutan atau ketidaksukaan terhadap orang asing, adat istiadat, agama, dan lain-lain.

Fenomena xenophobia seringkali menyasar warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa. Salah satu penyebabnya yaitu kebijakan presiden Soeharto, misalnya pelarangan etnis Tionghoa menjadi anggota TNI, melarang tulisan Mandarin di Indonesia, menutup sekolah-sekolah Tionghoa, dan pekarangan melakukan kegiatan keagamaan selain di lingkungannya sendiri.

Warisan Orde Baru, seperti ini pada akhirnya membentuk sikap diskriminasi sejak dalam pikiran. Masyarakat menjadi sulit membedakan antara WNI etnis Tionghoa dan Tiongkok sebagai negara. Ketidaktahuan masyarakat seperti ini yang sering dimanfaatkan oleh kaum nasionalis populisme untuk menyerukan kebencian terhadap etnis asing yang dianggap bukan etnis asli Indonesia.

Akhir-akhir ini kita sering dijamu politik SARA oleh penduduk dunia maya. Sebutan populer dari warganet yaitu buzzer atau seseorang yang aktif menyuarakan pendapatnya dengan identitas pribadi atau identitas yang disembunyikan guna menyatakan suatu kepentingan di media sosial.

Buzzer dibutuhkan untuk mendukung opini seseorang atau sekelompok orang dengan suara yang sama guna mempengaruhi pengguna media sosial lainya. Pasukan buzzer ini terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu pro-pemerintah dan kubu oposisi. Bagaikan kisah Uni Soviet dan Amerika serikat, para buzzer juga terlibat perang dingin di media sosial.

Tentu kita semua ingat dengan orkestrasi Pilpres 2014 antara Jokowi-Jusuf Kalla melawan Prabowo-Hatta dan 2019 antara Jokowi-Ma’ruf melawan Prabowo-Sandi. Dalam konteks ini, politik SARA seringkali menjadi amunisi untuk saling menyerang dan menjatuhkan.

Penduduk dunia maya seolah-olah lupa bahwa integritas, kapabilitas, dan kinerja adalah indikator umum untuk menilai seorang calon presiden. Hal ini dapat kita lihat dari isu radikalisme, intoleran, komunisme, liberalisme serta multikulturalisme seringkali menjadi trending topic di media sosial.

Panasnya pertarungan politik, kurang cermatnya pengguna media sosial, ditambah perang dingin antar buzzer berdampak pada munculnya sentimen politik berbasis agama dan etnis di kalangan masyarakat Indonesia.

Dari dua persoalan di atas, dapat kita simpulkan peran media sosial begitu besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Saya sepakat bahwa golongan ekstrimis beragama masih ada, dan mereka satu langkah lebih maju dalam menyebarkan pahamnya, yakni dengan memanfaatkan media sosial. 

Besarnya pengguna media sosial di Indonesia seharusnya menjadi modal awal untuk mendorong penyebaran konten anti-kekerasan, nilai-nilai toleransi, solidaritas kemanusiaan, sekaligus integritas bernegara. 

Pemuda yang sadar akan hal ini harus mengambil peran untuk melakukan transformasi ini, jangan sampai peran ini diambil alih oleh pasukan buzzer. Jika peran ini diambil pasukan buzzer yang terjadi adalah perkawinan politik SARA. Perkawinan ini akan melahirkan polarisasi dan perpecahan didalam masyarakat Indonesia. Disaat dunia bergerak menuju Revolusi Industri 5.0, akankah kita terus terjebak di lingkaran setan?

Akhir kata, yang saya maksud dengan merawat keberagaman dan persatuan di dunia maya yakni kita harus membangun ekosistem dunia maya yang lebih humanis. Salah satu caranya dengan melakukan human transformation. Human transformation yang saya maksud adalah melakukan perubahan pola pikir dan perilaku manusia dalam memanfaatkan teknologi digital dengan menyuarakan semangat toleransi, keberagaman dan persatuan di dunia maya. Hal ini penting dilakukan guna melawan isu SARA dan isu penebar kebencian yang telah dikonsolidasikan dengan rapi oleh buzzer dan kelompok kelompok garis keras dalam beragama.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id. 

Skip to content