Judul : Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut; Kisah-Kisah dari Pinggir Lapangan
Penulis : Miftakhul F.S.
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun : 2015
Tebal : i-viii + 182 halaman
Sepak bola Indonesia hingga saat ini masih begitu-begitu saja. Dalam arti, masih jauh dari kata memuaskan. Baik dari segi prestasi level dunia maupun level paling rendah, di Asia Tenggara. Pun dari induk sepak bolanya yang bobrok.
Sepak bola bukan hanya pertandingan antar 11 pemain melawan 11 pemain saja, melainkan seluruh elemen masyarakat turut andil begitu peluit dari wasit ditiupkan. Dalam pengantarnya, Miftakhul F.S. yang biasa dipanggil Fim mengatakan, “Sepak bola memang tidak akan habis untuk dibahas. Sebab, inilah olahraga yang menjadi lingua franca bagi warga dunia yang terpisah secara etnis, agama, budaya, ataupun ideologi.”
Dalam buku ini Fim yang bekerja sebagai wartawan olahraga mampu mengangkat sekumpulan cerita sepak bola dari pinggir lapangan. Fim mampu menceritakan dengan gaya bahasa yang ringan, detail, dan sesuai dengan suasana. Tulisan-tulisannya membuat para pembaca seakan hadir dalam setiap cerita.
Buku ini diawali dengan cerita yang berjudul “Rindu dan Kenangan yang Masih Basah”. Dalam cerita ini, Fim mengajak kita untuk kembali mengingat bahwa Indonesia pada 4 Desember 1991 atau 27 tahun yang lalu di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina, pernah mencatatkan sejarah meraih medali emas SEA Games 1991 untuk kali pertama di negeri orang. Sebelumnya Indonesia juga pernah meraih medali emas pada SEA Games 1987 di Jakarta. Kala itu Indonesia berhasil mengalahkan Thailand dengan skor 4-3 melalui drama adu penalti.
“Kemenangan yang tidak terlupakan. Begitu pula stadionnya. Tempatnya memang biasa, tapi momentumnya sangat istimewa,” tutur Sudirman yang merupakan bagian tim yang merebut kemenangan malam itu kepada Fim. Fim menceritakan kondisi stadion yang pernah menjadi saksi sejarah bendera Indonesia pernah berkibar tinggi. Menurut Fim, stadion bersejarah tersebut kini menjadi tempat yang begitu kusam, kaca jendela-jendelanya tak lagi bening, dan bau pesing yang menyengat. Kondisi stadion ini mengingatkan saya pada Stadion Banteng yang berada di Kota Tangerang. Kondisinya mirip seperti Stadion Rizal Memorial. Banyak rumput liar yang menghiasi stadion legendaris Indonesia tersebut, kondisi tribunnya pun kotor. Pantas saja jika prestasi Persita dan Persikota Tangerang tidak kunjung membaik karena tempat latihannya saja tidak layak. Kembali ke Stadion Rizal Memorial, Fim mengatakan stadion tersebut tetap sangat berarti bagi sejarah sepak bola Indonesia. Kemenangan pada malam itu sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia.
Selanjutnya yang menarik perhatian lainnya adalah cerita berjudul “Juara yang Ternoda”. Menurut Fim, kemenangan ini adalah kemenangan yang tak biasa. Indonesia berhasil keluar sebagai juara setelah Libya yang menjadi lawan di partai pamungkas tidak melanjutan pertandingan alias walk out (WO). Pelatih tim sepak bola Libya, Gamal Adeen Abun Nowara mengaku menjadi korban pemukulan oleh ofisial Indonesia, yakni pelatih kiper Sudarno. Karena perlakuan itulah Libya enggan untuk melanjutkan pertandingan.
Namun pelatih sepak bola dari Indonesia, Benny Dollo malah tidak mengetahui soal insiden tersebut. “Demi Tuhan, saya tidak berada di tempat kejadian tersebut. Sebab, saya tidak berada di tempat kejadian. Karena itu, saya tidak bisa mengemukakan pendapat saya tentang klaim Libya,” sebut Benny Dollo. Saya pribadi bahkan hampir seluruh masyarakat Indonesia sepakat oleh apa yang dikatakan Fim bahwa, entah kemenangan itu layak dibanggakan atau tidak, tetapi yang jelas masyarakat masih tampak haus dan rindu gelar juara.
Fim juga mengkritisi soal jumlah kaos yang digunakan saat pertandingan. Dia pernah meminta kaus Evan Dimas sewaktu selesai pertandingan, namun Evan menolaknya. “Maaf mas, kaosnya masih dipakai lagi,” jawab Evan halus. Fim tak menyangka bahwa urusan kecil seperti kostum masih bermasalah. Padahal persediaan sudah disokong sponsor, seharusnya PSSI menyediakan minimal dua kaos yang sama untuk satu pemain.
Pada cerita yang berjudul “Kostum” ini, Fim bertemu Jackson F. Tiago yang kini menjadi pelatih Barito Putera. Pelatih asal Brazil tersebut mengalami hal yang sama dengan Evan. Jackson merasa malu ketika ia tidak bisa memberikan ibunya jaket sebagai tanda telah melatih timnas.
Contoh lainnya ketika Hargianto mengenakan jersey yang berbeda ketika melawan Persijap U-21 (17/2/2014), Hargianto saat itu menggunakan jersey dengan nomor 30, padahal nomor punggung yang biasa dikenakan adalah nomor delapan. Hal tersebut dikarenakan jersey sebelumnya robek dan tidak ada cadangan.
Fim juga menceritakan dunia sepak bola di Indonesia masih lekat dengan ‘dunia lain’. Melalui cerita yang berjudul “Gado-Gado dan Mistisme Sepak Bola”, Fim pernah diminta pelatih ketika hendak masuk lapangan dari arah yang sesuai dengan hitungan Jawa pada hari itu. Ada juga yang mamakai benda-benda yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola, seperti garam yang dibungkus kain, minuman yang telah diberi doa kemenangan, bahkan harus makan gado-gado.
Para pemain asing pun banyak yang melakukan ritual-ritual yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Seperti Neymar ketika hendak masuk lapangan hijau, Neymar selalu mendahulukan kaki kanannya ketika masuk lapangan. Selain mendahulukan kaki, Neymar juga menundukan badan sembari tangannya memegang rumput lalu berdoa.
Pun dengan Ronalda. Pemain berusia 33 tahun yang belum lama bergabung dengan Juventus memiliki ritualnya sendiri. Ronalda selalu duduk di kursi bagian belakang ketika berada di bus. Ia juga selalu menata kembali rambutnya saat jeda babak pertama.
Stadion Gelora Delta di Sidoarjo dan Stadion Tri Dharma di Gresik adalah saksi dari ketangkasan timnas pada piala AFF U-19. Evan, pelatih, ofisial, hingga seluruh pendukung timnas merayakan dengan beraneka ragam selebrasi. Menurut Fim, seyogianya pertandingan tingkat junior, Piala AFF U-19 ini merupakan jenjang pembinaan ‘Belum Waktunya Berpesta’ (hal 137). Saya setuju dengan Fim, pertandingan level junior memang sudah seharusnya untuk fokus pada pembinaan agar terbentuk pondasi yang kuat untuk timnas senior kita. Saya meminjam kalimat dari pelatih asal Australia Hans Peter Schaller “Membangun sepak bola sama seperti membangun sebuah rumah. Harus ada pondasinya dulu, bukan langsung memasang atap. Timnas itu bagai atap, sayang dasarnya tidak kuat. Dasar itu berarti membangun sepak bola di daerah. Level amatir dulu, seperti di Eropa”.
Dalam buku ini Fim menyisipkan ‘surat terbuka’ untuk Tim Nasional U-23. Fim lebih menekankan timnas U-23 harus tidak boleh berputus asa. Fim membandingan prestasi timnas U-19 yang berhasil mengalahkan Korea Selatan dengan skor 3-2 di babak penyisihan grup Piala Asia U-19 di Gelora Bung Karno.
Bagi saya yang masih mencintai sepak bola indonesia, buku ini masih terlalu tipis. Sebagai gambaran, A Life Too Short oleh Ronald Reng bisa setebal 400 halaman. Saya berharap Fim membuat buku tentang sepak bola tanah air lagi dengan gayanya yang khas. Dan saya berharap juga buku-buku bertemakan sepak bola seperti buku ini semakin banyak di Indonesia.