Judul : Kontroversi Negara Islam: Radikalisme vs Moderatisme
Penulis : Khalil Abdul Karim
Penerjemah : Aguk Irawan MN
Tebal : xxxi/264 halaman
Penerbit : INDeS Publishing, Nusantara Press
Tahun : 2015
“Menara memang menunjukkan jalan bagi pengembara, tapi ia tidak pernah membatasi langkahnya, membelenggu geraknya dan membekukan kebebasannya”, Khalil Abdul Karim
Khalil Abdul Karim melalui buku Kontroversi Negara Islam; Radikalisme vs Moderatisme menghadirkan teks-teks otentik dengan sumber Al-Quran dan Hadits yang digunakan sebagai legitimasi tindakan oleh kalangan yang disebutnya sebagai kalangan radikalis-fundamentalis maupun kalangan moderat. Buku ini memuat 11 tulisan yang dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari 8 tulisan yang memuat diskursus tentang Islam dan Politik. Tulisan kesembilan menjadi pengantar bagian kedua bertajuk kemanusiaan Nabi Muhammad SAW. Bagian kedua yang merupakan dua tulisan terakhir membahas citra perempuan dalam masa kontruksi Islam serta mengetengahkannya dalam versi kaum fundamentalis.
Awalnya buku ini diterbitkan untuk pembaca dari dunia Barat, terlebih Prancis pada tahun 1993. Konten yang dipaparkan tentang diskursus Islam dan politik tidak pernah padam hingga saat ini sehingga sangat relevan untuk dibaca kembali, khususnya pembaca Indonesia. Dua tema besar yang diangkat, Islam Politik dan perempuan sebagai upaya untuk menjelaskan kepada dunia internasional tentang benang kusut yang terjadi dalam tubuh Islam. Apabila dunia internasional melihat umat muslim terbelah menjadi dua kubu yang bertolak belakang, kubu radikal dan kubu moderat, maka sejatinya yang terjadi adalah persoalan interpretasi pada sebuah teks.
Hal menarik dari buku ini justru dari metodologi yang dilakukan penulis dalam mengangkat dua tema ini. Abdul Halim, dalam prawacana buku tersebut mengatakan bahwa logika yang dibangun Khalil sejalan dengan logika kaum fundamentalis. Hanya saja penemuan dan riset panjang Khalil menjurus pada kesimpulan berbeda dari apa yang ditemukan oleh kubu fundamentalis. Hal ini membawa konsekuensi frontal guna merobohkan sakralisme semu yang acap mengiringi beberapa konsepsi yang terlanjur menyebar luas sehingga menjadi aksioma-aksioma, yang kemudian dikutip oleh para penulis dan peneliti lain tanpa penelitian mendetail dan kaji ulang, sehingga lebih lanjut aksioma ini menjelma menjadi paradigma.
Tulisan pertama (hal. 1-12) misalnya, Khalil membedakan konsep Negara Agama atau Negara Wahyu dan Negara Sipil. Ia menjelaskan bahwa Islam-dalam hal ini Islam sebagai agama, bukan Islam historis ataupun Islam peradaban-mengenal Negara Agama sebagaimana yang pernah didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah. Nabi Muhammad sendiri merupakan pemimpin agama sekaligus kepala pemerintahan saat itu. Model Negara Agama ini terputus sejak berpulangnya beliau ke pangkuan Ilahi sehingga sudah tidak bisa lagi diterapkan. Islam tidak mengenal Negara Sipil atau dalam terminologi lain Negara Politik Bangsa. Konsep yang terakhir merupakan hasil rekayasa manusia dengan firasat dan akal mereka dengan memanfaatkan berbagai faktor ekonomi dan sosial yang menggerakkan segala lapisan masyarakat. Berdirinya Negara Sipil murni atas kehendak manusia yang ingin memberlakukan peraturan pemerintahan dan undang-undangya, juga sesuai dengan situasi dan kondisi yang berada dalam suatu negara. Setiap varian sistem politik dapat diterapkan oleh setiap bangsa di negaranya masing-masing. Selama keadilan dan kesejahteraan dapat dicapai dengan masing-masing varian sistem maka spirit Islam telah diimplementasikan.
Akan tetapi, yang terjadi dalam sejarah Islam dan agama-agama lain adalah beberapa oknum penguasa sengaja mewarnai negaranya dengan simbol keagamaan, agar bisa menikmati keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki kepala-kepala Negara Agama yang merupakan anugrah dari Allah dan di antara yang terpenting itu adalah kemaksuman dari salah dan dosa serta kesakralannya. Hal ini untuk memberikan efek teror di dalam diri rakyat mereka dan dapat digunakan untuk menundukkan mereka pada otoritas agama. Tujuan lainnya ialah untuk memberangus kaum oposisi yang menentang pemerintahan mereka, bahkan memvonis mereka sebagai kafir, atheis dan keluar dari naungan Islam, serta untuk menstigmasi sifat-sifat fitnah dan melanggar sifat-sfat fitnah.
Dalam tulisan terakhir (hal. 242-264), Khalil menulis analisisnya tentang citra perempuan dalam persepktif Sayyid Qutb yang menjadi rujukan utama kelompok fundamentalis. Hasil analisis dan risetnya mengatakan bahwa kedudukan, posisi dan fungsi perempuan dalam wacana fundamentalis itu lebih mengacu pada hukum-hukum yang tercipta oleh sistem sosial dengan model yang belum pernah terlintas dalam seorang makhluk pun.
Selain dua contoh tersebut, buku dengan 264 halaman ini juga menguak akar-akar kekerasan pada kelomok-kelompok Islam politik, opsi penggunaan senjata dan teror oleh kelompok Islam fundamentalis ekstremis dengan mengambil studi kasus kelompok Ikhwanul Muslimin serta beberapa kelompok fundamentalis lainnya di Mesir dan sekitarnya, historitas konsep syura, wacana apostasi politik dan permurtadan, yang semuanya merujuk pada interopretasi teks yang mereka gunakan.
Sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari konteksnya saat teks itu turun. Telah diketahui bahwa teks tidak dapat berbicara sendiri kecuali harus ada subyek yang menafsirkannya dan penafsir akan dipengaruhi kondisi lingkungan, peran kultural, posisi struktural, cara mengambil kesimpulan, model penelaahan dan peradabannya. Hal ini berimbas akan terjadinya multitafsir dalam sebuah teks. Karena fokus pada interpretasi sebuah teks ini pulalah Khalil hanya sedikit menjelaskan kajian epistemologis tentang kalangan yang disebutnya sebagai kalangan fundemantalis, radikalis, ekstrimis serta kajian sosio kultural yang menyebabkan terbentuknya kelompok ini.
Saat ini justru beberapa kalangan mengklaim kemutlakan pandangan pribadinya serta menafikkan kritik dari pihak lain. Perasaan superior serta tertutup kalangan ini menjadi kendala untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat Islam sekarang. Padahal teks sendiri tidak sekaku itu melainkan dinamis dan kontekstual dalam interpretasinya. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Khalil dalam penutup pendahuluan buku ini, “Menara memang menunjukkan jalan bagi pengembara, tapi ia tidak pernah membatasi langkahnya, membelenggu geraknya dan membekukan kebebasannya.”