Gangguan Bipolar serta Ikhtiar Menghadapinya

Himmah Online, Universitas Islam Indonesia – Hana Junjunganingtyas merupakan salah satu pengidap bipolar. Ia didiagnosis bipolar pada Agustus 2018 ketika berada di semester empat pendidikan tingginya. Sejak saat itu, ia merasa jika dirinya sudah hancur dan tidak berharga. 

“Saya udah nggak bisa apa-apa karena bipolar,” tutur Hana dalam diskusi bertajuk “Cara Menemukan Coping yang Tepat Bersama Survivor Bipolar Selama Pandemi” yang diadakan oleh Psychology Study Club UII, Minggu (30/5). 

Mengetahui dirinya mengidap bipolar membuat Hana berhenti kuliah selama dua tahun, merasa tidak percaya diri, dan terlintas dipikirannya untuk menyakiti diri sendiri. Puncaknya, Hana harus bolak-balik mengunjungi rumah sakit karena berusaha mengakhiri hidupnya.

“Saya itu merasa nggak percaya diri, dua tahun berhenti kuliah karena merasa nggak sanggup apa-apa, ada pikiran self-harm (menyakiti diri sendiri) juga,” jelasnya.

September 2018, Hana dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut serta mulai meminum obat hingga saat ini. 

Apa itu bipolar?

Pada kesempatan yang sama, Novvaliant Filsuf Tasaufi, Dosen Psikologi UII, menjelaskan bahwa bipolar merupakan gangguan perasaan karena perubahan suasana perasaan dari depresi ke arah elasi/mania atau sebaliknya.

“Perubahan perasaan ini dapat disertai dengan perubahan seluruh aktivitas individu meliputi energi, konsentrasi, tingkat aktivitas, dan kemampuan menjalani kehidupan sehari-hari,” jelas Novvaliant.

Ia menambahkan jika bipolar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor biologis (genetik, neurotransmitter, dan endokrin), faktor psikologis (tekanan hidup, learned helplessness, dan gaya kognitif yang negatif), serta faktor sosial kultural (hubungan perkawinan, stereotip, dan dukungan sosial). 

Ada beberapa cara untuk mengatasi bipolar, salah satunya dengan melakukan mekanisme koping. Mekanisme koping merupakan cara seseorang dalam menghadapi stres atau trauma. 

Dengan mekanisme koping, seseorang dapat terbantu dalam mengatur emosi yang menyakitkan atau sulit.

Novvaliant menerangkan ada dua jenis koping yang dapat dilakukan oleh Orang Dengan Bipolar (ODB), yaitu koping adaptif dan maladaptif. 

Menurut Good Theraphy, koping adaptif secara umum dianggap sebagai mekanisme yang sehat dan efektif untuk mengelola stres, seperti mencari dukungan sosial, kegiatan fisik, serta humor. 

Sedangkan koping maladaptif merupakan mekanisme koping yang memiliki konsekuensi negatif yang tidak diinginkan seperti mati rasa, menenangkan diri dengan hal yang tidak sehat, hingga menyakiti diri sendiri.

Ikhtiar Untuk Pulih

Hana percaya jika bipolar bukanlah dirinya, melainkan keadaannya. “Bipolar bukan 100% diri saya, tetapi hanya sebagian kecil saja. Jadi, saya bisa mengendalikan bipolar,” terang Hana.

Menjadi bipolar tak membuatnya luruh. Hana memiliki strategi untuk melawan kondisi tersebut, seperti berusaha untuk mengenali diri, menulis jurnal harian sebelum tidur, serta berusaha menerima diri dan keadaan. 

“Aku emang bipolar, tapi apa sih yang bisa aku lakukan? Ini bukan keadaan yang selamanya akan terjadi. Saya terus berusaha, terus berjalan. Hidup itu terus berjalan, nggak tau kamu siap atau nggak ya, terus berjalan.”

Selama pandemi, Hana melakukan strategi koping dengan menyibukkan diri sendiri pada hal-hal positif dan optimalisasi diri untuk bermanfaat bagi orang lain. Menurutnya, menjadi bipolar-pun tetap bisa berdaya dan berkarya.

Nggak papa bipolar, nggak papa ada mental illness yang lain (selain bipolar-red). Selagi kita bisa melewatinya, bisa jadi ladang pahala buat kita,” pungkasnya.

Reporter: Nadia Tisha Nathania Putri

Editor: M. Rizqy Rosi M.

Podcast

Skip to content