Memberi Nama dan Membunuhnya

“Kita perlu mulai berpikir untuk membunuhnya. Dia sudah mulai berulah. Dan aku melihat ada dampak buruk yang lebih besar misal ini tetap dibiarkan.”

***

Dia datang mengejutkan banyak orang. Badannya kecil. Hitam. Gesit. Saat itu sedang rapat besar. Rapat yang dihadiri mayoritas anggota internal organisasi Pers Mahasiswa (Persma) salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Sekitar dua puluh orang. Menjadi hal yang wajar, bahkan akan dihiraukan apabila yang muncul adalah anggota yang telat. Tapi tidak pada malam itu.

“Weh, ada Omen,” kata Lamtiur menunjuk tikus yang melewati anggota rapat.

Seketika rapat yang hening (karena membahas progres berita yang mandek) menjadi riuh. Bukan jijik. Hanya ada sekelebat rasa heran, “berani-beraninya sedang ramai seperti ini, tetap lewat kaya enggak punya dosa,” begitu kira-kira pembahasannya.

“Apaan dah? Siapa Omen?” Kata orang berbadan tambun yang tetiba bangun (karena bosan rapat atau capek) karena riuh.

“Itu lho,” tanggapan yang lain sembari menunjuk tikus yang lewat dan hilang menuju lemari buku.

Entah siapa yang memulai memberi nama tikus itu Omen. Semua bersepakat ─karena tidak ada yang keberatan atau setidaknya mengganti dengan nama lain─memanggil tikus itu selanjutnya dengan nama Omen. Perkiraan saya, nama Omen diambil dari serial film trio komedian yang populer di tahun 80-90an. Ada beberapa adegan dalam film-film tersebut yang melibatkan tikus, dengan nama yang sama, Omen. Entah apa artinya? Yang jelas Omen sering membuat suasana kantor Persma itu menjadi lebih meriah. Seperti baru saja mendapat tambahan anggota “keluarga”.

Tidak jarang, Omen menjadi bahan lelucon saat obrolan santai.

“Di mana Omen?” Tanya Lamtiur, anggota senior, yang baru saja sampai kantor Persma.

“Lagi keluar kali, kerja buat keluarganya. Eh aku penasaran, Omen sering mandi enggak ya?” Kata Sastro, anggota senior yang lain.

“Lah kamu enggak lihat? Omen kan sering mondar-mandir di sekitaran dispenser. Nah dia itu sering berenang di galonnya.” Tawa menyeruak di kantor Persma. Yang tadinya sedang serius membaca buku atau menonton film pun ikut tertawa.

“Iya, sering berenang di galon, pakai renang gaya santai lagi,” sanggah seseorang sembari memperagakan posisi tiduran telentang, kedua tangan bersedekap di belakang kepala, kaki digerakkan seperti berenang.

“Pantesan waktu aku minum dari galon agak pahit-pahit gimana gitu.” Tawa semakin keras. Memang selera humor Persma ini agak aneh. Saya salah satu anggota di dalamnya, jadi tahu betul. Ada hal-hal yang mungkin orang di luar kelompok kami tidak lucu, tapi membuat kami terbahak-bahak. Saya menganjurkan untuk bergantian berobat ke psikolog. Takutnya ada sesuatu yang salah. Tapi setidaknya kami menikmatinya.

Tentu semua itu hanya imajinasi semata. Kalau memang dia berenang di galon pasti semua orang sudah sakit. Tapi terkait air galon yang pahit, terkadang memang benar. Bahkan ada yang pernah cerita agak aneh lagi─tentu saja hanya mengada-ada.

“Kan aku nyimpen handuk sama peralatan mandi di laci bawah lemari buku. Nah waktu pagi-pagi, sekitar jam delapan lah, aku masih tidur tuh. Tiba-tiba di kaki kaya ada yang ngegigit-ngegigit gitu. Waktu aku bangun ternyata Omen. Terus tahu enggak dia bilang apa?” Katanya sok membuat orang lain penasaran. “Omen bilang ‘Mas pinjem sabun sama pasta gigi dong, punyaku habis.’ Ya aku bilang ke dia, ambil saja Men.” Tawa kembali berurai. Mungkin kamu tanya, apanya yang lucu? Kamu belum lupa kan, kalau kami punya selera humor yang sedikit berbeda.

Ada beberapa cerita lain yang mengimajinasikan Omen. Entah membayangkan bagaimana tempat tidurnya, apa pekerjaannya, bagaimana komunikasinya dengan keluarga. Sampai hal-hal yang tidak masuk akal seperti Omen adalah jelmaan manusia yang menjadi mata-mata polisi, tentara atau pemerintah yang tidak suka dengan kerja-kerja pers. Apapun imajinasi tentang Omen, sering kali berakhir dengan tawa. Tapi tetap saja ada beberapa imajinasi yang gagal membuat kami tertawa. Saya tegaskan, walaupun selera humor kami berbeda, terkait penilaian humor kami tegas. Kami akan mengatakan, “coba lagi ya coy,” atau, “santai aja, baru nyoba sekali belum lucu, entar percobaan ketujuh lucu kok.” Tentunya lucu dengan indikator tidak tertulis kami. Saya tidak akan menjabarkan lelucon-lelucon yang gagal membuat kami tertawa. Kami menghargai privasi orang tersebut.

Omen menjadi anggota “keluarga” lembaga Persma ini dengan penerimaan yang menyenangkan. Omen pun sepertinya tahu, dia tidak sungkan-sungkan muncul di tengah keramaian rapat atau kegiatan lain. Saat malam, suasana sepi juga jadi surga buat dia. Mengorek sampah atau sisa makanan anggota menjadi kebahagiaannya ─sepertinya. Diketahui kemudian, saat malam dan hanya menyisakan salah satu anggota Persma, Omen sering diajak mengobrol. Tentang apapun. Keluh kesah dengan anggota lain, masalah kuliah, terkadang masalah cinta. Omen hanya diam saja ─tentunya. Tapi toh si orang yang mengajak ngobrol tetap senang. Dia tidak pernah diinterupsi Omen paling tidak.

***

Kantor Persma ini seukuran lapangan bulu tangkis. Dua lemari besar berisi buku dan barang-barang administrasi diletakkan berhimpitan dengan tembok. Berhadapan satu lemari dengan lemari lain. Ada dua meja kecil. Satu di samping jendela untuk komputer dan seperangkatnya, satu lainnya di dekat pintu untuk gelas, piring, kopi dan seperangkatnya. Rak sepatu dan tumpukan koran berada sejajar dengan pintu, di pojokan. Banyak barang lain yang seringkali dipindah seperti gitar, stan foto, kasur dan kursi-kursi.

Masalah itu berawal saat Lamtiur masuk ruangan lembaga Persma dan mendapati bau yang tidak enak. Dia hanya diam dan membuang sampah yang sudah lama menumpuk. Lamtiur mengira itu penyebab bau tidak enak. Berhari-hari bau tidak enak semakin menyengat. Bukan dari tempat sampah. Walaupun sampah sudah dibuang, baunya masih tetap ada. Ternyata tidak hanya Lamtiur, tapi banyak anggota Persma yang liyan juga merasakan hal yang sama. Tanpa komando, semua memeriksa.

Owalah, pantesan. Ini loh Omen buat ‘toiletnya’ di sini,” kata Sastro menunjuk kolong meja komputer yang sudah menumpuk banyak kotoran Omen.

Kotoran Omen dibersihkan dan bau tidak sedap menghilang, sementara. Apa yang kau fikirkan? Omen akan disalahkan dan diusir? Tidak. Terlalu tega untuk kami mengusir atau bahkan membunuh orang, maaf, maksud saya membunuh hewan yang sudah memberi banyak keceriaan untuk kami. Tidak untuk saat ini.

“Yaudah, masih kecil ini si Omen. Maklum lah kalau masih buang kotoran sembarangan,” sanggah anggota yang masih junior.

“Kenapa enggak sekalian kasih popok sama diajak jalan-jalan di taman saja kalau masih kecil?”

“Kok kita jadi kaya ngomongin anak kita aja ya.” Tawa kembali terurai. Kamu lihat betapa berartinya Omen untuk kami. Saat dia melakukan kesalahan pun masih kami maafkan. Dengan tertawa pula.

***

“Kita perlu mulai berpikir untuk membunuhnya. Dia sudah mulai berulah. Dan aku melihat ada dampak buruk yang lebih besar misal ini tetap dibiarkan,” kata Lamtiur.

“Iya, aku juga sepakat. Mengulangi kesalahan dengan membuang kotorannya secara sembarangan tidak bisa dibiarkan,” kata Sastro.

“Iya mas, apalagi sejak dia juga buang kotoran di salah satu kasur kita. Untung masih ada kasur yang lain. Tapi apa mau menunggu kasur yang lain dijadiin ‘toilet’ si Omen?” kata si anggota junior.

“Kalo aku si enggak ngebayangin misal ada tamu luar, dan itu penting, masak bau kotoran tikus kaya gini sih. Di banyak tempat lagi.” Persma itu memang sering kedatangan tamu. Tidak jarang orang-orang penting entah sastrawan, penulis, wartawan dan lainnya.

Suasana menjadi hening dan sedikit mencekam. Kalau mungkin saya kasih gambaran, suasananya seperti akan mengeksekusi mati seseorang. Suasana hening itu akan semakin lama apabila Lamtiur tidak memberikan saran.

“Oke, kita bunuh saja Omen. Tapi kita pilih eksekusi mati yang paling cepat dan tidak menyakitkan,” kata Lamtiur. Semua orang tidak kaget, tidak pula menyanggah. Sepertinya itu juga yang dipikirkan yang lain.

“Kalau pakai racun tikus atau lem gimana?” Ujar Sastro.

“Jangan. Memang lebih gampang, tapi itu akan lama matinya, dan tentu saja makin lama dia mati, akan lebih menderita. Itu melanggar beberapa pasal terkait eksekusi mati.”

Suasana menjadi serius.

“Tapi sebelum eksekusi mati…” Kata anggota junior, diselingi diam sejenak. “Kita harus kasih kesempatan Omen untuk memberikan pesan kepada keluarganya untuk perpisahan.” Entah kenapa tawa kembali terurai.

“Gimana caranya?” tanya Sastro.

“Ya buat selebaran, ditempel di dinding bagian bawah yang biasa dilewati Omen.”

“Tapi kan Omen masih kecil, dia belum bisa baca.” Entah apa indikator yang dipakai untuk mengatakan kalau Omen masih kecil. Memang kalau dia sudah besar ─dan bisa baca─ badannya akan seperti manusia dewasa?

Tapi apapun, lelucon yang hanya dimengerti oleh kami di mana lucunya itu berhasil menyelamatkan kami untuk tidak membahas ─lebih-lebih memutuskan─ eksekusi mati jenis apa untuk Omen. Bukan karena tidak menemukan cara yang pas, tapi jauh di lubuk hati, kami tidak tega. Kamu tahu kan perasaannya?

Hingga pada suatu minggu, diagendakan untuk bersih-bersih dan penataletakan ulang barang-barang di kantor Persma. Agar mendapat suasana dan inspirasi baru katanya. Dan itu memang rutin dilakukan setiap tahun. Obrolan tentang eksekusi mati Omen masih didengungkan termasuk saat agenda bersih-bersih berlangsung.

“Omeeeeen!” ungkap salah seorang yang kaget melihat Omen keluar tiba-tiba saat sedang mengangkat lemari.

Omen juga kaget dengan teriakan itu. Dia berlari ─aku kira dengan panik, tidak gesit dan terarah seperti biasa─ ke arah lemari yang sedang tidak diangkat. Omen menghindari beberapa barang sampai terjebak ke dalam kardus kecil bekas bungkus makanan. Celakanya dia tidak bisa keluar dari kardus yang memanjang itu. Semua mata saling berpandangan. Seolah tahu apa yang mesti dilakukan. Di samping Lamtiur dan Sastro ada sapu lidi yang masih utuh dan semprotan pembasmi serangga.

***

Untuk Omen.

Terima kasih atas kebersamaan ini. Kamu telah menjadi bagian tidak terlupakan dari kami. Omen sedunia bersatulah!!!

Baca juga

Terbaru

Skip to content