Tuhan menciptakan 101 ‘Maha’, namun Tuhan hanya mengambil 99 dan Ia sisakan dua. Satu ‘Maha’ diberikan kepada alam di Jawa Timur yaitu ‘Mahameru’, satunya ia berikan kepada manusia yaitu ‘Mahasiswa’.
Celetukan itu hanya guyonan yang diucapkan oleh teman saya satu kampus. Perkataan tersebut memang belum tentu benar, namun ada pesan lain yang dapat kita lirik. Ya, kita memiliki privilege tersendiri ketika menjadi mahasiswa.
Menurut rektor saya dalam pidato penyambutan mahasiswa baru tahun 2018, orang Indonesia yang mengenyam bangku perguruan tinggi hanya 33%. Data tersebut meningkat pada tahun 2019 menjadi 34,58% menurut Mohamad Natsir, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi.
Pendidikan kita tertinggal dari negara tetangga, warga Malaysia, yang mengenyam perguruan tinggi untuk usia 18-23 tahun mencapai 50%, Singapura 78%, sedangkan Korea Selatan hampir 98%. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan semua kalangan terutama mahasiswa agar mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berwujud nyata bukan lagi sebatas cita-cita.
Banyak dari kita merasa bangga ketika berstatus sebagai mahasiswa. Masa peralihan dari dunia sekolah umum yang penuh akan aturan ke masa dimana keran kebebasan mulai dibuka. Dari yang terkecil, pakaian misalnya, pada masa SMP atau SMA kita diwajibkan berseragam dan berdasi, seragam pun dalam dua hari sekali diatur modelnya.
Ketika menjadi mahasiswa, kampus sudah tidak mengatur seragam kita. Pakaian paling fashionable-pun boleh dipakai asalkan sesuai norma yang berlaku dikampus tersebut. Selain seragam, gaya rambut juga dibebaskan. Sewaktu SMA rambut harus pendek, ketika menjadi mahasiswa kampus membebaskan model rambut kita; mau gondrong, pendek, botak dan sebagainya.
Jadi, jika ada kampus atau dosen yang melarang mahasiswanya gondrong perlu dipertanyakan, ia terjebak pada logika SMA atau logika perguruan tinggi?
Dari sekian kebebasan, ada satu ciri yang melekat dan harus ada pada mahasiswa, yaitu kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi. Pola pendidikan sewaktu sekolah dasar hingga S1 memang bersifat indoktrinasi.
Namun seperti yang sudah saya singgung diatas, ketika menjadi mahasiswa keran kebebasan mulai dibuka, arus pedidikan pun harus berbeda juga. Dari indoktrinasi menjadi bersifat sharing literasi yang memungkinkan mahasiswa memberi beberapa jawaban untuk satu pertanyaan.
Sehingga mahasiswa akan tumbuh menjadi intelektual yang lentur, kritis, dan tidak kaku. Selain itu, gagasan yang dikeluarkan akan mampu menawarkan solusi, bukan provokasi. Itulah sekelumit paparan mengapa kita yang duduk dibangku perguruan tinggi memiliki privilege tersendiri.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana keadaan mahasiswa hari ini dengan segala keistimewaan yang ada? Jika kita menjawab dengan infrastruktur pendidikan jawabannya jelas, mahasiswa hari ini dikelilingi kemudahan dan kemajuan teknologi.
Namun jika ingin menjawab dari kualitas mahasiswa, rasa-rasanya tak berbanding lurus dengan kemudahan dan kemajuan teknologi yang ada. Mahasiswa pada tiga dekade lalu memiliki kualitas yang tidak diragukan, mereka merasa memiliki privilege sehingga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membaca buku, berdialog, menulis, turun ke masyarakat untuk melihat problematika negeri lalu meracik solusi bersama sama.
Mereka mampu melakukan itu dengan infrastruktur pendidikan yang terbatas. Kita ambil contoh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Ia rela ditangkap pemerintah Hindia Belanda, diasingkan ke Belanda, jauh dari rumah. Semua itu rela ia lalui karena memikirkan pendidikan rakyat dan masa depan Indonesia.
Sebagai keluarga bangsawan, ia melewati hari-harinya dengan sederhana dan belajar. Dari lika-likunya itu, ia melahirkan semboyan yang terkenal yaitu, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya “di depan memberi teladan, ditengah memberi semangat, dibelakang memberi dorongan”. Konsep yang ia buat sampai hari ini menjadi landasan bagi pendidikan Indonesia.
Andai hari ini yang menjadi Ki Hajar Dewantara adalah kita, keluarga bangsawan yang berkecukupan. Boleh jadi kita akan bangga dengan status sosial tersebut; wisata kuliner, ngopi sana-sini, jauh dari buku bacaan, apalagi memikirkan kondisi masyarakat dan negara.
Hmm, sepertinya tidak perlu banyak keistimewan seperti Ki Hajar Dewantara pun kita sudah melakukan semua itu. Begitulah wajah mahasiswa era ini, tulisan ini bukan menyudutkan peran kita sebagai mahasiswa karena tidak sedikit pula mahasiswa yang sudah sadar dengan posisinya sehingga tetap melakukan kegiatan produktif meski di tengah hingar bingar budaya hedonisme.
Dalam tulisan ini, saya mengajak mahasiswa untuk mengetahui posisi mahasiswa sekaligus peran dalam masyarakat. Pertama, mahasiswa harus menyadari posisinya, meminjam istilah perdagangan Tiongkok, posisi mahasiswa adalah sebagai jalur sutra.
Jalur Sutra adalah jalur perdagangan internasional kuno Tiongkok yang memiliki peran sangat penting dalam perdagangan dunia karena menghubungkan barat dan timur. Barat dan timur dalam tafsiran ini adalah mahasiswa sebagai penghubung antara masyarakat lapisan bawah dengan masyarakat lapisan atas, antara rakyat dengan pemerintah, antara keterpurukan dengan kemajuan. Artinya mahasiswa berada pada posisi penting dalam hirarki masyarakat.
Kedua, menyadari perannya, mahasiswa bukan hanya bertugas berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang ke kos. Peran mahasiswa lebih dari itu, mahasiswa mampu menjadi agen perubahan (agent of change). Melalui pengetahuan, ide, dan keterampilan yang dimiliki mahasiswa harus menjadi lokomotif kemajuan.
Mahasiswa mampu menjadi kekuatan moral (moral force). Dalam sejarah jawa, kita mengenal penaklukan Mangir yang dipimpin Ki Ageng Mangir V oleh Mataram yang dipimpim Panembahan Senopati.
Penaklukan Mangir merupakan yang tersulit dikarenakan prajurit dan rakyatnya memiliki moralitas kuat sebagai wilayah merdeka sehingga tidak runtuh oleh dominasi mataram. Harapanya, mahasiswa mampu menjadi penjaga nilai moral bangsa ditengah derasnya arus globalisasi.
Selanjutnya, mahasiswa mampu menjadi pengontrol social (social control), mahasiswa memiliki control social terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan cita-cita dan nilai luhur bangsa, mahasiswa akan memberikan kritik, saran, serta solusi. Dengan begitu diharapkan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kekuasaan tidak melenceng dari yang seharusnya.
Akhir tulisan, saya akan menjelaskan maksud identitas mahasiswa sekaligus hubungan dengan posisi dan peran mahasiswa dalam masyarakat seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Identitas mahasiswa terletak pada kekayaan intelektualnya. Intelektual bukan menjadi sekat bahwasanya posisi mahasiswa lebih pintar dari masyarakat yang tidak sekolah.
Intelektual memiliki makna cerdas, berakal, berfikir jernih berdasarkan disiplin keilmuan, memiliki kesadaran terkait pengetahuan, dan pengertian. Dari makna tersebut dapat kita simpulkan kekayaan intelektual akan menghasilkan kesadaran akan problematika yang ada sekaligus respon bijak ketika menjalankan peranya dalam masyarakat sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimiliki.
Identitas boleh dikatakan sebagai pengenalan diri. Jika mahasiswa tidak tahu siapa dirinya, maka ia tidak akan mengetahui posisinya dalam hierarki masyarakat. Tanpa mengetahui posisinya, mustahil mahasiswa tau apa yang akan mereka perbuat nantinya.
Saya sepakat dengan perkataan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, “Tidak ada negara maju tanpa pendidikan yang benar”. Bagi saya pendidikan merupakan cara paling tepat dan manusiawi untuk keluar dari masalah apapun, maka dari itu mari bersama-sama kenali identitas kita sebelum kita diberi label atau identitas oleh sistem yang membuat kita kehilangan kebebasan sebagai mahasiswa.