Pantai Tanjung Tinggi dan Puisi Lainnya

Matahari gemar bersembunyi di antara tegap batu granit yang menjulang tinggi,

sesekali mengintip ikan-ikan yang berlarian sebab berbahagia menyambut bulan.

Ada yang lebih sunyi dari keheningan:

Saat matahari tenggelam, dicekam malam, para sapi mengeja al-An’am.

Gelap menyelubung sepi,

namun keluh kesah ombak selalu menawarkan ramai yang sunyi.

Tak ada sepi di pantai ini,

kecuali di ujung dua matamu,

tempat iringan luka menari.

Butiran-butiran pasir halus berwarna putih,

menatap nanar tubuhmu yang ringkih,

dibalut kain motif warna-warni bak ikan-ikan koi dalam cermin jernih.

Aku mematung,

menyebut Bangka Belitung,

dalam takjub yang terus mengurung

***

Surabaya Malam Ini

Di emperan Tugu Pahlawan malam ini, tak lagi kutemui rindu dan sendu.

Perempuan tua berkasidah patah-patah tentang ahli kubur saat malam Jum’ah demi sebuah sedekah,

Lelaki tua bertopi hitam meniup seruling berirama sendu bernada fales berharap welas,

Lalu kakek ber-kupluk bulat hitam menawarkan tisu dengan mata sayu, tak banyak yang laku.

Sungguh aku tertawa,

dalam kelopak-kelopak basah.

***

Buah Tangan yang Paling Berkesan

Baju tak lebih dari seuntai kain yang sering berakhir di depan pintu kamar mandi, di bawah layah, dan di samping penggorengan.

Makanan hanya sekadar peneman basa-basi tentang tetangga doyan rerasan, harga bahan pokok yang enggan berkawan, dan figure publik yang kerap gonta-ganti pasangan.

Kali ini kubawakan tumpukan kertas terjilid rapi beserta nama dan parafku di sampulnya, tentang burung kakak tua yang selalu mengeja namamu setiap aku datang.

***

Teruntuk Syekh Abdurrahman Al-Khalidi

Di antara derap senja usiamu yang merona,

hatimu kembali ke rumah dengan kilau cahaya.

Surau pertama berdiri megah,

bukti ilmu tak pernah mau kalah dengan ceracau angka-angka.

Kudengar Kau pernah mendoakan pengadu ayam,

ia pulang dengan mata yang tak lagi muram.

Ketulusanmu,

air telaga untuk hatinya yang dilanda dahaga.

Saat kokok ayamnya kian lantang,

ia lebih suka menjaga bedug,

menyambut petang.

Jika laut punya debur,

maka jasamu adalah gemuruh yang terus beralur.

Jika raga berbatas masa,

maka al-Fatihah adalah napas yang terus mengudara.

Mati hanyalah pasti,

sedang namamu abadi.

***

Aku dan Kyai-ku

Bumi-Mu gelap,

sebab terangnya terletak di antara jemari ahli ilmu,

yang membuat matahari malu,

saat daun kemuning berguguran:

Isyarat cahaya di atas cahaya.

Semua jalan sesat,

sebab penunjuknya adalah barisan kata ahli ilmu,

yang membasahi daun-daun kering,

di antara daun-daun jati yang menguning:

membuat peta dari cahaya.

Aku lelaki linglung,

berpegang erat pada sarung hijau ahli ilmu,

berebut debu di ujung terompah,

adakah aku kan menemui ridho-mu?

***

Sunyaruri

Aku dan kamu itu kosong,

yang berisi itu padi.

Dari padi,

Aku dan kamu berdiri.

Aku dan kamu itu mati.

yang hidup itu hati.

Dari hati,

Aku dan kamu mengabdi.

Aku dan kamu itu fana,

yang abadi itu lara.

Dari lara,

Aku dan kamu tertawa.

Aku dan kamu itu maya,

yang nyata itu baka.

Dari baka,

Aku dan kamu bersama.

Dan

Padi, hati, lara, baka itu buatan,

yang biasa-biasa saja,

Di hadapan Yang Dahulu.

***

Kau Pergi untuk Apa?

Alibi tentang pergi, pulang, dan kembali sudah banyak berserakan di antara sastra-sastra yang justru membuatmu semakin pandir, jauh dari berpikir.

Lalu kau juga berlagak ingin pergi? Agar dicari? Agar dirindui? Agar ditangisi? Atau demi alasan meraih mimpi?

Satu hal, kau telah dikibuli!

Bagaimana kalau kuberi penawaran?

Kata ‘pergi’ beralih menjadi ‘temui’, Mau?

Skip to content