Keotentikan Kedai Kopi Mbah Surah

“Kurang atau lebihnya sebuah rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi”- Joko Pinurbo

Dari zaman Pak Karno menyusun kemerdekaan hingga zaman Pak Karni mengisi acara televisi, ngopi adalah ritual yang banyak digemari masyarakat Indonesia. Perlu saya akui bahwa seperti ada yang kurang, bilamana seharian belum nyeruput minuman berkafein ini.

Seperti ada yang kurang kalau dalam satu minggu tak ada kalimat “Yuk ngopi.” yang terlontar dari kawan-kawan.

Dewasa ini, ngopi bukan saja menjadi kebiasaan. Tetapi lebih dari itu, ngopi bagi masyarakat Indonesia bagaikan lifestyle. Ada orang-orang yang percaya bahwa kualitas seseorang ditentukan oleh kopi yang ia minum. Bahkan ada kaum-kaum extrimis kopi.

Saya tidak menyalahkan orang-orang seperti itu, yang saya permasalahkan adalah kebiasaan mereka men-judge bahwa peminum kopi sachet-an adalah kaum-kaum yang tak tau selera. Mengerikan bukan? Heu heu heu..

“Yuk ngopi, dimana nih enaknya?” 

Bagi saya ngopi itu seperti traveling. Tidak melulu harus merogoh kocek dalam-dalam, yang penting entitasnya dapat, feel-nya dapat, ngopinya dapat, dan tentunya kesenangannya pun dapat.

Mulai dari ngopi di emperan, angkringan, kedai-kedai kecil, hingga cafe-cafe bagi saya semuanya sama. Seperti itulah tempat ngopi yang cozy menurut saya. Senyamanya.

Teman-teman saya  itu sering melakukan ekspedisi warung kopi di Jogja. Mulai dari perkotaan sampai yang di lereng Gunung Merapi, mulai dari kedai kopi paling mencolok sampai kedai-kedai kopi paling pelosok.

Beberapa jadi tempat nongkrong favorit, tapi lebih banyak yang cuma jadi bahan coba-coba saja. Datang sekali, kecewa patah hati dan kami pun tak pernah kembali. Lah gimana ya, wong tradisi kami seperti itu.

Ngobrolin kecewa dengan warung kopi, beberapa bulan lalu saya dan teman-teman nyoba ngopi di daerah Palagan. Tempatnya lumayan bagus, duduk lah kita, pas mau pesan loh kok mahal-mahal. Sekali ngopi disini uangnya bisa buat makan dua sampai tiga kali.

Kami masih mencoba ber-khusnuzon, mungkin kopi disini enak, mesin yang dipakai mahal,  barista atau peramu kopinya hebat, atau mereka punya resep rahasia atau apalah.

Seperti itulah analogi sederhana kami yang masih khusnuzon dengan harga kopi ditempat itu.

Sampailah beberapa cangkir kopi dimeja kami, pas saya icip-icipsrupuutttt….mmm… ternyata nggak lebih enak dari kopi Mbah Surah yang seharga parkir motor itu. Nah, terus saya mikir la ini margin sekian banyak larinya kemana?

Ngomongin Mbah Surah, beliau itu seorang barista sekaligus koki di angkringan pinggir jalan. Kopinya dikulak dari kebun tetangga yang kemudian di-roasting sendiri oleh istri beliau. Diolah sekadarnya saja di pawon belakang rumah pakai wajan sederhana yang bokongnya sudah terlampau hitam. 

Mbah surah dan warung kopinya itu nggak kenal yang namanya kopi sachet-an. Nggak kenal yang namanya mesin kopi mahal, nggak kenal yang namanya kelas-kelas barista. Tapi ya kopinya bisa diterima  dan dicintai semua kalangan, dari kalangan mas-mas, mbak-mbak, pakde-pakde, simbah-simbah.

Buktinya saya saja bolak-balik ngopi di sana, kalau sudah duduk di sana Mbah Surah sudah nggak nanya lagi mau pesan apa. Mesti kopi ireng ala legend of surah. Fyi, menu minuman di sana juga nggak banyak sih.

Menurut saya jika ada lembaga akreditasi warung kopi, warung kopi Mbah Surah mungkin dapat A. Di sana nggak ada standar-standar perkopian ala barista masa kini, harus ini harus itu nggak boleh ini nggak boleh itu. Mbah Surah sudah punya standarisasi kopinya sendiri, berbekal pengalamannya menyeduh kopi di angkringan selama puluhan tahun, bareng princess-nya itu Mbah Tarni. Seromantis itu~

Laahhh kalo gitu? Kenapa kok warung kopinya itu mentok gitu-gitu aja? Nggak ada perkembangan, nggak ada kemajuan.”

Sebentar ya sobat perkopian yang berbudi pekerti luhur. Nah, gimana mau sugih materi? Lawong Mbah Surah itu sepertinya memang nggak berniat buat sugih. Jual kopinya saja seharga parkir, nggak tau dia untungnya berapa.

Baginya, itu sudah urusan yang di atas. Tentunya Mbah Surah sudah merasa cukup dengan pekerjaannya. Yang penting cukup buat menyambung hidup. Baginya kepuasan pengunjung itu lebih dari cukup. Tanpa ada intimidasi harga oleh beliau kepada para pengunjungnya, yang penting pengunjung datang, makan, jajan, ngopi, ngebul, serta puas dengan rogoh kocek yang sukarela. Bahkan ada beberapa pelanggan Mbah Surah yang nggak mau nerima uang kembaliannya. 

Ada lagi itu kedai kopi baru di Jalan Kaliurang yang sekarang lagi favorit geng nongkrong saya, namanya Madjoe Djaya. Memang agak mahal, ngomong-ngomong sebetulnya bukan mahal, memang karena kitanya aja yang missqueen mungkin heu heu heu.

Saya dan kawan-kawan akui memang kopinya enak, jadi ya kita terima terima saja. Apa yang kita bayar sesuai dengan pengalaman ngopi yang kita dapat. Tempat bersih, nyaman, pelayanan yang ramah, pokoknya kalo bahasa sekarang itu tempat yang recommended buat nongkrong.

Semoga si owner yang baik hati ini baca tulisan ini dan saya dapat gratisan kopi, amin. Sedikit berusaha~

Kurang lebih seperti itulah cerita dan kisah saya dengan dunia perkopian. Semoga memberikan manfaat meski saya rasa kurang adanya manfaat dalam tulisan kisah ini.

Bagi saya, rasa dalam cangkir saja tak cukup untuk membangkitkan atmosfer ngopi yang sesungguhnya. Terkadang siapa yang di depan cangkir itulah yang membuat segelas kopi begitu istimewa. Kawan, sahabat, kekasih, merekalah yang membuat segelas kopi menjadi lebih bermakna. Betul memang kalau ada istilah Kopi yang kian mendingin, bersama obrolan kita yang semakin menghangat,” Aihhh…

Percaya atau tidak, kedai-kedai kopi kecil mampu memberikan keluasan hati para pengunjungnya. Perasaan betah dan nyaman yang dibangun mungkin bukan karena perkara rasa pada cangkir saja, melainkan atmosfer ngopi yang terbangun saat menikmati jajanan dan kopi di sana.

Semua orang saling sapa senyum ramah, yah walaupun basa basi, menurut saya itu sebuah keestetikan tersendiri. Semuanya melebur dengan begitu sempurna, siapa coba yang tidak betah? Meski ngopi di tempat asing, namun tidak merasa asing.

“Kopi itu sederhana, obrolannya saja yang terkadang membuatnya begitu istimewa.”

Tak dapat kita pungkiri kedai-kedai kopi kini hadir menghangatkan berbagai kalangan. Mahasiswa yang sok nugas, atau memang benar-benar menyelesaikan tugas, bapak-bapak, ibu-ibu arisan, mbak-mbak pecinta ghibah, dua kawula muda yang sedang memadu cinta, atau segerombolan anak muda yang gemar berkumpul bersama kawannya. Kini penyajiannya pun luar biasa ragam-nya, dimulai kopi tubruk khas jawa yang pekat, filter V60, vietnam drip, espreso, es kopi generasi lama, dan baru semuanya dapat dengan mudah kita jumpai. 

Di Jogja ini, “sejauh mata memandang, di sana pasti ada kedai kopi,” tutur kawan saya.

Entah lah, apa pendapat kamu tentang kedai kopi yang asik. Tapi jujur dari hati saya yang paling dalam, bagi saya kedai kopi yang asik itu sesederhana bahasa kopi yang mampu menuturkan rasa, cerita, merangkul siapa saja yang datang, dan tentunya tak menguras kantong kita.

Sedikit pesan mungkin:

Ngopi ya ngopi aja, nulis puisi ya nulis puisi aja. Semuanya aja sangkut pautin sama indie, kasian kan pak Sapardi, jadi minder nulis puisi gara-gara takut dibilang anak indie.

Skip to content